Apabila penyebab keadaan cacatnya rawi adalah dia berdusta terhadap
Rasulullah saw, maka haditsnya disebut maudhu’(palsu). (Taisir
Mushthalah al-Hadits, 89)
Pengertian
Hadits Maudhu’(Palsu)
Secara etimologi (bahasa), Maudhu’ adalah isim maf’ul dari
وَضَعَ الشيء
yang artinya meletakkan/menggurkan sesuatu. Dinamakan demikian karena rendahnya
kedudukan hadits maudhu’. (Taisir Mushthalah al-Hadits, 89)
Menurut terminologi (isitilah) hadits maudhu’ terdapat
beberapa istilah, diantaranya menurut Imam as-Suyuti:
الْمَوْضُوعُ:
هُوَالْكَذِبُ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوعُ
“Maudhu’ adalah dusta yang diciptakan lagi dibuat-buat”(Tadrib ar-Rawi, I/274)
Kemudian menurut Dr. Mahmud ath-Thahhan.
هُوَالْكَذِبُ الْمُخْتَلَقُ
الْمَصْنُوعُالْمَنْسُوْبُ إِلىَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Maudhu’ adalah
dusta yang diciptakan lagi dibuat-buat yang disandarkan kepada Rasulullah saw.”(Taisir Mushthalah al-Hadits, 89)
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa hadits maudhu’
(palsu) adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat oleh seseorang yang
disandarkan kepada Rasulullah saw, padahal beliau tidak mengatakan dan tidak
memperbuatnya.
Ada dua cara dalam memalsukan hadits.
1)
Orang
yang memalsukan hadits membuat suatu ungkapan atau kalam dari dirinya sendiri
kemudian menyandarkannya kepada Rasulullah saw.
2)
Orang
yang memalsukan hadits mengambil suatu ungkapan dari ahli hikmah atau orang
lain, kemudian menyandarkan ucapan tadi kepada Rasulullah saw.
Faktor-Faktor
Timbulnya Hadits Maudhu’(Palsu)
Di antara faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya hadits
palsu adalah:
1)
Taqarrub (mendekatkan
diri) kepada Allah.
Upaya ini mereka lakukan dengan meletakkan hadits-hadits targhib (yang
mendorong) manusia untuk berbuat kebaikan, atau hadits yang berisi ancaman
terhadap perbuatan munkar. Mereka yang membuat hadits-hadits maudhu'
ini biasanya menisbatkannya kepada golongan ahli zuhud dan
orang-orang shalih. Mereka ini termasuk kelompok pembuat hadits maudhu' yang
paling buruk, karena manusia menerima hadits-hadits maudhu' mereka disebabkan
kepercayaan terhadap mereka.
Diantara mereka adalah
Maisarah bin Abdi Rabbihi. Ibnu Hibban telah meriwayatkan dari kitabnya Ad
Dhu'afa', dari Ibnu Mahdi, dia bertanya kepada Maisarah bin Abdi
Rabbihi:"Dari mana engkau mendatangkan hadits-hadits seperti,
"Barangsiapa membaca ini maka ia akan memperoleh itu? Ia menjawab:"Aku
sengaja membuatnya untuk memberi dorongan kepada manusia.". (Tadrib ar-Rawi, 283)
2)
Fanatisme kepada golongan
Madzhab-madzhab dari aliran-aliran politik setelah terjadinya fitnah dan timbulnya
berbagai macam aliran-aliran, seperti Khawarij, Syi’ah, dll.
Masing-masing dari mereka membuat hadits-hadits yang mendukung eksistensi madzhab
mereka, seperti hadits : “Ali adalah sebaik-baik manusia, barangsiapa
yang ragu, maka ia telah kafir”(Taisir Mushtalah al-Hadits, 91)
3)
Untuk merusak agama islam
Dilakukan oleh kaum zindik, yaitu
kaum yang tidak memiliki agama/kepercayaan (atheis) yang berkedok Islam dan
menyimpan kedengkian dan kebencian yang mendalam kepada umat Islam. Pada mulanya mereka ingin merusak ajaran agama Islam melalui
Al-Qur’an, namun karena tidak ada yang dapat menandingi keotentikan isi dari
Al-Qur’an, mereka gagal dan beralih ke pembuatan hadits palsu. Di antara mereka
adalah Muhammad bin Sa’id as-Sami yang disalib karena kezindikannya, ia
meriwayatkan dari Humaid dari Anas secara marfu’: “Aku adalah nabi terakhir
dan tidak ada nabi setelahku, kecuali jika Allah menghendaki.” (Tadrib
ar-Rawi, 284)
4)
Mencari muka
kepada para pembesar
Cara ini
dilakukan oleh para ahlu hikayah (tukang cerita)yang ingin mendapatkan
kedudukan yang dekat dengan para penguasa dan pembesar ataupun untuk
mendapatkan materi atau harta dengan menciptakan hadits palsu. Seperti contoh
pada masa pemerintahan al-Mahdi al Abbasi pada dinasti Abbasiyah, ketika itu
datang seorang ahlu hikayah bernama Ghiyats bin Ibrahim ketika al-Mahdi sedang
bermain adu merpati. Kemudian al-Mahdi bertanya kepadanya, “coba jelaskan
tentang hadits yang kau ketahui dari rasulullah”. Ghiyats kemudian
menjawab, “Rasulullah SAW bersabda : Tidak boleh seseorang melakukan lomba
dan aduan kecuali pada ketangkasan memanah, menunggang kuda, dan onta.”
hadits berhenti di sini, namun Ghiyats menambahkan, “atau yang bersayap”.
Mendengar
pernyataan tersebut al-Mahdi memberi imbalan kepada Ghiyats. Setelah ia pergi
al-Mahdi berkata, “ ketahuilah bahwa dia itu seorang pendusta.” Kemudian
al-Mahdi memotong merpatinya dan tidak pernah bermain adu merpati lagi. (Taisir
Mushthalah al-Hadits, 93)
Hukum
Meriwayatkan Hadits Maudhu’(Palsu)
Para ulama sepakat bahwa haram meriwayatkan hadits maudhu’ (palsu)
bagi siapa saja yang mengetahui keadaannya kecuali untuk menjelaskan kepalsuan
hadits tersebut, karena Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia mengambil tempat di
neraka” (lihat takhrij hadits ini pada hal. 3 dalam
buku ini)