Saturday 13 August 2016

MUALLIM H. NASHRULLAH, Lc., MHI


Potret Hidup Anak Sang Kiayi
Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Amuntai, memiliki seorang dosen yang juga dikenal sebagai penulis. Beliau sudah banyak mengeluarkan buku-buku dengan berbagai tema yang menarik untuk dibaca. Di antara karya beliau yang sudah diterbitkan adalah: Bidayat al-Nahwi Lil Mubtadiin, Perkembangan Pembaharuan HukumIslam dalam Perspektif  Al-Fiqh Al-Wasathy, The Power of Surah Al-‘Ashr, The Power of Al-Qur’an “Tips Menjadi Remaja Saleh Berprestasi”, Marajut Ukhuwah & Intelegensi dengan Perbedaan Pendapat, Ilmu Pengetahuan antara Weternisasi dan Islamisasi, Antara Facebook & Hadits Bulan Rajab, Islam dan Wanita “Studi Kritis Pemikiran Liberal dalam Perspektif Gender”, Metodologi Fidh Liberalh “Studi Kritis dalam Perspektif Ushul Fiqh” (keduanya dalam proses penulisan).
Menelisik lebih jauh tentang biografi Nashrullah, beliau lahir di Desa Haur Gading, Kota Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara pada tanggal 16 April 1978, dari pasangan Muhammad Atha, S.Pd.I dan Hasanah. Sejak kecil, beliau sudah diarahkan dengan pendidikan Islami oleh kedua orang tua beliau yang memang dari kalangan keluarga agamis. Tak heran jika beliau mengecap pendidikan di Madrasah Diniyyah sebagai tambahan dari pendidikan formal beliau di SDN Pancasila yang kemudian berubah nama menjadi SDN Murung Sari I.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar dan Madrasah Diniyyah, beliau mondok di Pondok Pesantren Al-Falah Banjarbaru selama 7 tahun. Selanjutnya beliau diberi kesempatan untuk mengabdi di sana selama 1 tahun. Kemudian melanjutkan studinya di bumi para Nabi, Mesir. Setelah menyelesaikan strata satunya, beliau kembali melanjutkan program studi di Institut Studi Islam Kairo, Mesir. Beranjak dari dunia pendidikan, akhirnya beliau bersama keluarga kembali ke tanah air dan langsung melanjutkan studi S2 di IAIN Antasari Banjarmasin.
Motivasi
Teringat pesan dari orang tua beliau ketika menduduki bangku kelas III Aliyah di Pondok Pesantren Al-Falah: “Ikam lahai harus ringking SATU nyaman dapat beasiswa dari pondok sakolah ka Masir”. Alhamdulillah, akhirnya mimpi orang tua tercinta berhasil menjadi kenyataan melalui sebuah perjuangan panjang melelahkan namun begitu indah. Pada saat perpisahan kelas di Pondok Pesantran Al Falah, tahun ajaran 1997/1998 beliau berhasil menjadi santri terbaik dan berhak mendapatkan beasiswa dari pondok untuk melanjutkan studi di Mesir. Dan orang tua beliau hadir untuk memberikan sambutan mewakili orang tua murid dari santri yang meninggalkan lengkap dengan pakaian kebesaran, baju putih dengan surban kekhasan beliau. Bagi beliau ini adalah pengalaman yang tidak pernah terlupakan ketika berhasil membahagiakan orang tua selama berstatus sebagai thâlibul `ilmi.



Tokoh Teladan
Sebagai anak yang berprestasi dan patut diteladani, beliau juga mempunyai tokoh teladan yang memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan yaitu ayah beliau sendiri, H. Muhammad Atha, S.Pd.I. Selama hidup, ayah beliau termasuk orang yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan, di masa tua beliau sangat rajin dalam belajar, beliau juga sangat mencintai ulama dan mencintai para thâlibul `ilmi. Sebagaimana Mu’allim memaparkan:
“Salah satu bukti kecintaan beliau kepada ilmu adalah, ketika beliau tidak punya waktu hadir di majelis Al-Ma`arif maka ayahda akan mendengarkannya melalui radio lengkap dengan kitab yang dipelajari, dan jika tidak bisa juga, maka beliau akan merekam pembelajaran tersebut untuk selanjutnya beliau dengarkan kembali. Salah satu bukti kecintaan beliau kepada ulama adalah, beliau selalu mengunjungi ulama untuk bersilaturrahim dan terkadang mengajak kami sebagai anak. Pada setiap masalah agama, beliau juga selalu menanyakan kepada ulama yang beliau anggap memiliki kapabelitas. Salah satu bukti kecitaan beliau kepada thâlibul `ilmi, semasa hidup beliau sangat senang membantu thâlibul ilmu baik dari dana pribadi maupun orang lain, ketika kami masih sekolah di Al Falah, adalah salah seorang anak kurang mampu yang ingin sekolah pondok, maka dengan inisiatif beliau, ayahda mengajak masyarakat secara patongan untuk membantu anak tersebut, dan Alhamdulillah anak tersebut berhasil menyelesaikan studinya selama  ± 6 tahun, katanya”.
Secara intelektual, salah satu dosen STIQ yang gemar membaca ini banyak dipengaruhi oleh 2 tokoh besar, Syekh Muhammad Ghazali dan Syekh DR. Yusuf Al Qaradhawi. Selama studi di Mesir karya tokoh-tokoh ini menjadi nutrisi intelektual beliau, buku pertama yang dibeli adalah "الوقت فى حياة المسلم" buku ini memberikan pengaruh sangat besar dalam memahami waktu dan kehidupan agar lebih produktif lagi dan lebih bermakna.
Buku kedua yang dibeli adalah "فقه الأولويات" buku ini memberikan satu pencerahan dalam memahami konsep prioritas ketika kita dihadapan dengan berbagai macam pilihan. Sebagai wujud kecintaan beliau kepada Syekh DR. Yususf Qaradhawi, hampir semua karyanya terkoleksi.
Syekh Muhamad Ghazali, sebagai guru dari Syekh Yusuf Qaradhawi telah banyak mewarnai beliau dari beragam karya-karyanya, sebut saja seperti "الايمان بين العقل والقلب". Beliau mengatakan:  “Buku ini memberikan satu landasan berfikir bahwa iman itu sangat rasional dan emosional, antara rasionalitas & emosionalitas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tidak ada dikotomi antara iman akal, keduanya selalu bersinergi. Seharusnya, semakin cerdas seseorang maka semakin berkualitas pula iman, bukan sebaliknya. Dari buku ini, Syekh Muhammad Ghazali memberikan satu pesan yang sangat, tidak ada dikotomi antara iman dan ilmu pengetahuan. Sementara ini, buku beliau yang berjudul "الجانب العاطفى من الاسلام" memberikan satu visualisasi tashawuf dalam konteks kekinian. Syekh Muhammad Ghazali menguraikan Hikmah-Hikmah yang dituliskan oleh Syekh Ibu Athaillah dengan nuansa kekinian ditulis dengan bahasa tegas dan kritis.
Mewujudkan Cita-Cita
Setiap orang pasti mempunyai cita-cita, karena cita-cita merupakan suatu keharusan dalam kehidupan. Cita-cita adalah sebuah energi yang akan menggerakkan setiap manusia kepada satu tujuan. Seperti yang beliau ucapkan, bahwa:
-          Cita-cita berawal dari sebuah imajinasi;
-          Imajinasi ini harus tertuang dalam sebuah rangkaian kata-kata yang tertulis, jangan ia dibiarkan menjadi barang yang liar;
-          Setelah kita tulis, maka cita-cita tersebut harus kita publikasin kepada orang-orang yang kita cintai untuk mendapatkan doa dan restu;
-          Terus bergerak, meraih indahnya cita-cita kita satu demi satu sesuai dengan apa yang telah kita impikan;
-          Yakinlah kawan, keinginan dalam mencapai cita-cita itu adalah indah, akan tetapi setelah kita berikhtiyar secara maksimal dan belum mendapatkan apa yang kita inginkan, maka disana ada skenario Allah yang lebih indah lagi.
Oleh karena itu, semoga harapan dan cita-cita beliau ingin menghimpun dana umat 1 milyar per tahun dan ingin melahirkan manusia-manusia hebat luar biasa dapat terwujud, aamien.



Prinsip Hidup
Anak pertama dari dua bersaudara ini mempunyai dua prinsip hidup, yaitu:
-          Hidup ini adalah amanah dari Allah, dan Allah telah mendesain diri kita dengan perangkat super mahal yang harus difungsikan secara optimal. Dan ketika amanah hidup ini tidak difungsikan secara professional berarti kita telah melakukan dosa besar terhadap diri kita dan kehidupan kita.
-          Dunia akan  terus mengalami perubahan, dan sebagai seorang yang mengamini dengan adanya perubahan harus terus mampu mengadaptasikan dirinya dengan perubahan tersebut tanpa harus menggadaikan nilai-nilai ideologis kita (red-agama).



Pedoman Hidup Selama Belajar
Dalam kehidupan secara umum kita harus mempunyai pedoman hidup, begitu pula selama menempuh dunia pendidikan. Beliau yang sangat tidak menyukai diam tanpa kegiatan mempunyai pedoman hidup selama belajar:
-          Ilmu hanya bisa didapatkan dengan keshabaran dan perjuangan.
-          Semakin besar energi yang kita berikan kepada ilmu pengetahuan maka semakin besar pula ilmu akan memberikan efek positif dalam kehidupan kita.
-          Cintailah ilmu, maka ia akan mencitai Anda.
-          Jagalah waktu Anda bersama ilmu, jangan Anda biarkan hidup Anda tampa ilmu pengetahuan.
-          Kualitas diri kita berbanding lurus dengan ilmu yang kita miliki, semakin berkualitas ilmu yang kita miliki, maka semakin besar pula penghargaan orang lain kepada kita.
-          Ilmu bukan sekadar hanya dipelajari, tapi tulislah apa yang telah Anda pelajari, dengan menulis maka pemanfaatan ilmu lebih bisa dinikmati oleh orang lain dan generasi-generasi berikutnya.

Suka Duka dalam Menuntut Ilmu
Sebagai seorang thâlibul `ilmi, suka duka adalah suatu hal yang sangat lumrah. Seperti yang diungkapkan beliau bahwa suka dan  duka adalah suatu yang sangat alamiah dalam menuntut ilmu.
Suka. Ketika kita mampu memahami sebuah teks yang kita anggap sulit menjadi kesukaan tersendiri. Saat-saat waktu kosong yang berhasil kita gunakan untuk terus belajar dan belajar menjadi kesukaan berikutnya, kata beliau menambahkan.

Duka. Duka dalam menuntut ilmu bertujuan untuk menguji kesabaran kita dan kecintaan kita terhadap ilmu pengetahun. Selama studi di Mesir, masa-masa ulangan adalah masa-masa yang sangat sulit dan menegangkan. Kita harus mampu untuk menyelesaikan target pembelajaran dan harus mampu menyelesaikan studi dalam tempo 4 tahun. Terkadang kondisi ujian pada musim dingin menjadi kenangan tersendiri yang tidak pernah terlupakan, tukas beliau.
Dalam proses belajar, tentunya tidak terlepas dari yang namanya kesulitan dalam menerima dan memahami pelajaran yang diberikan. Mu’allim yang tergolong sebagai pelajar yang cerdas dan berprestasi juga mengalami kesulitan ini, bahkan sangat sering. Namun, beliau mempunyai solusi atas problem ini yaitu dengan banyak membaca dan bertanya kepada orang lain yang dianggap mampu. Dan dalam konteks dunia maya dewasa ini, kita bisa memanfaatkan media digital sebagai alternatif media pembelajaran untuk menemukan jawaban-jawaban yang belum kita temukan jawabannya.
Negeri Kinanah
            Negeri Kinanah yang juga dikenal sebagai “bumi para Nabi”, merupakan negeri tempat beliau menimba ilmu pengetahuan setelah beranjak dari Pondok Pesantren Al-Falah. Di negeri ini beliau menyelesaikan studi strata satunya.
            Jauh dari keluarga bukanlah merupakan problem bagi beliau untuk bisa beradaptasi dengan masyarakat di sana, sehingga ada beberapa hal yang beliau ketahui tentang masyarakat mesir dan sekaligus menjadi pengalaman selama di sana. Selama 2 x Ramadhan di Mesir beliau bersama kawan satu rumah dijamu untuk buka puasa selama 1 bulan penuh, dan menu untuk berbuka puasa cukup untuk disantap lagi saat sahur.
Masyarakat Mesir sangat memperhatikan orang-orang cacat, terbukti banyak ditemukan orang-orang cacat (red-buta) yang berhasil memperoleh pendidikan sampai S III bahkan menjadi guru besar. Secara emosional mereka cepat naik, tapi juga cepat turun, sehingga setiap ada perkelahian hanya sebatas pertengkaran mulut saja, setelah itu selesai.
Mesir yang membebaskan biaya pendidikan, khusus mereka yang studi di Universitas Al Azhar, setiap tahun mengadakan pameran buku Internasional yang menjual buku-buku berkualitas.
Masyarakat Mesir memiliki ingatan yang sangat kuat, selama kuliah di Mesir beliau hanya sekali melihat khatib Jum`at menyampaikan khutbah dengan teks (red-khatib pemula). Karena syarat menjadi khatib adalah harus hafid 30 juz Al-Qur`an.

Sepulang dari Bumi Para Nabi
Setelah cukup lama menjalani perjuangan panjang menuntut ilmu di Bumi Para Nabi, akhirnya Mu’allim pun kembali ke tanah air Negeri Indonesia tercinta. Kepulangan beliau dari Bumi Para Nabi merupakan babak baru sebuah perjuangan untuk mengaplikasikan apa yang telah didapatkan untuk dipersembahkan kepada masyarakat.
Sambutan masyarakat sangat tergantung pada dua hal:
a.       Kemampuan kita beradaptasi dengan melihat realitas perkembangan masyarakat, wa bil khusûs mengenai hal-hal yang telah menjadi pakem di masyarakat. Diperlukan kearifan dalam menyampaikan pesan-pesan agama, sebagai sebuah pesan agama yang kita anggap benar ketika tidak mampu dikemas dengan arif maka akan terjadi benturan dan gesekan di masyarakat yang tidak menguntungkan umat. Sebagai alumni Timur Tengah yang baru datang, diharuska mampu untuk menjalin hubungan dengan para ulama agar terjadi keharmonisan dakwah.
b.       Skil intelektual. Penerimaan masyarakat pada akhirnya nanti sangant tergantung dengan kemampuan intelektual kita, semakin besar kualitas intelektual maka aspek pemanfaatan juga akan lebih efektif. Kemampuan intelektual yang baik akan menjadikan dakwah kita bukan saja untuk kalangan menengah ke bawah tapi juga mampu bermain pada kalangan elit. Di sinilah pesan-pesan dakwah harus dikemas dalam bahasa kekinian yang santun yang berorientasi kepada perubahan umat.

Pencapaian Hidup bersama Keluarga
Pencapai hidup bersama keluarga, baik dari asfek finansial, kebahagian, strata sosial menurut beliau merupakan suatu yang sangat tidak irrasional. Kemandirian ekonomi bersama keluarga merupakan bukti bahwa selama kita serius dalam berbuat bagi umat, maka energi-energi wahyu memiliki peran tersendiri dalam memberikan pertolongannya yang terkadang lebih dari apa yang kita inginkan. Dari asfek keluarga, karunia Allah bagi beliau dengan kemampuan memberikan yang terbaik bagi anak-anak dari asfek pendidikan merupakan bagian dari karunia Allah yang sangat luar biasa. Amanah yang Allah berikan kepada beliau bersama keluarga dan kawan dalam mendesain konsep pendidikan masa depan ketika dibandingkan dengan kawan-kawan lainya menjadi satu karunia Allah yang sangat luar biasa yang menjadikan beliau memiliki strata sosial di masyarakat.

Manajemen Waktu
Secara teoritas, semakin dewasa kita maka terjadi PENYEMPITAN PERAN WAKTU, manajemen waktu menjadi suatu keharusan, harus ada skala prioritas. Bagi Mu’allim, di saat bersama keluarga, maka waktu semua harus untuk keluarga, di saat bersama anak-anak berikan kepada mereka waktu-waktu berkualitas. Bagi beliau, bersama keluarga adalah waktu-waktu untuk menghibur diri, dari mereka kita banyak mendapatkan pembelajaran hidup dan inspirasi kehidupan yang menghidupkan. Di saat anak-anak sudah istirahat sekitar jam 21.00,  waktu inilah yang beliau pergunakan semaksimal mungkin untuk pribadi sampai sekitar jam 00.00. Di awal perkuliahan, beliau telah melakukan koordinasi dengan Ummi (panggilan untuk istri tercinta) mengenai jadwal mengajar dan aktifitas lainnya.

Sudut Pandang terhadap Dunia Pendidikan
a.       Pendidikan di Indonesia
·      Membaca realitas Perguruan Tinggi Islam maka secara faktual telah terjadi pergeseran orientasi metodologi dari Timur (red-Islam) dengan semangat keislaman berbasis iman dengan pendekatan normatif dogmatis teologis  ke Barat (red-orientalis) dengan beragam pendekatan yang berorientasi kepada data-data empiris. Pergeseran paradigma studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam diakui sendiri oleh para dosen yang tergabung dalam penulisan buku yang berjudul “Arah Baru Studi Islam di Indonesia”[1]
“Kalau era sebelum tahun 1980-an pemikiran studi Islam di Indonesia didominasi oleh corak kajian yang bersifat normatif kerena berpegang kepada paradigma “teosentrisme” maka masa antara 1980-2000 corak penelitian telah mengalami perubahan dan perkembangan baru. Pemikiran studi Islam di Indonesia pada kurun tersebut tidak lagi bersifat normatif, yang berkotat pada kajian dan telah tafsir, hadits, fiqih, kalam atau tashawuf. Pemikiran itu lebih bersifat non-normatif, karena berpegang kepada paradigma “antroposentrisme”. Hal ini dapat digunakan dari digunakannya berbagai pendekatan yang diambil dari ilmu-ilmu humaniora dan sosial dalam pemikiran studi Islam”.[2]
Pergeseran orientasi metodologi studi Islam telah dimulai pada tahun 1971 disaat Menteri Agama RI dijabat oleh Mukti Ali. Hal ini merupakan satu dari tiga pembaharuan yang harus dilakukan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk lebih menguatkan pesan-pesan intelektual perguruan tinggi yang telah mengalami kelemahan. Pertama, lemahnya semangat dan mentalitas keilmuan di kalangan dosen akan sangat mempengaruhi kualitasi para mahasiswa. Kedua, lemahnya skill kemampuan berbahasa asing, khususnya bahasa Arab dan Inggris. Ketiga, lemahnya penguasaan metodologi keilmuan yang merupakan modal utama dalam pengembangan studi keilmuan keagamaan di IAIN.[3] Dan dalam pandangan Mukti Ali metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan.[4]
Sebagai seorang menteri, maka Mukti Ali melakun berbagai macam terobosan agar  para dosen IAIN lebih berkualitas dalam penguasan metodologi studi Islam. Di antara ikhtiyar Mukti Ali adalah mengirim para dosen untuk belajar ke luar negeri, antara lain Timur Tengah, Amerika Serikat, Belanda, Kadana dan lain-lain.  Di IAIN Syarif Hidayatullah –sekarang UIN- pada periode 1973-1978, tercatat beberapa nama dosen yang melanjutkan studi keluar negeri, di antaranya: Australia 6 orang, Inggris 2 orang, Kanada 9 orang, Belanda 8 orang, Mesir 7 orang dan Sudan 2 orang. Sementara untuk IAIN Sunan Kalijaga –sekarang UIN-, semenjak tahun 1973 telah beberapa dosen yang studi banding di pusat-pusat studi di Amerika, Kanada, Eropa dan Asia.[5]
Disaat Menteri Agama dijabat oleh Munawir Sjadzali maka pada periode 1988-1991, program pengiriman dosen ini mengalami sukses besar. Departemen Agama telah mengirim sebanyak 225 mahasiswa ke Barat. Mereka diterima untuk program S2 dan S3 di Universitas-universitas Barat, seperti McGill di Kanada; UCLA di Columbia, Chicago, dan Harvard di USA; London, Leiden, dan Hamburg di Eropa Barat; serta ANU, Monash, dan Flinders di Australia. Sampai awal tahun 1993, dari mereka itu telah kembali ke Indonesia sebanyak 12 orang dengan menyandang gelar Ph.D dan sebanyak 67 orang dengan gelar MA. Terhadap pengiriman dosen ke Barat, Munawir memberikan alasan agar para lulusan IAIN dapat lebih memperluas cakrawala ilmiah mereka dan belajar untuk berpikir kritis terhadap ilmu pengetahuan termasuk ilmu keagamaan.[6]
Hasilnya, antara tahun 1980-an sampai 2000-an di IAIN telah memiliki dosen-deson dengan gelar Doktor (Ph.D). Di IAIN Jakarta 36 dosen, IAIN Yogjakarta 11 dosen, IAIN Surabaya 17 dosen, IAIN Ujung Pandang 27 dosen, IAIN Bandung 15 dosen, IAIN Medan 16 dosen, IAIN Padang 13 dosen dan IAIN Banjarmasin 5 dosen.[7]
Proyek struktural yang dilakukan secara massif ini benar-benar telah merubah kiblat ilmu pengetahuan IAIN/UIN dari Timur ke Barat atau dengan redaksi yang berbeda dari ulama menjadi orientalis liberal. Proyek ini menurut Adian Husaini telah berhasil melakukan westernisasi (pembaratan) studi Islam di Perguruan Tinggi Islam.[8]
Dan pada Januari 2008, para ulumni Studi Islam McGill University menerbitkan sebuah buku yang berjudul Paradigma Baru Pendidikan Islam yang isinya melaporkan  keberhasilan pengiriman dosen-dosen IAIN yang studi di McGill merubah metodologi studi Islam, dari yang dulunya berbasis  tradisional menjadi modern. Dikutipkan misalnya, disini, “Melalui Pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat massif dari seluruh Indonesia, berarti juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang tradisional studi Islam ke arah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang paling menyolok terjadi pada tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan tingkat grass root.”[9]
Rekonstruksi perubuhan metodologi ini akan terus dilakukan dan akan menjadi tantangan berat bagi umat Islam. Pengiriman para dosen ke berbagai perguruan tinggi di Barat telah menjadi program Kementerian Agama (Kemenag) dengan adanya  Program 5.000 Doktor untuk kurun 2015-2019.[10] Hal ini dilakukan guna mempercepat penambahan jumlah doktor keagamaan dan ilmu umum di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam negeri (PTKIN) dan Swasta. Dalam keterangannya Kasubdit Mastuki Kelembagaan Direktorat Diktis menjelaskan “Untuk tahun 2015, Kementerian Agama telah mengirim 82 orang di perguruan tinggi luar negeri dengan rincian 54 pria dan 28 wanita, satu orang mengundurkan diri karena alasan kesehatan, sehingga tinggal 81 orang. Mereka penerima beasiswa untuk luar negeri, mereka akan belajar di perguruan tinggi di Inggris, Kanada, Australia, Jepang, Prancis, Belanda, Turki, Jerman, Sudan, Arab Saudi,” jelas  Mastuki seperti dikutip dari laman kemenag.[11]
Tentu kita harus memberikan apresiasi setinggi-tinggi terhadap ikhtiyar baik Kementerian Agama dalam meningkatkan kualitas para dosen Perguruan Tinggi Islam. Akan tetapi dari data di atas, pengiriman dosen lebih didominasi oleh perguran tinggi-perguruan tinggi Eropa dari pada perguruan tinggi Islam yang berada di Timur Tengah. 43 tahun yang lalu, antara tahun 1973-1978 selama 5 tahun Mukti Ali, dilanjutkan dengan Munawir Sadjali antara tahun 1988-1999 juga telah mengirim para dosen IAIN ke beberapa perguruan tinggi di Eropa yang  telah menjadikan metodologi-metodologi orientalis sekuler liberal menjadi referensi primer. Dan sebagai konsekuensinya telah terjadi liberalisasi perguruan tinggi Islam dengan menjadikan metodologi orientalis tanpa iman menggantikan metodologi ulama yang berbasiskan Iman.
Pada tulisan ini menarik untuk kita baca petikan wawancara Prof. DR. Roem Rowi[12] dengan wartawan Hidayatullah[13];
-            Apa tanggapan Anda begitu mendengar kasus di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung?
-            Iya. Saya sendiri sangat pedih melihat kondisi itu. Sudah banyak orang mengkritik IAIN, misalnya institusi pendidikan Islam ini dianggap telah meniru Barat. Ibarat sebuah pepatah, “Siapa yang menanam, dia yang akan memetik buahnya.” Nah, kalau dulunya ditanamnya seperti itu, sekarang itu sudah sangat kelihatan buahnya.
-            Maksuda Anda ?
-            Saya kira, IAIN mulai gencar seperti itu disaat Menteri Agama kita dipimpin oleh Pak Munawir Sadzali. Beliau yang sejak lama menginginkan seperti itu. Sampai-sampai ketika itu muncullah gagasan beliau tentang “Reinterpretasi Al-Qur`an” dan ide-ide pembaratan Islam. Menurut saya, tidak masalah belajar di Barat. Cuma, seharusnya yang belajar di Barat haruslah orang-orang yang sudah terseleksi keislamannya, sehingga tidak mudah tertarik dengan pemikiran yang tidak islami yang justru menjauhkan dari nilai-nilai Islam. Secara metodologis, Barat memang sangat bagus dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Masalahnya, belajar di Barat tidak harus terbaratkan atau membaratkan diri. Apa lagi tiba-tiba nilai Islam ikut terbaratkan juga. Barat tetaplah Barat. Masa iya sih, orang-orang Barat –yang notabone ghairul Islam- mau memberi biasiswa gratis[14] pada para mahasiswa Islam tanpa tujuan dan imbalan lain ?
-            Sejauh mana mental terbaratkan melanda kalangan IAIN ?
-            Kalau seluruh Indonesia saya tidak bisa memastikan. Tetapi kondisi umumnya seperti itu. Ada pengalaman menarik ketika sebuah kampus IAIN membuka program Pasca Sarjana. Mahasiswanya kebanyakan dari dosen-dosen agama diperguruan tinggi swasta, sementara stap pengajarnya dari IAIN. Para mahasiswa merasa kaget, sampai ada yang berkomentar, “Lho, kesannya, kok kami ini seolah-olah mau disesatkan? Menurut penilain mereka, materi kuliah yang disampaikan sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Bahasa kasarnya, mereka melihat ada “permutadan di IAIN.



b.       Pendidikan di luar negeri
ü Timur Tengah
Sebagai representasi dari Timur Tengah, Universitas Al Azhar, Universitas Umul Qura dan Universitas Madinah bias kita jadikan sampel. Ketiga Perguruan Tinggi ini masih menjadikan tradisi keilmuan salaf sebagai standar primer dalam studi-studi keislaman. Studi keislaman berorientasi kepada nilai-nilai iman dan moralitas dengan menjadi Al-Qur`an dan hadis sebagai satu instrument yang menjadi standar wajib. Islam dipelajari bukan untuk mengkiritisi nilai-nilai Islam, akan tetapi Islam adalah sebuah doktrin idelogis yang harus diyakini kebenarannya. Mayoritas masyarakat Indonesia yang berstudi di Timur Tengah masih terkonsentrasi pada jurusan-jurusan keagamaan, di samping itu pula Islam dipelajari masih secara monolog.


ü Barat
Studi Islam di Barat bukan bertujuan untuk menguatkan nilai-nilai keimanan, tapi bagaimana bersikap kritis terhadap doktrin-doktrin agama dengan beragam penelitian yang menjadi justifikasinya. Studi Islam di Barat telah dimodifikasi kalangan Orientalis dengan mengatasnamakan  rasionalitas, ilmiah netral, objektifitas, lebih metodologis dan ungkapan-ungkapan manis lainnya yang kesemuanya bertujuan memarjinalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan dengan argumentasi yang terkesan ilmiah.  Berikut penulis kutipkan pendapat Ulil Absar Abdallah mengenai studi Islam di Barat:
“Dalam tulisannya pada laman islamlib.com dengan judul “Belajar Islam di Negeri “Kafir” Mengenang Shahab Ahmad” Ulil mengatakan bahwa studi Islam di Amerika dan universitas Barat dikaji sebagai objek ilmiah dengan pendekatan ilmiah dan ini sama dengan studi objek-objek lainnya.  Dan ini berbeda dengan kajian Islam di Negara-negara muslim yang berbasiskan iman (faith based). Dengan argumentasi ilmiah dan netralitas, maka menurut Ulil,  pendekatan studi Islam di Barat tidak mengadaikan bahwa kesimpulan-kesimpulan akhirnya harus cocok dengan iman seorang muslim, kajian ilmiah tidak dibebani sama sekali dengan iman. Masih menurut Ulil, secara umum para dosen studi-studi Islam di Barat adalah non muslim dan tentu ini menjadi suatu yang janggal di kalangan komunitas muslim sehingga memunculkan beragam kekhawatiran seperti; Apakah tidak akan menimbulkan distorsi? Apakah tidak akan merusak iman seorang muslim? Apakah kajian semacam ini “mu`tabarah” alias bisa dipercaya? Terhadap beragam kekhawatiran di atas Ulil memberikan tanggapan,
“Tentu saja aneh jika kita memakai sudut pandang konvensional. Umumnya orang berpandangan bahwa mengajarkan Islam adalah sekaligus mendakwakannya. Pengajaran Islam dipandang sebagai bagian dari kegiatan propagasi atau dakwah. Ini adalah paradigma kajian Islam berbasis yang kita kenal di seluruh dunia Islam sekarang. Kajian Islam di Barat tidak diniatkan untuk meneguhkan iman mahasiswa, atau menghancurkan. Kajian itu sifatnya ilmiah, objektif (dalam pengertian terikat dengan komitmen sektarian tertentu) dan data based (berbasis pada data empirik) Islam diajarkan sebagai bidang studi yang sama kedudukannya dengan bidang-bidang yang lain. Dia sama kedudukannya dengan misalnya ilmu politik, sosiologi, antrologi, ilmu ekonomi, dll. Sebagaimana ilmu ekonomi bisa diajarkan oleh siapapun, tak memandang apa agama dia, begitu juga dengan kajian Islam.
Pesan
Hidup ini penuh dengan kompetisi, terus menjadi generasi berkualitas, begitulah pesan Mu’allim Nashrullah khususnya kepada generasi muda yang menjadi harapan dan tumpuan masa depan bangsa
Oleh: Maliani dan Misbah




[1] Buku ini ditulis oleh 11 dosen IAIN Raden Fatah Palembang, A. Rifai Abu, (S3) UGM, Abdurrahmansyah, Universitas Islam Indonesia Jogjakarta, Ismail Sukandi, (S3) UIN Syarif Hidayatullah, Kasinyo Harto (S3) UIN Sunan Kalijaga, M. Sirozi (S3) Monash Univirsity Australia, Muhammad Syawaludin, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Munir, (S3) UIN Jogjakarta, Musnur Hery (S3) UIN Jogjakarta, Nor Huda (S3) UIN Jogjakarta, Toto Suharto (S3) UIN Jogjakarta, Zaprulkahan, (S3) UIN Jogjakarta.
[2] M. Sirozi, et.al, Arah Baru Studi Islam di Indonesia, AR-Ruzz Media Jogjakarta, 2008, Cetakan I, h. 34
[3] Abdurrahman, et al, 70 Tahun H.A Mukti Ali: Agama dan Masyarakat (Yogyakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1993), h. 31
[4] A. Mukti Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ED), dalam Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1990)cet.II, h. 44
[5] Fuad Jabal, et.al, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logas, 2002), h. 19.
[6] Abdullah Sukarta, “Dari Thamrin Hingga Ke Banteng Kilas Balik Bersama Pak Munawir”, dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), 154.
[7] Azyumardi Azra dan Saiful Ummah, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (Jakarta: PPIM-INIS dan Balitbang Depag RI, 1998), h. 30-31
[8] Adian Husaini, “Virus Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam, (Depok, Gemana Insani, 2009,) Cet.1, h. 81
[9] Kusmana et.al, “Paradigma Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam-Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2008)h. 6.
[10] Program 5000 Doktor  telah di-launching di Istana Negara oleh Presiden RI Joko Widodo, pada tanggal 19 Desember 2014 dengan websit resmi; www.scholarship.kemenag.go.id Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan program 5.000 Doktor merupakan salah satu program unggulan Kementerian Agama yang strategis dan visioner. “Kita harapkan setiap tahun lahir 1.000 doktor selama pemerintahan Jokowi-JK,” jelasnya. http://www.kemeneg.go.id/index.php?a=berita&id
[11] https://www.islampos.com/kemenag-minta-penerima-beasiswa-5000-doktor-fokus-studi-206800/
[12] Prof. DR. Roem Rowi adalah dosen senior Fakultas Ushuluddin beliau lulusan Universitas Islam Madinah tahun 1971 kemudian melanjutkan S-2 di Universitas Al-Azhar Jurusan Tafsir Hadits dan S-3 di universitas dan jurusan yang sama dan lulusan pada tahun 1989
[13] Suara Hidaytullah, Roem Rowi “Ada ‘Permutadan di IAIN” Edisi 09 /XVII/Januari 2005. Dzulqa`idah 1425
[14] Apa yang diutarakan Prof Roem tidak jauh berbeda dengan apa yang dituliskan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, “BIasanya ketika seorang diinterview untuk mendapat beasiswa ke negara Barat pertanyaan yang perlu dijawab adalah “Mengapa kami perlu memberi Anda beasiswa dan tidak kepada orang lain? Jika kami memberi Anda beasiswa akan menjadi apa Anda setelah sepuluh, lima belas tahun lagi?” Apa yang tersirat dari pertanyaan ini adalah bahwa beasiswa ini adalah untuk menjadikan Anda kader pemimpin di Negara Anda. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Misykat Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Isalm”, (Jakarta, INSISTS-UMMI, 2012) cet ke-2,h. 93.

0 komentar:

Post a Comment