A.
PengertiaN Bid’ah
Al Imam
Izzuddin Abdul Aziz bin Abdissalam, ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i,
mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam sebagai
berikut:
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Bid’ah adalah
mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah
saw.” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172)
Definisi serupa
juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf
al-Nawawi. Beliau berkata:
البِدْعَةُ بِكَسْرِ
الْبَاءِفِي الشَّرْعِ
هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم.
“Bid’ah menurut syara’ adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa
Rasulullah saw.” (Al-Imam an-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 3/22)
Al-Imam
Muhammad bin Isma’il al-Shan’ani dalam Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram,
juga mendifinisikan bid’ah. Beliau mengatakan:
الْبِدْعَةُ لُغَةً: مَا عُمِلَ
عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا: مَا عُمِلَ مِنْ دُوْنِ
أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌ مِنْ كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ
“Bid’ah menurut
bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang
dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului
pengakuan syara’ melalui al-Quran dan Sunnah. (Subul al-Salam, 2/48)
B.
Pembagian Bid’ah
Secara garis
besar, para ulama membagi bid’ah menjadi dua; yaitu :
a.
Bid’ah Hasanah
(Bid’ah yang baik);
b.
Bid’ah Madzmumah
(Bid’ah yang tercela)
Dalam hal ini,
al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i – Mujtahid besar dan pendiri
madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah wa al-Jama’ah di
dunia Islam -, berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا
أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ
الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ.
Bid’ah
(Muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Quran
dan Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,
sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Quran, Sunnah dan
Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela.” (al-Baihaqi, Manaqib
al-Syafi’i, 1/469)
Imam an-Nawawi
juga membagi bid’ah pada dua bagian, ketika membicarakan masalah bid’ah, dalam
kitabnya Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat (3/22), beliau mengatakan:
وَهِيَ
– الْبِدْعَةُ - مُنْقَسِمَةٌ إِلَى: حَسَنَةٍ وَقَبِيْحَةٍ.
“Bid’ah terbagi
menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).” (Tahdzib
al-Asma wa al-Lughat, 3/22)
Bahkan dalam Syarh
Shahih Muslim dan Raudhat al-Thalibin, al-Imam an-Nawawi membagi
bid’ah tidak hanya dua bagian. Bahkan beliau juga membagi bid’ah secara lebih
rinci, yaitu menjadi lima hukum sesuai dengan alur yang diikuti oleh mayoritas
ulama. Pembagian bid’ah menjadi dua, dan bahkan menjadi lima, juga dilakukan
oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Dalam kitab Fath al-Bari Syarh
Shahih al-Bukhari, beliau berkata:
وَالْبِدْعَةُ أَصْلُهَا مَا
أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ وَتُطْلَقُ فِي
الشَّرْعِ فِي مُقَابِلِ السُّنَّةِ فَتَكُونُ مَذْمُومَةً وَالتَّحْقِيقُ
أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسِنٍ فِي الشَّرْعِ
فَهِيَ حَسَنَة وَأَن كَانَت مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِي الشَّرْعِ
فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ وَإِلَّا فَهِيَ مِنْ قِسْمِ الْمُبَاحِ وَقَدْ تَنْقَسِمُ
إِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ
Secara bahasa,
bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam
syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti
tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap
baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan
sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah
(tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah
(boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fath al-Bari, 4/253)
Pembagian
bid’ah menjadi menjadi lima juga dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Isma’il
al-Shan’ani dalam Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, beliau
mengatakan:
الْبِدْعَةُ
لُغَةً مَا عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَالْمُرَادُ بِهَا هُنَا مَا
عُمِلَ مِنْ دُونِ أَنْ يَسْبِقَ لَهُ شَرْعِيَّةٌ مِنْ كِتَابٍ، وَلَا سُنَّةٍ
وَقَدْ قَسَّمَ الْعُلَمَاءُ الْبِدْعَةَ خَمْسَةَ أَقْسَامٍ وَاجِبَةٌ: كَحِفْظِ
الْعُلُومِ بِالتَّدْوِينِ، وَالرَّدِّ عَلَى الْمَلَاحِدَةِ بِإِقَامَةِ
الْأَدِلَّةِ. وَمَنْدُوبَةٌ: كَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ. وَمُبَاحَةٌ:
كَالتَّوْسِعَةِ فِي أَلْوَانِ الْأَطْعِمَةِ، وَفَاخِرِ الثِّيَابِ. وَمُحَرَّمَةٌ
وَمَكْرُوهَةٌ: وَهُمَا ظَاهِرَانِ فَقَوْلُهُ: كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ عَامٌّ
مَخْصُوصٌ
“Bid’ah menurut
bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang
dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului
pengakuan syara’ melalui al-Quran dan Sunnah. Ulama telah membagi bid’ah
menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib, seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan
membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan
dalil-dalil, 2) bid’ah mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid’ah
mubahah, seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4)
bid’ah muharramah dan 5) bid’ah makruhah, dan keduanya sudah jelas
contoh-contohnya. Jadi, hadits “Semua bid’ah adalah sesat”, adalah kata-kata
umum yang dibatasi jangkaunnya.” (Subul al-Salam, 2/48)
Pembagian bid’ah
ini juga diikuti oleh ulama-ulama yang lain, seperti al-Imam Muhammad bin Ali
al-Syaukani, Ibnu Taimiyyah, dan yang lainnya.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu
mulai dari al-Imam al-Syafi’i, al-Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, dan yang lainnya telah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah madzmumah. Bahkan secara lebih rinci, bid’ah
dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum syara’ yang ada.
C.
Bid’ah Hasanah Pada Masa Rasulullah saw.
عَنْ
عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ
رَسُوْلِ اللهِ إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ
أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ
ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ
يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ
فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا
مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا
فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن
دقيق العيد والحافظ ابن حزم.
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti
shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat
kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan
mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam
shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang
terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat
shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat
berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti
rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang
berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab:
“Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz
bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz telah memulai
cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian
kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan
lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan
al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah,
seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam
hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak
pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya
kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan
aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam.
Dalam
hadits lain diriwayatkan:
وَعَنْ
سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ
النَّبِيِّ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا
طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟)
قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا
أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري.
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami
shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari
ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di
belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan
fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat
tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat
lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah
diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan
dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan
perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka
lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal
itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar
al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi
dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak
menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam),
dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu
orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah
sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau
masih hidup.
D.
Bid’ah Hasanah Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah
sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ
مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ
بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ
عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ
بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ
بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ
نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ
وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ. رواه البخاري.
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan
Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata
orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok.
Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang.
Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku
kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan
mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar
bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam.
Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi
menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada
waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari
[2010]).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan
shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam,
kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin
setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula
pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu
mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan
menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong
bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini”.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
وَعَنِ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ
إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ وَأَبِيْ
بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ وَكَثُرَ
النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ
سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ. رواه البخاري.
“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at
pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian
pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan
ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari
[916]).
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar
adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa
Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat,
sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke
mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di
Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at,
sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu
menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah
hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya
dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus
diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan
oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan,
beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin
Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika
menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh
al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan
al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan
idul adhha.
0 komentar:
Post a Comment