Lihat versi PDF untuk mengutip isi makalah di sini
Menjadikan
Potensi Diri
Sebagai
Aset Investasi Pahala
Oleh:
Muh. Haris Zubaidillah *)
Allah
SWT Yang Maha Kuasa menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna, yaitu
dengan dikaruniakannya akal untuk berfikir dan mengendalikan segala
aktifitasnya. Allah SWT Maha Pemurah telah menentukan dan menetapkan karunianya
kepada hambanya, sehingga setiap makhluk yang hidup, baik binatang, tumbuhan
ataupun manusia, semuanya merasakan nikmat-Nya. Allah SWT dengan bijaksana-Nya
menempatkan manusia pada kedudukan masing-masing, ada yang ditempatkan dalam
bidang usaha (kasab/asbab) dan ada yang ditempatkan di bidang Tajrid (ibadah
melulu).
Adapun
yang dimaksud dengan bidang-bidang usaha adalah usaha manusia untuk mencapai
ridha Allah, tetapi dengan adanya asbab, dia masih harus mencari kebutuhan
duniawi dan manusiawi, tetapi setelah berhasil, dia gunakan untuk menjalankan
kewajibannya sebagai hamba Allah yang beriman, seperti menjadi seorang guru
yang kesehairannya adalah mengajar, seorang pedagang, petani, nelayan dan
pegawai yang kesehariannya hanya bergulat dalam mencari rejeki, seorang pejabat
yang kesehariannya sibuk dengan urusan pemerintahannya, seorang pelajar, santri
dan mahasiswa yang aktifitasnya adalah belajar, diskusi, penelitian, dan
lain-lain. Tetapi mereka tidak lupa terhadap kewajiban – kewajiban hidup di
tengah-tengah masyarakt. Seperti membantu anak-anak yatim, fakir miskin,
pembangunan masjid dan pendidikan.
Adapun
yang dimaksud dengan bidang tajrid adalah dimana manusia hanya mengabdi melulu
kepada Allah tanpa menghiraukan urusan dunia, disebabkan kebutuhan duniawinya
sudah terpenuhi.
Dalam
hal ini, Syaikh Ibnu Athaillah dalam kitab Hikam berkata:
إرادتُكَ التجريدَ مع إقامةِ الله إِيَّاكَ في الأسباب من الشَّهوة
الخفيةِ وإرادتُكَ الأسبابَ مع إقامةِ الله إِيَّاكَ في التجريد انحطاطٌ عن
الهِمَّةِ العَلَيَّةِ.
“Keinginanmu untuk bertajrid (melulu
beribadah tanpa menghiraukan duniawi) padahal Allah menjadikanmu pada golongan
yang berusaha (asbab), maka kemauan yang seperti itu termasuk kemauan hawa
nafsu yang samar (halus). Sebaliknya
keinginanmu dalam berusaha (untuk memenuhi duniawi) padahal Allah menjadikanmu
dalam golongan tajrid, maka keinginan yang seperti itu berarti suatu kemunduran
dari semangat cita-cita ang luhur”
Orang
yang berada di bidang usaha tapi ia menginginkan untuk bertajrid (melulu hanya
beribadah), padahal kedudukannya adalah di bidang usaha, maka kemauan yang
demikian itu adalah dorongan nafsu yang samar dan halus, karena ingin dianggap
sebagai manusia yang zuhud yakni orang yang tidak rakus kepada dunia dan ikhlas
beramal, sehingga mendapat kasih sayang Allah dan menimbulkan kepercayaan dari
sesama manusia.
Demikian
juga sebaliknya bagi orang yang ditetapkan oleh Allah dalam bidang tajrid, tapi
masih merasa kurang terhadap dunia, dan berkeinginan untuk menempati bidang
usaha (asbab), maka hal ini merupakan suatu kemunduran bagi orang yang tajrid.
Karena hakikatnya tingkatan tajrid adalah lebih tinggi dari derajat asbab.
Sebagai
manusia yang berakal dan beriman, kita dituntut untuk mengatahui potensi kita
dan menerima karunia Allah SWT tersebut, apakah digolongkan di bidang tajrid
atau di bidang asbab kemudian menjadikan penempatan Allah SWT tersebut sebagai
aset untuk mencari ridha dan pahala dari-Nya.
Imam
Al Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin memberikan pencerahan bagaimana aktifitas
potensi yang ada dalam diri kita sebagai aset untuk mendapatkan pahala akhirat.
Sehingga apapun aktifitas kita akan bernilai ibadah dan mendapatkan ridha
Allah.
Beliau
mengatakan bahwasanya orang yang mencari kebahagian dan pahala ahkirat, dalam menempuhnya
tidak lepas dari 6 keadaan dan potensi: Sebagai ahli ibadah, sebagai orang yang
berilmu dan menularkan ilmunya, sebagai pelajar, sebagai pejabat atau pemimpin,
sebagai orang yang berprofesi dan bekerja, dan sebagai orang yang muwahhid yang
tenggelam di dalam cinta kepada Allah semata.
Adapun
ahli ibadah adalah orang yang mengkhususkan diri hanya beribadah kepada
Allah, ia tidak memiliki kesibukan lain selain dari pada itu, sehingga apabila
ia meniggalkan ibadah maka ia akan menganggur. Ia habiskan waktunya hanya untuk
menjalankan berbagai macam ibadah, baik dengan shalat, membaca quran,
berdzikir, ataupun bertasbih. Pada masa Rasulullah ada sekelompok sahabat yang
berdzikir sebanyak 12.000 tasbih sehari, ada yang berdzikir sebanyak 30.000
tasbih sehari, ada yang shalat sebanyak 300 rakaat bahkan ada yang shalat
sebanyak 600 hingga 1.000 rakaat tiap harinya, mereka paling sedikit
mengerjakan sebanyak 100 rakaat dalam sehari semalam. Sebagian mereka ada yang
kesibukannya hanya membaca Al Quran, sehingga dalam sehari dapat membaca quran dengan
sekali khatam bahkan ada yang dapat membaca qura dengan dua kali khatam tiap
harinya. Sebagian mereka ada yang sibuk bertafakkur dalam memahami satu ayat
saja, sebagia mereka ada yang thawaf di ka’bah sebanyak 70 kali putaran
perharinya dan 70 kali putaran dalam semalam dan mengkhatamkan quran dua kali
dalam sehari semalam, dan masih banyak lagi dari mereka yang kesibukannya hanya
beribadah dan perpindahan dari ibadah yang satu ke ibadah yang lain.
Yang
paling utama bagi ahli ibadah ialah hanya menyibukkan diri dalam beribadah
dan dalam majelis dzikir.
Rasulullah
SAW bersabda:
إذا مَرَرْتُمْ
بِرِيَاضِ الجنة فَارْتَعُوا قالوا وما رياضُ الجنةِ قال حِلَقُ الذِّكْرِ (رواه
أحمد، والترمذى، وأبو يعلى، والبيهقى فى شعب الإيمان عن أنس)
“Jika kalian melalui padang rumput surga,
maka merumputlah disitu, mereka (para sahabat) bertanya : ‘Apakah padang rumput
surga itu?’, Beliau menjawab : ‘yaitu halaqah-halaqah dzikir’” (HR
Ahmad, Tirmidzi, Abu Ya’la, dan Baihaqi)
Dalam
hadits lain Rasulullah bersabda:
إذا مررتم برياضِ الجنةِ فاجلسوا إليهم قالوا يا رسولَ اللهِ وما رياضُ الجنةِ
قال أهلُ الذكرِ (ابن
شاهين عن أبى هريرة)
“Jika kalian melalui kebun-kebun surga, maka duduklah bersama
mereka. Para Sahabat bertanya : apakah kebun-kebun surga itu ya Rasulullah?,
beliau menjawab : yaitu ahli dzikir” (HR
Ibnu Syahin)
Yang kedua adalah Orang yang alim (berilmu dan menularkan
ilmunya) yaitu orang memberikan manfaat kepada manusia dengan ilmunya melaui
fatwanya, pengajarannya, ataupun melalui tulisan-tulisannya. Menyibukkan diri
dalam hal-hal yang demikian baginya adalah yang paling utama. Dengan syarat
tujuan dari pengajarannya adalah sebagai wasilah untuk mencapai ridha Allah
bukan karena tujuan duniawi.
Yang dimaksud dengan ilmu yang diajarkan di sini adalah ilmu yang
bisa memberikan motivasi kepada manusia dalam beramal dan menjadikan mereka
mementingkan kepentingan ukhrawi dari pada kepentingan duniawi atau menolong
mereka dalam menempuh jalan menuju kebahagiaan akhirat, bukan ilmu yang
menjadikan mereka semakin cinta harta, pangkat dan ketenaran.
Allah SWT berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.” (Al Mujadalah : 11)
Ibnu Abbas ra berkata: Ulama
memiliki derajat diatas orang beriman lainnya dengan 700 derajat, dan antara
derajat yang satu dengan yang lainnya adalah 700 tahun perjalanan.
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا
يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
"Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran." (Azzumar : 9)
أقرب
الناس من درجة النبوة أهل الجهاد وأهل العلم لأن أهل الجهاد يجاهدون على ما جاءت
به الرسل وأما أهل العلم فدلوا الناس على ما جاءت به الأنبياء (الديلمى
عن ابن عباس)
“Manusia
yang paling dekat dari derajat nubuwah adalah ahli ilmu dan ahli jihad,
dikarenakan ahli jihad berjuang atas perkara yang dibawa oleh para rasul,
sedangkan ahli ilmu mereka memberikan petunjuk kepada manusia atas perkara yang
dibawa oleh para nabi” (HR Ad Dailami dari Ibnu Abbas
ra)
Yang ketiga adalah Pelajar,
Yaitu orang yang mencari ilmu karena Allah SWT. Maka kesibukannya dalam
belajar itu lebih utama baginya dari pada menyibukkan diri berdzikir dan
mengerjakan nawafil, tetapi hendaknya ia tidak mengosongkan dirinya untuk
berwirid dari dzikir setiap harinya, karena yang demikian itu akan membantu dan
memberikan kemudahan kepada dirinya dalam menempuh perjalannya untuk mencari
ilmu. Bahkan bagi orang awam, duduk di majelis ilmu dan pengajian yang berisi
nasehat-nasehat lebih utama baginya dari pada menyibukkan diri hanya berdzikir.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا اِلَى
الْجَنَّةِ
"Barangsiapa
berjalan mencari ilmu maka akan Allah mudahkan untuknya jalan menuju surga. "
Rasulullah SAW bersabda:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ تَعَالَى يَتْلُونَ كِتَابَ
اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ
وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ
فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه
ابو داود)
“Tidak
berkumpul suatu kaum di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca
kitab Allah dan saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali turun atas
mereka ketenangan, dicucuri rahmat, dikelilingi oleh malaikat dan disebut-sebut
oleh Allah di kalangan malaikat-malaikat
yang di sisi-Nya (HR Abu Dawud)
Sayyidina Umar ra
berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki keluar dari rumahnya, sedangkan ia
mempunyai dosa sebesar gunung tahamah. Maka apabila ia mendengarkan orang yang
alim kemudian ia takut dan meminta perlindungan Allah, dan taubat dari
dosa-dosanya, maka ia pulang ke rumahnya dengan tanpa dosa sedikitpun. Maka
janganlah sekali-kali kalian memisahkan diri dari majelis ulama’, karena Allah
SWT tidak menciptakan di muka bumi ini satu tanah pun yang lebih mulia dari
pada majelis ulama’”
‘Atha bin Abu Ribah ra
berkata : “menghadiri majelis ilmu menghapuskan 70 majelis lalai dan senda
gurau)”
Yang ke empat adalah Orang
yang berprofesi, yaitu orang yang sangat memerlukan suatu pekerjaan untuk
keluarganya, karena ia tidak mungkin meninggalkan keluarganya dan menghabiskan
waktunya hanya untuk beribadah, bahkan kesibukannya adalah bekerja, pergi ke
pasar dan sibuk melakukan usaha, begitulah waktu-waktu di laluinya. Tetapi
hendaknya bagi orang seperti ini tidak lupa untuk berdzikir kepada Allah di
sela-sela ia bekerja dengan hatinya, tetap melakukan dzikir dan tasbih dengan
teratur da membaca Al Quran, karena yang demikian itu dapat mengumpulkan dua
amal dan tetap tidak meninggalkan yang penting. Ketika ia telah selesai dari
pekerjaan dan istirahat maka hendaknya ia kembali melakukan ibadah dan
bersedekah. Karena orang yang menekuni suatu usaha dan kemudian ia bersedekah
dari rejeki yang lebih dari kebutuhannya, maka hal ini lebih utama dari
ibadah-ibadah yang lain. Karena ibadah yang manfaatnya mengalir kepada orang
lain lebih utama dari ibadah yang manfaatnya hanya untuk sendiri. Oleh karena
itu, bekerja dan bersedekah dengan niat yang demikian hakikatnya adalah ibadah
yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Yang kelima adalah Penguasa
atau pemimpin, seperti seorang pemimpin, imam, hakim, dan setiap orang yang
bertanggung jawab terhadap kemaslahatan kaum muslimin. Pekerjaanya adalah
menunaikan hajat kaum muslimin dan keinginan mereka, sesuai dengan yang telah
disyariatkan dan tidak melanggar syara’ dan dengan niat yang ikhlas. Maka yang
demikian ini lebih utama dari pada menyibukkan diri dengan berwirid. Ia hanya
disibukkan dengan menunaikan hak-hak manusia pada siang hari, dengan tanpa
meninggalka ibadah fardhu dan rawatib. Dan melakukan ibadah pada malam harinya.
Sebagaimana yang dilakukan sayyidina Umar ra. Kata beliau: “jika aku tidur pada
siang hari, maka aku telah melalaikan hak-hak kaum muslimin, dan jika aku tidur
pada malam hari, maka aku telah melalaikan hakku.
Yang keenam adalah Muwahhid
yang tenggelam dalam keesaan Allah, yaitu orang yang pikirannya hanya satu,
hanya mencintai Allah, hanya takut kepada Allah. Tidak meminta rejeki selain
dari Allah. Maka barangsiapa yang mecapai derajat seperti ini maka ia tidak
memerlukan banyaknya jenis ibadah, melainkan jenis wiridnya hanya satu selain
dari ibadah-ibadah fardhu dan rawatibnya, yaitu hadirnya hati bersama Allah SWT
dalam setiap keadaan, tidak terbesit dalam hatinya sesuatupun selain Allah SWT,
dalam pandangan dan pendengarannya hanya ada ‘ibrah, tafakkur dan bertambahnya
iman kepada Allah. Maka derajat ini adalah yang paling tinggi derajatnya,
derahat para Shadiqin. Dan tidak akan sampai pada derajat ini kecuali setelah
melalui derajat-derajat yang paling rendah dan dengan laithan dan proses yang
cukup untuk mencapai derajat ini.
Demikianlah enam hal dan
kesibukan yang telah dipaparkan oleh Syaikh Al Ghazali untuk mendapatkan
kebahagiaan di akhirat. Sekarang, bagaimana apa yang ada dalam diri kita,
potensi yang kita miliki agar menghasilkan nilai-nilai pahala dan ridha Allah
SWT, dengan cara menjalankan apa yang ada dalam diri kita ataupun potensi kita
sebaik mungkin, menjadikan keterbatasan yang kita miliki sebagai aset untuk
berkompetensi dalam kebaikan dan pencerminan dari nilai-nilai ukhrawi. Allah
menciptakan manusia berbeda-beda profesi dan menjadikan kepada mereka aturan
dan jalan yang terang, agar mereka berlomba-lomba dalam kebaikan menurut
kemampuan mereka.
Allah SWT berfirman:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا
مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Untuk
tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS Al Maidah : 48)*
Kitab rujukan : Ihya’
Ulumiddin-Imam Al Ghazali, Tanwirul Qulub-Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi,
Hikam-Syaikh Ibnu Athaillah.
0 komentar:
Post a Comment