BAB
I
PENDAHULUAN
Kita tahu, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab
yang diturunkan Allah kapada Nabi Muhammad SAW yang tercinta. Sangat mustahil
seseorang akan paham Alqur’an secara kamil kalau tidak tahu tentang
tafsir. Serangan terhadap Al-Quran pun beramai-ramai dilakukan oleh para
orientalis Barat. Mereka berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas
dan kesakralan Al-Quran. Kita tentu tidak akan heran jika orang yang
melakukan penyerangan terhadap Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi
dan Kristen. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu
juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim; bahkan
berkembang dari dan di perguruan tinggi negeri yang memakai embel-embel Islam.
Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran
semakin sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap
ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat
menimbulkan problem dengan penganut agama lain.Akan tetapi, apakah setiap orang
memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki
otoritas untuk menafsirkan Al-Quran dan apa saja yang harus dipenuhi olehnya?
Tulisan ini mencoba untuk menjelaskannya
Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran
semakin sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap
ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat
menimbulkan problem dengan penganut agama lain.Akan tetapi, apakah setiap orang
memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki
otoritas untuk menafsirkan Al-Quran dan apa saja yang harus dipenuhi olehnya?
Setelah meyakini
sepenuhnya bahwa Al Quran betul betul dari Allah; sedikitpun tidak ada campur
tangan pihak luar ,termasuk malaikat jibril dan Nabi Muhammad saw, maka
seseorang akan termotivasi secara kontinu untuk mempelajarinya agar diperoleh
pemahaman yang benar sesuai dengan yang dimaksud Allah di dalam kitab-Nya itu. Guna
mendapatkan pemahaman yang demikian mau tidak mau,dia harus memiliki apa yang
disebut dengan ilmu Tafsir.Tampa pengusaan ilmu itu seseorang akan menghadapi
kesukaran yang luar biasa dalam menafsirkan firman suci semacam al Qur’an tersebut,
dan tidak mustahil dia akan keliru dalam memaknai sebuah teks. Karena itulah
Rasul mengancam siksa api neraka bagi yang berani menafsirkan al Qur’an tampa penguasaan ilmunya.[1]
Adapun syarat dan kepribadian mufassir membahas tentang
hal-hal yang berkaitan tentang syarat syarat dari seorang mufasirdan etika
serta kepribadiannya yang harus dimiliki oleh seorang mufasir ,dimana Mufassir
harus menafsirkan al Qur’an seobjektif mungkin.
Mufassir orang yang menafsirkan al Qur’an memiliki
peranan penting bahkan turut menentukan bagi pemasyarakatan al Qur’an .Untuk
itu, mufassir perlu memiliki persyaratan, kepribadian dan ilmu-ilmu tertentu
yang harus dimiliki oleh seorang mufassir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat Mufassir
Menafsirkan al-Qur;an merupakan amanah yang berat. Oleh
karena itu, tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk mengemban amanah
tersebbut. Siapa saja yang ingin menefsirkan al-Qur’an harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratn ini merupakan suatau hal yang wajar
dalam semua bidang ilmu, demikian juga halnya dengan tafsir al-Qur’an, syarat
yang ketet mutlak diperlukan agar tidak terjadi ksalahan atau kerancuan dalam
penafsiran. Sebelum mengemukakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
mufassir maka terlebih dahulu kami paparkan arti kata syarat dan mufassir itu
sendiri.
Syarat secara kebahasaan, dalam bahasa arab asy-syarthu
yang artinya adalah janji atau suatu yang dimustikan[2].
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, syarat adalah tuntutan atau permintaan yang harus
dipenuhi, segala sesuatu yang perlu atau haraus ada[3].
Sedangkan Mufassir menurut Husain bin Ali bin Husain Al-Harby adalah sebagai
berikut. “Mufassir adalah orang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia
mengetahui maksud Allah ta’ala dalam al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya ia
melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat
menegnai tafsir Kitabullah”[4].
Adapun Syarat-syarat seorang mufassir menurut
Manna’ al-Qahan adalah sebagai berikut:
1. Sehat Akidahnya
Akidah mempunyai
peranan yang sangat besar terhadap jiwa pemiliknya. Ketika ia mempunyai akidah
yang melenceng, tentu saj ia akan menafsirkan alQr’an dengan berbagai
penyimpangan, yang nantinya akan merusak pemahaman akan Al-Qur’an itu sendiri.
2. Terlepas dari hawa nafsu.
Tidak menggunakan hawa nafsu yang
mendorongnya untuk menyokong mazhabnya.
3. Mula-mula menafsirkan Al quran dengan Al qur’an pula.
4. Mengambil tafsir itu dari sunnah.
5. Apabila tidak ada di sunnah, maka dikembalikan
keperkataan sahabat
6. Apabila tidak ada tafsir dalam al Qur’an, dan tidak ada
pula pada sunnah, tidak ada pula pada perkataan sahabat,maka dikembalikan pada
perkataan Tabi’in.
7. Mengetahui bahasa arab dan cabang-cabangnya
Al qur’an itu diturunkan dalam bahasa arab. Memahaminya
itu ialah dengan menerangkan mufradat-mufradat dan lafaz-lafaz. Inilah yang
dijadikan dalil untuk menempatkannya.
8. Mengertahui dasar-dasar ilmu yang berhubungan dengan Al
quran.[5]
Persyaratan fisik dan psikis (kejiwaan) seperti yang umum
berlaku pada dunia keilmuan lainya ialah bahwa mufassir harus orang yang dewasa
(baliq) dan berakal sehat, anak kecil dan orang gila tidak bisa diterima
penafsiranya. Kemudian secara psikis, seorang mufassir juga memiliki etika
etika penafsiran yang lazim dikenal dengan sebutan adab al-mufassir yaitu harus
sehat I’tiqadnya, bagus niatnya, lurus tujuan/maksudnya, baik akhlaknya, dan
patut diteladani amal perbuatanya.[6]
Syarat lain yang tidak kurang
pentingnya ialah beragam Islam (muslim). Orang kafir tidak dibenarkan
menafsirkan al Qur’an, karena dia tidak memiliki
kepentingan apa pun dengan al Qur’an. Karenanya, tidaklah
mengherankan jika hingga dewasa ini, tidak ada satupun orientalis yang
menafsirkan al Qur’an dalam konteksnya yang utuh dan menyeluruh.
Salah satu syarat penting untuk mufassir adalah mengetahui
biografi Nabi saw. Setiap penafsiran tidak boleh menyimpang, apalagi
bertentangan dengan apa yang telah digasislan Nabi saw. Apabila hal itu
terjadi, maka penafsiran tersebut harus ditolak. Salah satu upaya untuk
menghindarkan terjadinya penyimpangan tersebut ialah dengan mengetahui biografi
Nabi saw karena biografi beliau tidak dapat dipisahkan dari al-Qur’an, meskipun
bisa dibedakan. Dengan demikian dapat dikatakan kehidupan beliau merupakan
personifikasi bagi pemahaman al-Qur’an sehingga dapat dilihat wujud
pengamalannya oleh umat dalam perilaku dan aktivitas keseharian Rasul Allah;
baik secara individual, berkeluarga, maupun bermasyarakat dan berbangsa.
Dalam mengkaji biografi Nabi saw
sekaligus akan terbicarakan situasi dan kondisi yang dihadapi beliau semasa
hidupnya; baik di rumahtangga, di tengah masyarakat, maupun hubungan diplomatik
antara sesama bangsa di dunia, dan sebagainya. Kajian serupa ini berkaitan erat
dengan masalah-masalah sosiokultural suatu bangsa. Jika begitu, maka tidaklah
salah, bila Rasyid Ridha menjadikan pengetahuan tentang situasi dan kondisi
kehidupan umat manusia sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang mufasir.[7]
B. Etika dan Adab Mufassir dalam Menafsirkan
al Qur’an
Dalam kamus
al-Munawir, adab mempunyai arti aturan, tata krama atau kesopanan.[8] Sedangkan dalam Kamus Bahasa
Indonesia adab sendiri mempunyai arti budi pekerti yang halus dan akhlak yang
baik.[9]
Dengan demikian dapat diartikan bahwa adab yaitu tingkah laku yang baik.
Sedangkan adab mufasir diartikan dengan tingkah laku sesorang yang hendak
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan kata lain seorang mufasir boleh
menfsirkan ayat-ayat al Qur’an apabila memiliki adab yang telah ditentukan oleh
para ulama.
Al-Qur’an adalah
kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat perantara malaikat
Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang
merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah,
etika, mu’amalah dan sebagainya. Seorang mufassir tidak cukup hanya menguasai
ilmu-ilmu yang berkenaan dengan tafsir saja, melainkan ia pun dituntut untuk
melakukannya dengan dibarengi hati yang jernih, yaitu ikhlas, niat yang baik
dan takwa kepada Allah SWT
Al-Zarkasyi
mengemukakan pendapatnya dalam kitab Al-Burhan: “Ketahuilah bahwa memahami
makna wahyu Ilahi tidak akan berhasil dan tidak akan mendapatkan rahasianya
apabila di dalam hatinya ada kesombongan, hawa nafsu, cinta dunia, melakukannya
demi perbuatan dosa, tidak mengetahui hakekat iman, mengambil pandangan orang
lain tanpa dilandasi ilmu, atau cenderung menggunakan akalnya. Ini semua adalah
penghalang yang harus disingkirkan dari dalam diri seorang mufassir.
Berikut adalah etika yang harus dimiliki oleh seorang
mufasir dalam menafsirkan Al Qur’an;
1. Baik niat dan tujuannya. Bahwa segala pekerjaan itu
dimulai dengan niat. Ilmu syariat yang lebih diutamakan menganjurkan berbuat
makruf guna untuk kebaikan islam. Mensucikan niat duniawi untuk menutupi
kesalahan–kesalahannya terhadap Allah. Memamfaatkan dengan ilmu dalam hal ini
membuahkan keikhlasan.
2. Baik akhlaknya. Ahli-ahli tafsir itu berdiri di atas budi pekerti yang baik
dan terpuji. Jangan sampai bertingkah laku yang keterlaluan, selain dari itu
menjadi contoh tauladan bagi orang banyak dalam segi akhlak dan moral.
3. Mengingat perintah Allah
dan beramal. Ilmu yang diterima dari orang-orang yang beramal itu hasilnya akan berlipat ganda.
4. Meneliti dan memeriksa Al qur’an dan hadis. Jangan berbicara
atau menulis, selain dari apa yang telah ditetapkan oleh para peneliti, sehingga
dengan demikian dia akan terhindar dari kesalahan dalam kata-kata dan salah
tulis.
5. Bersikap rendah hati dan lemah lembut
6. Bersikap terus terang dalam kebenaran
7. Jangan ceroboh. Hendaklah berbicara dengan pelan, sehingga
dapat di mengerti dan jelas
8. Mendahulukan orang yang lebih pantas daripadanya.
9. Adanya persiapan yang baik dan metode yang baik untuk
dipergunakan dalam membuat tafsir. Tafsirnya dimulai dengan menyebutkan
sebab-sebab turunya ayat, sudah itu mufradat, sudah itu menjelaskan duduk
persoalanya, susunan hurufnya, menerangkan bentuk balagah dari i’rab sampai
kepada membatasi arti. Sudah itu menerangkan arti itu secara umum dan
menghubungkannya dengan kehidupan umum orang yang hidup pada masanya.sudah itu
mengambil kesimpulan kesimpulan dan hukum-hukumnya.juga menyebutkan hal-hal
yang bersesuaian dengan mengikat di antara ayat-ayat permulaan dengan kemudian.
Termasuk adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib
menghindari perkara-perkara berikut ketika menafsirkan Al-Quran:
1. Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta‘ala dalam
firman-Nya padahal tidak mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta
tidak terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
2. Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah,
seperti perkara-perkara mutasyâbihât. Seorang mufassir tidak boleh
terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta‘ala menjadikannya
sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas
hamba-hamba-Nya.
3. Mengikuti hawa nafsu dan
anggapan baik (istihsân).
4. Tafsir untuk menetapkan madzhab yang rusak dengan menjadikan madzhab
tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang
akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya
dan mengembalikannya pada madzhabnya dengan segala cara.
5. Tafsir dengan memastikan bahwa
maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang
secara syar’i berdasarkan firman Allah ta‘ala,
ÙˆَØ£َÙ†ْ تَÙ‚ُولُوا
عَÙ„َÙ‰ اللهِ Ù…َا لاَ تَعْÙ„َÙ…ُونَ
“Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 169).[10]
Adapun kepribadian mufasir adalah
sebagai berikut:
1. Ikhlas
Setelah mufassir bebas dari paham yang atau
aliran yang akan membelokkannya dari jalan yang benar maka ia harus meluruskan
niatnya. Artinya, dia menafsirkan al Qur’an semata-mata karena Allah, tidak didorong oleh
motivasi kepentingan diri pribadinya,keluarganya maupun golongannya.karena iti
dia selalu menafsirkan Al qur’an apa adanya. Artinya dia tidak mau dipengaruhi
oleh pihak lain; bahkan termasuk oleh dirinya sendiri. Dia tidak peduli apakah
orang lain menerima atau menolak penafsirannya karena dia menyadari bahawa Al qur’an ialah pedoman
abadi bagi umat dalam menjalani hidup
dalam dan kehidupan mereka di bumi ini,demi meraih kebahagiaan dunia akhirat.
2. Netral
Yang dimaksud netral dalam kajian ini ialah
mufassir tidak boleh memihak kepada pendapat siapa pun kecuali al Qur’an dan
hadis. Untuk mewujudkan sikap netral, mufassir
dituntut mengosongkan pikiranya dari
segala bentuk ajaran dan aliran serta pendapat-pendapat yang akan mengganggu
pada waktu menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.
3. Sadar
Mufasir harus sadar bahwa yang sedang
dikajinya firman Allah, bukan kalam manusia, dan bukan pula kalam makhluk lain
seperti malaikat, jin dan lain-lain. Apabila kondisi ini tidak disadari oleh
mufasir, maka kemungkinan keliru dalam memahami dan menafsirkan Al qur’an
semakin besar.
Selain menyadari posisi kitab al Qur’an yang
demikian sakral serta merupakan firman langsung dari Allah, maka seorang
mufasir juga harus selalu sadar bahwa penafsiranya akan dijadikan tuntunan oleh
umat, sehingga bila ia salah atau sengaja melakukan kesalahan, maka berarti dia
telah tersesat dan menyesatkan orang lain.
4. Ilmu Mawhibah
Ilmu Mawhibah dapat diartikan pengetahuan
pemberian atau hibah dari Allah. Akan tetapi, apakah Allah akan memberikan tanpa
usaha seperti layaknya hibah? Tentu tidak. Al-Suyuthi mendefinisikan ilmu ini
dengan”ilmu yang diwariskan Allah kepada orang yang mengamalkan ilmu yang
diperolehnya”.Inilah –katanya-yang diisyaratkan Nabi dengan hadisnya yang
artinya (Barang siapa mengamalkan ilmu yang diperolehnya, niscaya diwariskan
Allah kepadanya ilmu yang belum diketahuainya.
Jadi yang dimaksud dengan ilmu Mawhibah ialah
pengetahuan yang didapat setelah bekerja
dan berusaha maksimal dalam mengamalkan ilmu yang sudah ada.[11]
C. Ilmu-ilmu yang Harus Dimiliki Mufassir
Imam Jalaluddin as-Sayuthy dalam bukunya al-Itqan
menyebutkan lima belas syarat untuk menjadi mufassir, yaitu:
1. Ilmu bahasa Arab yang dengannya dia mengetahui makana
kosakata dalam pengertian kebahasaan dan mengetahui
pula yang Musytarak.
2. Ilmu Nahwu karena amakna dapat berubah akibat perubahan
Irab.
3.
Ilmu Sharaf karena perubahan
bentuk kata dapat mengakibatkan perbedaan makna.
4.
Pengetahuan tentang Istiqaq
(akar kata).
5.
Ilmu al-Ma’any, yaitu ilmu yang
berkaitan dengan susunan kalimat dari sisi pemaknaannya.
6.
Ilmu al-Bayan, yaitu ilmu yang
berkaitan dengan perbedaan makna dari sisi kejelasan atau kesamarannya.
7.
Alimu al-Badi’, yaitu ilmu yang
berkaitan dengan kaindahan susunan kalimat.
8.
Ilmu al-Qira’at, yang dengannya
dapat diketahui makna yang berbeda-beda sekaligus membantu dalam menetapkan
salah satu dari aneka kemungkinan makna.
9.
Ilmu Ushul ad-Din, karena dalam
al-Qur’an ada ayat-ayat yang lafazhnya mengesankan kemustahilannya dinisbatkan kepada
Allah.
10. Ilmu Ushul al-Fiqih, yaitu landasan dalam menng-istinbath-kan/menetapkan
hukum yang dikandung oleh ayat.
11. Asbab an-Nuzul, karena dengannya dapat diketahui
konteks ayat guna kejelasan maknanya.
12. Nasekh dan Mansukh, yakni ayat-ayat yang telah dibatalkan
hukumnya, sehingga dapat diketahui yang mana yang masih berlaku.
13. Fiqih/Hukum Islam
14. Hadits-hadits nabi yang berkaitan dengan fenafsiran ayat.
15. ‘Ibn al-Mauhibah, yakni sesuatu yang dianugerahkan
Allah kepada seseorang sehingga menjadikannya berpotensi menjadi Mufassir. Itu
bermula dari upaya membersihkan hati, meluruskan akidah, atau apa yang
diistilahkan oleh sementara ulama dengan Shihhat al-‘Aqidahh/Lurusnya ‘Akidah.[12]
Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang
mufasir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan al-Qur’an.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi menyatakan, “siapa yang ingin menafsirkan al-Qur’an
yang mulia maka yang pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari al-Qur’an.
Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat
lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan
ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah karena ia
(As-Sunnah) merupakan penjelasan pada al-Qur’an. Apabila tidak menemukannya
dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat
karena mereka lebih mengetahui penafsiran al-Qur’an. Sebab, merekalah yang
menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka
juga diberikan kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan
amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antar pendapat para sahabat, amak
harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya
perbedaan pendapat mereka mengenai makna-makna huruf hija’ (alphabet), maka
harus dikembalikan pada pendapat orang yang menyatakan, maknanya adalah qasam
(sumpah).”[13]
KESIMPULAN
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahawa seorang mufasir tidak bisa menafsirkan Al-Qur’an
sekehendak hatinya,dia tidak boleh terpengaruh dari orang lain,ataupun
golongan tertentu. Karena
al Qur’an
adalah dari Allah Langsung tidak ada campur tangan dari mahluk, malaikat, jin,
bahkan dari Nabi Muhammad SAW sekalipun dalam pembuatannya. Sehingga
seorang mufassir harus mempunyai syarat-syarat
yang harus dia laksanakan, dan
mempuanyai etika serta kepribadian yang baik, dan
Ilmu-ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufasir.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr. Nashruddin Baidan. Wawasan baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
cetakan I 2005)
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: Hidakarya
Agung. 1990)
Muuhammad Isya Anshory, Syarat-syarat Mufassir al-Qur’an E Book.
http://www.sarjanaku.com/2009/12/studi-tentang-syarat-syarat-mufassir-al.html.
12 Oktober 2015
Mana’ khalil al-Qathan. Mabahis
fi ‘ulum al-Qur’an (terjemah) Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2009)
Dr.H.Muhammad Amin Suma,MA.SH. Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus), cetakan pertama,2001
Nashruddin Baidan. Metode Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2002)
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir: Kamus Bahasa Arab
(Surabaya: Pustaka Progresif, 2002).
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa
Indonesia. (Jakarta; Pusat Bahasa, 2008)
Prof.Dr.T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu
Al-Qur”an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang). cetakan kedelapan 1980.
Quraishi Shihab. Kaidah Tafsir. (Tangerang: Lentera Hati.
2015).
[1] Prof.Dr. Nashruddin Baidan. Wawasan baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan I 2005). h.
8.
[2] Muhammad
Yunus, Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung. 1990), h. 194
[4] Muuhammad Isya
Anshory, Syarat-syarat Mufassir al-Qur’an E Book. http://www.sarjanaku.com/2009/12/studi-tentang-syarat-syarat-mufassir-al.html.
12 Oktober 2015
[5] Mana’
khalil al-Qathan. Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an (terjemah) Mudzakir AS.
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009). h. 463-464
[6] Dr.H.Muhammad Amin Suma,MA.SH. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus), cetakan pertama,2001.hal
[7] Nashruddin
Baidan. Metode Penafsiran Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2002). h. 278-279
[9] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia. (Jakarta;
Pusat Bahasa, 2008), h. 9
[10] Prof.Dr.T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur”an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang). cetakan kedelapan 1980. h
207
[12] Quraishi
Shihab. Kaidah Tafsir. (Tangerang: Lentera Hati. 2015). h. 395-396
0 komentar:
Post a Comment