PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, yang sangat jelas dan terang. “Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kalian
memahaminya” (QS: Yusuf : 2).
Untuk memahami al-Qur’an dengan baik, tentulah
seseorang itu harus menguasai bahasa Arab dengan baik pula. Tanpanya al-Qur’an
tidak akan mampu dikuasai.
Al-Qur’an yang terangkum di dalamnya tentang
tauhid, syari`at, akhlak, dan sebagainya memiliki berbagai macam cara dalam
penyampaian makna yang disebut dengan gaya bahasa al-Qur’an.
Gaya bahasa yang dimiliki al-Qur’an sangat
bervariasi, mulai dari amtsal, qasam, qasas, jadal, khabar, al-insya’, tasybih,
isti`arah, haqiqah, majaz, dan sebagainya. Pada beberapa kalimat pada
al-Qur’an, ada yang bermakna khusus, ada pula yang bermakna umum. Namun pada
kesempatan ini, penulis akan membahas pokok bahasan dari gaya bahasa al-Qur`an
tersebut yaitu Haqiqah dan Majaz, juga pembahasan sekelumit Tasybih, Isti’arah
dan Kinayah.
B.
Rumusan Masalah
Dalam pembahasan ini, penulis merumuskan
beberapa hal yang akan menjadi tujuan makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1. Apa pengertian,
klasifikasi dan signifikasi Haqiqah?
2. Apa pengertian,
klasifikasi dan signifikasi Majaz?
3. Apa pengertian,
rukun-rukun, kalsifikasi serta maksud dan tujuan Tasybih?
4. Apa pengertian
dan macam-macam isti’arah?
5. Apa pengertian,
sebab-sebab dan klasifikasi kinayah?
6.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Haqiqah
1.
Pengertian
Haqiqah dalam Al Quran
Haqiqah dalam pengertian bahasa, berasal dari
bahasa Arab yang artinya nyata, kenyataan, atau asli. Haqiqah dari
kata haqqa yang berarti tetap. Sebagai makna subjek (fā’il) memiliki arti yang
tetap, atau sebagai objek (maf’ūl) yang berarti ditetapkan[1].
Haqiqah berarti adalah sebuah kata yang maknanya asli sebagaimana yang
ditetapkan di dalam al-Qur’an.
Haqiqah menurut istilah, adalah kata yang
digunakan sebagaimana pertama kali dipergunakan dalam konteks kebahasaan[2].
Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk
apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai
lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat
bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal
tertentu[3].
Berdasarkan beberapa istilah diatas, haqiqah
adalah sebuah kata dalam ayat al-Qur’an yang digunakan seperti makna semulanya
yang telah ditentukan, dan memiliki tujuan tertentu.
2.
Klasifikasi
Haqiqah dalam al-Qur’an
Haqiqah diklasifikasikan ke dalam 2 bentuk,
yaitu :
a.
Lughawiyyah
Wadh`iyyah
Lughawiyyah Wadh`iyyah atau biasa disebut
dengan al-haqiqah al-lughawiyyah ini adalah kata yang
digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal
kata tersebut. Contohnya kata ar-rajul yang digunakan untuk
mennyebut laki-laki dewasa.
b.
Lughawiyyah
Manqulah
Lughawiyyah Manqulah ini adalah kata yang
digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi atau
perubahan makna. Perubahan ini dilakukan oleh ahli bahasa, atau syari’at. Pada
bagian ini, terbagi kedalam dua bentuk pula, yaitu :
1)
Haqiqah lughawiyyah `urfiyyah
Yaitu kata yang mengalami transformasi makna,
dari makna asal penggunaannya kepada makna lain yang kemudian makna tersebut
menjadi populer sehingga makna asalnya ditinggalkan.
Contohnya, kata ad-dabbah yang
artinya hewan melata, konotasinya bisa manusia dan hewan. Namun kemudian
digunakan oleh orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat saja sehingga
makna awalnya ditinggalkan.
2)
Haqiqah lughawiyyah syar`iyyah
Yaitu kata yang mengalami trasformasi makna,
dari makna asal kepada makna yang lain yang digunakan oleh pembuat syri`at.
Makna yang lain ini berdasarkan dalil syari’at, contohnya shalat,
shiyam, al-kufr, dan sebagainya[4].
Dari beberapa klasifikasi haqiqah
tersebut, dapat disimpulkan bahwa haqiqah lughowiyyah wadh`iyyah
adalah kata yang digunakan sesuai makna hakikinya, sedangkan haqiqah
lughowiyyah manqulah adalah makna yang menunjukkan makna asal setelah mengalami
transformasi makna, baik secara bahasa, maupun secara syari`at.
3.
Signifikansi
Haqiqah dalam al-Qur’an
Setelah memahami haqiqah dari berbagai macam
pengertian, dan melihat dari klasifikasinya, haqiqah memiliki signifikansi
sebagai berikut :
a.
Dengan mempelajari haqiqah, dapat memahami
suatu makna kata yang terdapat didalam al-Qur’an dengan baik;
b.
Kemudian dapat membedakan, antara kata yang
harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya, dan mana pula kata yang harus
dimaknai setelah mengalami transformasi;
c.
Dapat memahami bahwa kata asal yang mengalami transformasi
dengan kata lain, memiliki kaitan yang erat dan memiliki maksud tertentu.
B.
Majaz
Bentuk majaz dalam al-Quran, dari
bentuk denotatif (haqiqah) ke bentuk metafora (majaz). Menurut Abd al-Qahir
al-Jurjani (471 H) majaz adalah kebalikan haqiqah. Sebuah kata yang mengacu
kepada makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain
disebut dengan haqiqah. Sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu perpindahan
makna dasar ke makna lainnya, atau pelebaran medan makna dari makna dasar
karena ada alasan tertentu. Secara teoritik, majaz adalah peralihan makna dari
yang leksikal menuju yang literer, atau dari yang denotatif menuju yang
konotatif karena ada alasan-alasan tertentu.[5]
1.
Definisi
Majaz
Majaz secara etimologis berasal
dari kata bahasa Arab المجاز, bentuk masdar
(infinitif) dari kata جاز.[6] Sedangkan
secara terminologis para ulama telah banyak mendefinisikannya dengan beberapa
ibarah atau perkataan, diantaranya :[7]
a.
Ibn Qutaibah mendefinisikannya
sebagai bentuk gaya tutur, atau seni bertutur.
b.
Sibawayh mendefinisakannya dengan
seni bertutur yang memungkinkan terjadinya perluasan makna.
c.
Al-Mubarrad mengatakan bahwa majaz merupakan
seni bertutur dan berfungsi untuk mengalihkan makna dasar yang sebenarnya.
d.
Al-Qaadhy ‘Abd al-Jabbaar
mengatakan bahwa majaz adalah peralihan makna dari makna dasar
atau leksikal ke makna lainnya, yang lebih luas.
e.
Ibn Jinny dan Al-Jurjaany
menempatkan majaz sebagai lawan dari haqiqat, dan
makna haqiqat menurut Ibnu Jinny adalah makna dari setiap kata
yang asli, sedangkan majaz adalah sebaliknya, yaitu setiap
kata yang maknanya beralih kepada makna lainnya. Sedangkan menurut
Al-Jurjaany haqiqah adalah sebuah kata yang mengacu kepada
makna asal atau makna dasar, tanpa mengundang kemungkinan makna lain disebut,
sedangkan majaz adalah peralihan makna dasar ke makna lainnya,
karena alasan tertentu, atau pelebaran medan makna dari makna dasarnya.
2.
Klasifikasi
Majaz Dalam Al Quran
a.
Majaz Fi Al-Mufrad
Majaz fi al-murad adalah
majaz yang menggunakan lafadz bukan pada permulaan asal peletakannya. Macam ini
disebut juga majaz al-lughawi, dan ia terbagi ke dalam beberapa macam
:[8]
1) Al-hadzfu atau an-naqsu,
yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz yang tersembunyi.
Contohnya dalam surat Yusuf: 82
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا
Artinya: "Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami
berada disitu".
Di dalam ayat ini tersimpan lafadz yang tersembunyi sebelum
lafadz القرية (negri), yaitu
lafadz أهل (penduduk).
2) Az-Ziyaadah,yaitu
majaz yang menitikberatkan pada adanya lafadz atau hurup tambahan.
Contohnya dalam surat Asy-Syuuraa: 11
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia"
Sebagian ulama mengatakan bahwa hurup ك di depan lafadz مثله secara
makna muradnya merupakan tambahan.
3) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz plural (jama') namun yang dimaksudkan adalah
sebagian saja.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 19:
يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ
Artinya: "Mereka menyumbat telinganya dengan (anak)
jarinya".
Kata أصابع di atas secara
leksikal atau makna yang sebenarnya adalah jari-jari. Kiranya mustahil bagi orang-orang
munafik Mekkah menyumbat telinganya dengan semua jari karena takut bunyi guntur
yang mematikan. Tetapi yang dimaksud أصابع dalam
ayat tersebut adalah sebagian dari jari-jari, bukan semuanya.
4) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz yang merupakan bagian dari suatu nama benda, namun
yang dimaksudkan adalah keseluruhannya; bukan sebagiannya.
Contohnya dalam surat Ar-Rahman: 27
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ
Artinya: "Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu".
Lafadz وجه (Wajah) di dalam
ayat ini merupakan bagian dari ذات (Dzat)
Tuhan, namun di dalam ayat tersebut tidak di ambil makna وجه tetapi dimaknai ذات (Dzat).
5) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz khas(khusus), namun yang dimaksudkan
adalah 'aam (makna umumnya).
Contohnya dalam surat Al-Munafiqun: 4
هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ
Artinya:"Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka
waspadalah terhadap mereka".
Lafadz العدو (musuh) di dalam
ayat tesebut maksudnya adalah الأعداء (semua
musuh).
6) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz 'aam(umum), namun yang dimaksudkan
adalah khas (makna khususnya).
Contohnya dalam surat Asy-Syuuraa: 5
وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ
Artinya: "Dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang
ada di bumi".
Lafadz من (orang) di dalam
ayat tersebut di maksudkan khusus bagi المؤمنون (orang-orang
yang beriman.
7) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz al-'malzuum(yang diharuskan),
namun yang dimaksudkan adalah al-laazim (yang mengharuskan).
Contohnya dalam surat Al-An'am: 39
صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ
Artinya: "Pekak, bisu dan berada dalam gelap
gulita".
Kalimat في الظلمات (dalam
kegelapan) di dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya adalah
lafadz عمي (buta), karena
di dalam ayat lain di sebutkan: صُمٌّ بُكْمٌ
عُمْيٌ, maka penyebutan في الظلمات di
dalam ayat tersebut dikarenakan kalimat tersebut termasuk dari keharusan orang
yang buta, artinya mata orang yang buta pasti merasakan gelap gulita.
8) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz al-laazim(yang mengharuskan), namun
yang dimaksudkan adalah al-'malzuum (yang diharuskan).
Contohnya dalam surat Al-Maaidah: 112
هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ
السَّمَاءِ
Artinya: "Sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari
langit kepada kami?"
Lafadz يستطيع (sanggup/bisa)
di dalam ayat tersebut -secara majaz- dari segi asalnya adalah lafadz يفعل (melakukan), hal ini dikarenakan
kesanggupan mengharuskan untuk melakukan.
9) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz al-musabbab (akibat), namun yang
dimaksudkan adalah as-sabab (sebab).
Contohnya dalam surat Al-Mu'min: 13
وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ رِزْقاً
Artinya: "Dan menurunkan untukmu rezki dari
langit".
Lafadz رزقا (rizki) di dalam
ayat ini merupakan akibat dari turunnya مطر (hujan)
10) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz as-sabab(sebab), namun yang
dimaksudkan adalah al-musabbab(akibat).
Contohnya
dalam surat Al-Baqarah:
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا
اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
Artinya: "Barangsiapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu".
Lafadz اعتدوا makna
asalnya adalah "Lakukanlah kezaliman" Makna ini tidak bisa dipakaikan
karena bertentangan dengan ajaran Islam, yang melarang dari berbuat zalim. Jika
kita artikan dengan makna majaz, bisa dipahami bahwa kata اعتدوا merupakan sebab dari makna yang
dimaksud, karena kezaliman merupakan penyebab adanya جزاء (balasan). Jadi makna dari اعتدو adalah "Balaslah".
11) Menamakan
sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan setelah ia mengalami proses tertentu.
Contohnya dalam surat Yusuf: 36
إِنِّي أَرَانِي أَعْصِرُ خَمْراً
Artinya: "Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku
memeras anggur".
Lafadz خمر (arak) yang di
sebutkan di dalam ayat ini adalah nama minuman yang di buat dari perasan عنب (anggur).
12) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz al-hal(keadaan), namun maksudnya
adalah al-mahal (tempat) yang keadaannya seperti yang di
ungkapkan tersebut).
Contohnya dalam surat Ali Imron: 107
فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya: "Maka mereka berada dalam rahmat Allah
(surga); mereka kekal di dalamnya".
Lafadz رحمة الله (rahmat
Allah) di dalam ayat ini, maksudnya adalah الجنة (surga),
hal ini karena keadaan surga penuh dengan rahmat Allah.
13) Menyampaikan
ungkapan dalam bentuk lafadz al-mahal(tempat), namun maksudnya
adalah al-hal (keadaannya).
Contohnya dalam surat Al-'Alaq: 17
فَلْيَدْعُ نَادِيَهُ
Artinya: "Maka biarlah dia memanggil golongannya
(untuk menolongnya)".
Lafadz نادية adalah nama
suatu tempat, dan yang di maksudkan di dalam ayat ini adalah penduduk yang
mendiami tempat tersebut.
Menamakan sesuatu dengan nama alatnya.
Contohnya dalam surat Ibrahim: 4
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ
Artinya: "Kami tidak mengutus seorang rasulpun,
melainkan dengan bahasa kaumnya".
Lafadz لسان (lisan) di dalam
ayat ini merupakan alat untuk melafalkan bahasa, oleh karena itu lafadz
tersebut di maknai secara majaz, yaitu bahasa.
14) Menamakan
sesuatu dengan nama kebalikannya atau mengungkapkan suatu lafadz yang biasa di
gunakan untuk sesuatu kebalikannya.
Contohnya dalam surat Al-Insyiqaaq: 24
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: "Maka beri kabar gembiralah mereka dengan
azab yang pedih".
Lafadz بشّر di dalam ayat
ini biasanya di gunakan untuk الخبر السار (kabar/berita
yang menyenangkan/menggembirakan), namun di dalam ayat tersebut di gunakan
untuk kabar berita yang tidak menyenangkan sekali, yaitu عذاب أليم (azab yang pedih).
15) Mengidhafahkan
atau menghubungkan fi'il (kata kerja) kepada sesuatu yang
tidak biasanya di hubungkan dengannya.
Contohnya dalam surat Al-Kahfi: 77
فَوَجَدَا فِيهَا جِدَاراً يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ
Artinya: "Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri
itu dinding rumah yang hampir roboh, maka (Khidhr) menegakkan dinding
itu".
Fi'il يريد (ingin) di dalam
ayat ini biasanya di hubungkan dengan الحي (makhluk
hidup), sedangkan di dalam ayat ini di hubungkan dengan lafadz جدار (dinding).
16) Menyampaikan
ungkapan tentang sesuatu dengan fi'il (kata kerja), namun
maksudnya adalah dari segi kedekatan makna fi'il tersebut
terhadapnya atau dari segi kemulyaannya atau keinginannya.
Contohnya dalam surat An-Nahl: 61 dan Al-Maaidah: 6
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ
سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: "Maka apabila telah tiba waktunya (yang
ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun
dan tidak (pula) mendahulukannya".
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
Artinya: "Apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah.."
Fi"il جاء (telah
tiba) yang di kaitkan dengan lafadz أجل (saat
kematian) di dalam ayat pertama maksudnya قرب
مجيئه(mendekati tibanya saat kematian). Dan fi'il قمتم (kalian mengerjakan) yang di
hubungkan dengan lafadz الصلاة(shalat)
di dalam ayat kedua maksudnya أردتم القيام (kalian
ingin mengerjakan).
17) Menempatkan
dua lafadz secara terbalik.
Contohnya dalam surat Ar-Ru'd: 38
لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Artinya: "Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang
tertentu)".
Lafadz كتاب (kitab)
seyogyanya di dahulukan dan lafadz أجل(masa
akhir) di akhirkan, yakni لكل كتاب أجل (bagi
tiap-tiap kitab ada masa akhirnya).
18) Menempatkan
suatu shighah (bentuk suatu lafadz) pada kedudukan shighah lain.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 255
وَلا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ
Artinya: "Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari
ilmu Allah".
Lafadz علم (ilmu) di dalam
ayat ini bershighah مصدر (kata
dasar), sedangkan yang seyogyanya adalah shighah المفعول(kata kerja transitif) dari lafadz
tersebut, yakni: معلوم (yang di
ketahui), sehingga seyogyanya ayat tersebut bermakna:"Dan mereka
tidak mengetahui apa-apa yang diketahui oleh Allah".
19) Menamakan
sesuatu dengan nama yang biasa disebutkan sebelumnya.
Contohnya dalam surat Thaahaa: 74
مَنْ يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِماً فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ
Artinya: "Barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam
keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam".
Di dalam ayat ini orang yang datang kepada Tuhannya pada hari
kiamat di namai مجرم (penjahat), hal
itu di sesuaikan dengan keadaan dia sewaktu melakukan kejahata/dosa di dunia
ini.
b.
Majaz Fi At-Tarkiib
Majaz fi at-tarkiib adalah
majaz yang menyandarkan suatu perbuatan atau kesangsian kepada sesuatu yang
tidak memiliki originalitas, dikarenakan adanya hubungan keterkaitan antara
keduanya. Majaz ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz
al-isnaad.[9]
Contohnya dalam surat Al-Anfaal: 2
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ
إِيمَاناً
Artinya: "Dan apabila
dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya)".
Di dalam ayat ini terdapat suatu
perbuatan Allah, yaitu الزيادة(penambahan),
yang di sandarkan kepada الآيات (ayat-ayat),
hal ini karena dengan dibacakannya ayat-ayat tersebut menjadi sebab
bertambahnya keimanan mereka.
Majaz ini terbagi ke dalam empat macam, yaitu sbb:
1)
Penyandaran yang kedua sisnya
adalah haqiqat (makna asli).
Contohnya dalam surat Az-Zalzalah: 2
وَأَخْرَجَتِ الأَرْضُ أَثْقَالَهَا
Artinya: "Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban
berat (yang dikandung) nya".
Penggunaan lafadz أخرج (telah
mengeluarkan) dan الأرض(bumi) di dalam ayat
ini adalah secara haqiqat.
2)
Penyandaran yang kedua sisanya
adalah majaz.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 16
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
Artinya: "Maka tidaklah beruntung perniagaan
mereka".
Penggunaan lafadz ربح (beruntung)
dan تجارة (perniagaan) di
dalam ayat ini adalah secara majaz.
3)
Penyandaran yang sisi
pertamanya haqiqat dan sisi lainya majaz.
Contohnya dalam surat Ar-Ruum: 35
أَمْ أَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطَاناً
Artinya: "Atau pernahkah Kami menurunkan kepada
mereka keterangan".
Penggunaan lafadz أنزل (telah
menurunkan) di dalam ayat ini adalah secara haqiqat, sedangkan
penggunaan lafadz سلطان(kekuasaan) adalah
secara majaz sehingga ia di maknai برهان(dalil/keterangan).
4)
Penyandaran yang sisi pertamany
majaz dan sisi lainya haqiqat.
Contohnya dalam surat Al-Ma'aarij: 15-17
كَلَّا إِنَّهَا لَظَى. نَزَّاعَةً لِلشَّوَى. تَدْعُو
مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّى
Artinya: "Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya
neraka itu adalah api yang bergolak, yang mengelupas kulit kepala, yang
memanggil orang yang membelakang dan yang berpaling (dari agama)".
Penggunaan lafadz تدعو (memanggil)
di dalam ayat ini adalah secara majaz karena di sandarkan kepada lafadz النار (api neraka).
3.
Signifikasi
Majaz
Diantara
faedah-faedah penggunaan majaz adalah sebagai berikut :[10]
a.
Al-iijaz yakni
memperingkas suatu kalimat atau ungkapan.
b.
Memperluas lafadz, dimana
seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya memiliki satu
komposisi.
c.
Menampilkan suatu makna dalam suatu
gambaran yang dalam dan dekat kepada akal fikiran.
C.
Tasybih
1.
Pengertian
Tasybih
Tasybih adalah menyerupakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di antara kedua hal
tersebut, dengan menggunakan adat (alat) tasybih, baik
disebutkan maupun tidak.[11]
2.
Rukun-rukun
Tasybih
Adapun rukun-rukun Tasybih adalah sebagai berikut :
a.
Musyabbah (sesuatu yang hendak
diserupakan)
b.
Musyabbah bih (sesuatu yang
diserupai)
c.
Wajhus syibhi (sifat yang terdapat
pada kedua hal itu)
d.
Adaatut tasybih (huruf/kata yang
menyatakan penyerupaan)
e.
Musyabbah dan musyabbah bih disebut
juga tharafait tasybih.
3.
Klasifikasi
Tasybih
a.
Tasybih mursal
Tasybih mursal adalah tasybih yang adat tasybihnya disebutkan.
b.
Tasybih muakkad
Tasybih muakkad adalah tasbih yang adat tasybihnya tidak
disebutkan
c.
Tasybih mujmal
Tasybih mujmal adalah tasybih yang tidak disebutkan wajh syibhnya
d.
Tasybih mufashal
Tasybih mufashal adalah tasybih yang disebutkan wajah syibhnya
e.
Tasybih baligh
Tasybih baligh tasybih yang tidak disebutkan wajah syibh dan adat
tasybihnya.
4.
Maksud
dan Tujuan Tasybih
a.
Menjelaskan kemungkinan terjadinya
sesuatu pada musyabbah
b.
Menjelaskan keadaan musyabbah
c.
Menjelaskan kadar keadaan musyabbah
d.
Menegaskan keadaan musyabbah
e.
Memperindah atau memperburuk musyabbah
D.
Isti’aroh
Isti’aroh adalah tasybih yang
dibuang salah satu tharaif nya (musyabbah/musyabbah bih). Sehingga,
hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah (saling
menyerupai).[12]
Adapun macam-macam isti’aroh
sebagai berikut:
1.
Isti’aroh Tashrihiyyah, yaitu
isti’aroh yang dibuang musyabbahnya.
2.
Isti’aroh Makniyyah, yaitu
isti’aroh yang dibuang musyabbahbihnya
3.
Isti’aroh Ashliyyah, yaitu
isti’aroh yang menggunakan isim jamid.
4.
Isti’aroh Tabaiyyah, adalah
isti’aroh yang menggunakan lafadz isim fi’il.
5.
Isti’aroh Murasyahah, adalah
isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah bih.
6.
Isti’aroh Mujarrodah, adalah
Isti’aroh yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah.
7.
Isti’aroh Muthlaqoh, adalah
isti’aroh yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan
musyabbah bih atau musyabbah.
8.
Isti’aroh Tamtsiliyyah, adalah
suatu susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada
hubungan keserupaan antara makna asli dan makna majazi, dengan disertai karinah
yang mencegah peletakkan pada makna asli.
E.
Kinayah
1.
Definisi
Kinayah
Kinayah secara etimologis berasal dari kata bahasa arab الكناية, bentuk masdar (infinitif) dari kata كَنَى
Sedangkan secara terminologis kinayah adalah suatu lafadz yang
diungkapkan dengan menitikberatkan kepada makna seharusnya beserta membolehkan
penyebutan makna aslinya.[13]
2.
Sebab-sebab
Kinayah
Kinayah memiliki beberapa sebab, diantaranya :[14]
a.
Peringatan akan keagungan kekuasaan
Allah swt, seperti firman-Nya mengenai kinayah tentang Nabi Adam dalam surat
Al-A'raf: 189:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ واحِدَةٍ
Artinya: "Dialah Yang
menciptakan kamu dari diri yang satu".
b.
Kecerdasan yang berbicara, seperti
firman Allah swt mengenai kinayah tentang Zaid dalam surat Al-Ahzaab: 40:
ما كانَ مُحَمَّدٌ أَبا أَحَدٍ مِنْ رِجالِكُمْ
Artinya: "Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu".
c.
Meninggalkan suatu lafadz kepada
lafadz yang lebih indah darinya atau menggantikannya dengan lafadz indah
tersebut, seperti kinayah lafadz النعجة (kambing
betina) mengenai المرأة(wanita) dalam firman
Allah swt surat Shaad: 23:
إِنَّ هذا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ
واحِدَةٌ
Artinya: "Sesungguhnya
saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku
mempunyai seekor saja"
Menyebutkan suatu lafadz yang vulgar atau kasar di dengar, maka
dikinayahkan dengan lafadz yang tidak vulgar atau tidak kasar di dengar,
seperti kinayah tentang الجماع (bersenggama) dengan lafadz الملامسة (bersentuhan)
sebagaimana dalam firman Allah swt surat An-Nisa: 43:
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Artinya: "Atau kamu telah menyentuh
perempuan".
d.
Membaguskan suatu lafadz, seperti
kebiasaan orang arab mengkinayahkan حرائر
النساء (pakaian sutra perempuan) denganالبيض (telur),
hal ini juga sebagaimana firman Allah swt dalam surat Ash-Shaaffaat: 49:
بَيْضٌ مَكْنُونٌ
Artinya: "Telur (burung unta) yang tersimpan dengan
baik".
e.
Bermaksud untuk menceritakan
kepandaian atau kemahiran, seperti kinayah tentang النساء (wanita) bahwa mereka dibesarkan dalam
keadaan الترفه (kemewahan)
dan التزيين(berhias), sebagaimana
firman Allah swt dalam surat Az-Zukhruf: 18:
أَوَ مَنْ يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصامِ غَيْرُ
مُبِينٍ
Artinya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang
yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan".
f.
Bermaksud untuk melebih-lebihkan
dalam mencaci maki, seperti lafadz الغُلُّ (terbelenggu)
kinayah untuk البخل (kekikiran),
sebagaimana firman Allah swt dalam surat Al-Israa: 29:
وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ
Artinya: "Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu".
g.
Peringatan terhadap ujung nasibnya,
seperti ujung nasibnya Abu Lahab adalah اللهب (api
yang berkobar) yakni jahannam, karena itulah Allah swt menyebut namanya
denga أبو لهب (bapa api yang
menyala) dalam surat Al-Masad: 1:
تَبَّتْ يَدا أَبِي لَهَبٍ
Artinya: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa".
h.
Bermaksud meringkas, diantaranya
kinayah mengenai perbuatan-perbuatan yang beragam dengan lafadz (فعل), seperti firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah:
24:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا
Artinya: "Maka jika
kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat
membuat(nya)".
Yakni: maka jika kamu tidak dapat mendatangkan satu surat yang
seperti itu, dan pasti kamu tidak dapat mendatangkannya.
i.
Menitikberatkan kepada jumlah
kalimat yang maknnya berbeda dengan makna dzahirnya, kemudian diambil
kesimpulannya dengan tanpa mempertimbangkan kosakatanya dari segi haqiqat atau
majaznya, sehingga diungkapkannya sesuai dengan maksudnya, seperti lafadz الاستواء (Arsy) kinayah mengenai الملك (kekuasaan) sebagaimana firman Allah dalam
surat Thaahaa: 5:
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
Artinya: "Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di
atas 'Arsy".
3.
Klasifikasi
Kinayah
a.
Kinayah sifat
Kinayah sifat dapat diketahui dari adanya penyebutan mausuf (yang
disifati) dalam konteks kalimat, baik itu dari lafadznya atau ucapannya maupun
dari dzahirnya.
Misalnya seperti penyebutan lafadz الصديق yakni
Abu bakar , الفاروق yakni Umar
dan سيف الله yakni
Khalid bin Walid.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt yang menyebutkan
sifat-sifat Rasulullah saw dalam surat Al-Ahzab: 45-46:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ
شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ
وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
Artinya: "Wahaai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu
untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk
jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang
menerangi".
b.
Kinayah mausuf (yang
di sifati)
Kinayah mausuf dapat di ketahui dari adanya
penyebutan sifat dalam konteks kalimat, baik itu dari segi penyebutannya secara
langsung maupun dari segi pembawaannya.
Misalnya seperti penyebutan "yang mengucapkan ض" yakni orang Arab, دار السلام yakni kota Baghdad
dan طيبة yakni
Madinah Al-munawwarah.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt mengenai kinayah
tentang bahtera dalam surat Al-Qamar: 13:
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ
Artinya: "Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang
terbuat dari papan dan paku".
c.
Kinayah nisbah
Kinayah nisbah yaitu menisbatkan sesuatu kepada
sesuatu yang lain, baik dengan penetapan bukti maupun penolakan atau sangkalan.
Misalnya dalam pepatah arab yang mengatakan: خير الناس من ينفع الناس (sebaik-baik manusia
adalah orang yang memberi manfaat kepada sesama) terdapat kinayah mengenai
penolakan adanya kebaikan di dalam diri orang yang tidak memberi manfaat kepada
sesamanya.
Contoh dari al-Qur'an misalnya firman Allah swt mengenai kinayah
tentang persediaan Allah swt untuk kelanggengan adanya langit dan bumi, seperti
persediaan adanya daya listrik untuk kelanggengan adanya cahaya dalam lampu
listrik, apabila persediaan daya listrik habis atau diputus maka tidak akan ada
cahaya lampu listrik tersebut, hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat
Faathir: 41:
إنّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ والأَرْضِ
أَنْ تَزُولاَ
Artinya: "Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi
supaya jangan lenyap".
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Haqiqah adalah
sebuah kata dalam ayat al-Qur’an yang digunakan seperti makna semulanya yang
telah ditentukan, dan memiliki tujuan tertentu. Haqiqah diklasifikasikan ke
dalam 2 bentuk, yaitu : Haqiqah Lughawiyyah Wadh`iyyah dan Haqiqah Lughawiyyah
Manqulah (Pada bagian ini, terbagi kedalam dua bentuk pula, yaitu Haqiqah
lughawiyyah `urfiyyah dan Haqiqah lughawiyyah syar`iyyah). Haqiqah memiliki
signifikansi di antaranya : Dengan mempelajari haqiqah, dapat memahami suatu
makna kata yang terdapat didalam al-Qur’an dengan baik, Kemudian dapat
membedakan, antara kata yang harus diartikan sebagaimana bentuk asalnya, dan
mana pula kata yang harus dimaknai setelah mengalami transformasi, Dapat
memahami bahwa kata asal yang mengalami transformasi dengan kata lain, memiliki
kaitan yang erat dan memiliki maksud tertentu.
Majaz adalah
peralihan makna dasar ke makna lainnya, karena alasan tertentu, atau pelebaran
medan makna dari makna dasarnya. Majaz ada dua, yaitu: Majaz Mufrad dan Majaz
Fi at-Tarkib. Diantara faedah-faedah penggunaan majaz adalah :
Al-iijaz yakni memperingkas suatu kalimat atau ungkapan, Memperluas
lafadz, dimana seandainya suatu lafadz tidak dimajazkan maka setiap makna hanya
memiliki satu komposisi, Menampilkan suatu makna dalam suatu gambaran yang dalam
dan dekat kepada akal fikiran.
Tasybih adalah
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain karena memiliki kesamaan sifat di
antara kedua hal tersebut, dengan menggunakan adat (alat)
tasybih, baik disebutkan maupun tidak. Adapun rukun-rukun Tasybih adalah :
Musyabbah, Musyabbah bih, Wajhus syibhi, dan Adaatut tasybih. Klasifikasi
Tasybih di antaranya : Tasybih mursal, Tasybih muakkad, Tasybih mujmal, Tasybih
mufashal, dan Tasybih baligh. Maksud dan Tujuan Tasybih diantaranya
adalah menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu pada musyabbah, menjelaskan
keadaan musyabbah, menjelaskan kadar keadaan musyabbah, menegaskan
keadaan musyabbah, dan memperindah atau memperburuk musyabbah.
Isti’aroh
adalah tasybih yang dibuang salah satu tharaif nya (musyabbah/musyabbah
bih). Sehingga, hubungan antara makna hakiki dan makna majazi selalu musyabahah (saling
menyerupai). Adapun macam-macam isti’aroh di antaranya: Isti’aroh Tashrihiyyah,
Isti’aroh Makniyyah, Isti’aroh Ashliyyah, Isti’aroh Isti’aroh Murasyahah, Isti’aroh
Mujarrodah, Isti’aroh Muthlaqoh, dan Isti’aroh Tamtsiliyyah.
Kinayah adalah
suatu lafadz yang diungkapkan dengan menitikberatkan kepada makna seharusnya
beserta membolehkan penyebutan makna aslinya. Di antara sebab-sebab kinyah
adalah Peringatan akan keagungan kekuasaan Allah swt, kecerdasan yang
berbicara, meninggalkan suatu lafadz kepada lafadz yang lebih indah darinya
atau menggantikannya dengan lafadz indah tersebut, menyebutkan suatu lafadz
yang vulgar atau kasar di dengar, maka dikinayahkan dengan lafadz yang tidak
vulgar atau tidak kasar di dengar, membaguskan suatu lafadz, bermaksud untuk
menceritakan kepandaian atau kemahiran, bermaksud untuk melebih-lebihkan dalam
mencaci maki, peringatan terhadap ujung nasibnya, bermaksud meringkas, diantaranya
kinayah mengenai perbuatan-perbuatan yang beragam dengan lafadz (فعل), dan menitikberatkan kepada jumlah
kalimat yang maknnya berbeda dengan makna dzahirnya, kemudian diambil
kesimpulannya dengan tanpa mempertimbangkan kosakatanya dari segi haqiqat atau
majaznya, sehingga diungkapkannya sesuai dengan maksudnya. Ulama ahli bayan
membagi kinayah ke dalam tiga macam, yaitu : Kinayah sifat, Kinayah mausuf (yang
di sifati) dan Kinayah nisbah.
B.
Saran
Untuk membaca dan menafsirkan apa yang
dikehendai oleh Allah, seorang mufassir dituntut untuk menguasai makna-makna
dalam Al-Qur’an, baik makna haqiqi dan majazi. Oleh karena itu, sangat
dianjurkan bagi para penuntut ilmu agar mempelajari ilmu ini dengan baik.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman,
Hafidz. 2004. Ulumul Qur’an. Bogor.
Al-Ibyaarii, Ibrahim, 1405 H , Al-Mausuu'ah
al-Qur'aaniyah , Muassasah Sijil Al-Arab.
Al-Qoi'ii, Dr.
Muhammad Abdulmun'im, 1996, Al-Ashlaan
Fi 'Ulum Al-Qur'an, , Dar Al-Mun'im Al-Qoi'ii,.
Arufin,
Miftahul dan A. Faisal Haq. 1997. Ushul Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan
Hukum Islam. Cet. I. Surabaya: Citra Media.
Ashari, S.Pd.I, Rahmat, Al-Haqiqah Dan Al-Majaz Dalam
Al-Qur’an, (24 Juli 2013), http://rahmadashariuinsuska.blogspot.co.id, diunduh pada tanggal 9 Okotober 2015.
As-Sudais,
Abdullah, Al-Majaaz 'Inda Al-Usuliyyin Bain Al-Mujiiziin Wa
Al-Maani'iin,, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
As-Suhuud, Ali,
Al-Khulaashah Fi 'Ilmu Al-Balaaghah, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
As-Suyuti, Al-Itqan
Fi 'Ulum Al-Qur'an, Al-Maktabah Asy-Syaamilah.
Halimi, Majazi (Tasybih, Istiarah, Dan Kinayah), http://pascasarjana-halimi.blogspot.co.id, diunduh pada tanggal 9 Okotober 2015.
Syarifudin,
Amir. 2008. Ushul Fiqih. Jilit 2. Cet. V. Jakatra:
Kencana.
[3]Miftahul
Arufin dan A. Faisal Haq. Ushul
Fiqih : Kaidah-kaidah Pentapan Hukum Islam, Cet.
I, Surabaya: Citra Media, 1997, h. 175
[6]Abdullah As-Sudais, Al-Majaaz 'Inda
Al-Usuliyyin Bain Al-Mujiiziin Wa Al-Maani'iin,, Al-Maktabah Asy-Syaamilah,
hal. 7
[7]http://infopesantren.web.id/ppssnh.malang/cgibin/content.cgi/artikel/dialektika_gaya_bahasa_quran.single.
[12]http://kindhearte.blogspot.com/2013/05/makalah-balaghoh-tasybih-majaz-istiarah.html
[13]Dr. Muhammad Abdulmun'im Al-Qoi'ii, Al-Ashlaan
Fi 'Ulum Al-Qur'an, , Dar Al-Mun'im Al-Qoi'ii, 1996, cet IV, hal. 314.
0 komentar:
Post a Comment