Saturday 30 January 2016

DALIL BOLEHNYA BERBEDA PENDAPAT

Bolehnya Berijtihad Dalam Masalah Furu’
Dan Kemungkinan Terjadinya Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf)
عن ابن عمر قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم لنا لما رجع من الأحزاب ( لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة ) فأدرك بعضهم العصر في الطريق فقال بعضهم لا نصلي حتى نأتيها وقال بعضهم بل نصلي لم يرد منا ذلك فذكر للنبي صلى الله عليه و سلم فلم يعنف واحدا منهم (رواه البخاري)
“Dari Ibnu Umar ra berkata: Rasulullah saw bersabda kepada kami ketika kembali dari pasukan sekutu : “janganlah ada seorangpun yang shalat ashar kecuali setelah sampai di Bani Quraidhah”. Maka sebagian mereka menemui waktu ashar ketika masih dalam perjalanan, sebagian berkata : “Kami tidak akan shalat sehingga kami sampai di sana”. Sebagian yang lain berkata : “Kami tetap akan shalat, karena nabi tidak menghendaki dari kita seperti itu”. Kemudian kejadian itu dilaporkan kepada Nabi Saw tetapi beliau tidak mengecam atau menegur seorangpun di antara mereka.” (HR Bukhari)

Tidak ada seorang pun yang ditegur atau disalahkan oleh Nabi saw merupakan dalil penting bagi salah satu prinsip syariat yang agung ini. Yaitu ketetapan prinsip perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ dengan menganggap masing-masing dari kedua belah pihak yang berselisih pendapat mendapatkan pahala dan dimaafkan. Baik kita katakan bahwa pihak yang benar itu hanya satu maupun lebih, sebagaimana ia juga menyimpulkan prinsip ijtihad dalam menyimpulkan hukum-hukum syari’at. Di samping itu, peristiwa ini menunjukkan bahwa menuntaskan perselisihan dalam masalah-masalah furu’ yang timbul dari dalil-dalil dzanni adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena Allah memberikan taklif kepada hamba-Nya dengan dua macam taklif
Pertama, menjalankan perintah-perintah tertentu yang sudah jelas dan berkaitan dengan akidah dan perilaku (suluk)
Kedua, mencari dan mengerahkan segenap upaya untuk memahami prinsip-prinsip dan hukum-hukum far’iyyah dari dalil-dalil yang umum dan beraneka macam. Seseorang yang mendapati waktu shalat di suatu pedalaman dan tidak mengetahui arah kiblat secara pasti, tidaklah di tuntut dari tercerminnya ‘ubudiyyah kepada Allah dalam mengerahkan segenap usahanya untuk mengetahui arah kiblat sesuai dengan apa yang dipahaminya dan atas tanda-tanda yang dilihatnya. Bila ia sudah yakin dengan arah kiblat yang dicarinya, ia boleh shalat menghadap kepadanya dengan tenang.
Selain itu, terdapat terdapat beberapa hikmah dari adanya dalil-dalil dan nash-nash syari’at yang dzanniyud dilalah (tidak tegas penunjukannya). Yang terpenting di antaranya, agar ijtihad-ijtihad yang berlainan mengenai suatu masalah itu seluruhnya memiliki hubungan erat dengan dalil-dalil yang mu’tabarah secara syar’i sehingga kaum muslimin memiliki keleluasaan untuk mengambil dalil yang mana saja yang mereka kehendaki sesuai dengan tuntuntan situasi dan kemaslahatan mereka. Hal ini merupakan bentuk salah satu bentuk rahmat Allah swt kepada para hamba-Nya di setiap zaman dan waktu.
Dengan demikian, usaha-usaha untuk menghapuskan perbedaan pendapat (khilafiyyah) dalam masalah-masalah furu’ adalah bertentangan dengan hikmah rabbaniyyah dan tadbir (menejemen) Ilahi dalam syari’at-Nya, di samping merupakan salah satu jenis kesia-siaan. Sebab, bagaimana anda akan menghapuskan adanya perbedaan pendapat selama dalilnya bersifat dzanni dan mengandung beberapa kemungkinan (ihtimal).? Seandainya hal itu terjadi pada suatu masa, niscaya sudah terjadi di masa Rasulullah saw dan orang yang paling pantas untuk tidak berbeda pendapat adalah para sahabat. Tetapi ternyata mereka juga berselisih pendapat sebagaimana kita lihat dalam peristiwa yang diceritakan hadits di atas. 
By: Muh Haris Zubaidillah

Rujukan : Fiqh Sirah Dr. Ramadhan a;-Buthy, Jami’ al-Hadits Imam as-Suyuti, Shahih al-Bukhari Imam al-Bukhari.  

0 komentar:

Post a Comment