Potret Hidup Anak Sang Kiayi
Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Amuntai, memiliki seorang
dosen yang juga dikenal sebagai penulis. Beliau sudah banyak mengeluarkan
buku-buku dengan berbagai tema yang menarik untuk dibaca. Di antara karya
beliau yang sudah diterbitkan adalah: Bidayat al-Nahwi Lil Mubtadiin,
Perkembangan Pembaharuan HukumIslam dalam Perspektif Al-Fiqh Al-Wasathy, The Power of
Surah Al-‘Ashr, The Power of Al-Qur’an “Tips Menjadi Remaja Saleh
Berprestasi”, Marajut Ukhuwah & Intelegensi dengan Perbedaan Pendapat, Ilmu
Pengetahuan antara Weternisasi dan Islamisasi, Antara Facebook & Hadits
Bulan Rajab, Islam dan Wanita “Studi Kritis Pemikiran Liberal dalam Perspektif
Gender”, Metodologi Fidh Liberalh “Studi Kritis dalam Perspektif Ushul Fiqh”
(keduanya dalam proses penulisan).
Menelisik lebih jauh tentang biografi Nashrullah, beliau
lahir di Desa Haur Gading, Kota Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara pada
tanggal 16 April 1978, dari pasangan Muhammad Atha, S.Pd.I dan Hasanah. Sejak
kecil, beliau sudah diarahkan dengan pendidikan Islami oleh kedua orang tua
beliau yang memang dari kalangan keluarga agamis. Tak heran jika beliau
mengecap pendidikan di Madrasah Diniyyah sebagai tambahan dari pendidikan
formal beliau di SDN Pancasila yang kemudian berubah nama menjadi SDN Murung
Sari I.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar dan Madrasah Diniyyah,
beliau mondok di Pondok Pesantren Al-Falah Banjarbaru selama 7 tahun.
Selanjutnya beliau diberi kesempatan untuk mengabdi di sana selama 1 tahun.
Kemudian melanjutkan studinya di bumi para Nabi, Mesir. Setelah menyelesaikan
strata satunya, beliau kembali melanjutkan program studi di Institut Studi
Islam Kairo, Mesir. Beranjak dari dunia pendidikan, akhirnya beliau bersama
keluarga kembali ke tanah air dan langsung melanjutkan studi S2 di IAIN
Antasari Banjarmasin.
Motivasi
Teringat pesan dari orang tua beliau ketika menduduki
bangku kelas III Aliyah di Pondok Pesantren Al-Falah: “Ikam lahai harus
ringking SATU nyaman dapat beasiswa dari pondok sakolah ka Masir”.
Alhamdulillah, akhirnya mimpi orang tua tercinta berhasil menjadi kenyataan
melalui sebuah perjuangan panjang melelahkan namun begitu indah. Pada
saat perpisahan kelas di Pondok Pesantran Al Falah, tahun ajaran 1997/1998 beliau berhasil menjadi santri terbaik dan berhak
mendapatkan beasiswa dari
pondok untuk melanjutkan studi di Mesir. Dan orang tua beliau hadir untuk memberikan sambutan mewakili
orang tua murid dari santri yang meninggalkan lengkap dengan pakaian kebesaran, baju putih dengan surban kekhasan beliau. Bagi beliau ini adalah pengalaman yang tidak pernah
terlupakan ketika berhasil membahagiakan orang
tua selama berstatus sebagai thâlibul `ilmi.
Tokoh Teladan
Sebagai
anak yang berprestasi dan patut diteladani, beliau juga mempunyai tokoh teladan
yang memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan yaitu ayah beliau sendiri, H.
Muhammad Atha, S.Pd.I. Selama hidup, ayah beliau termasuk orang yang sangat
cinta dengan ilmu pengetahuan, di masa tua beliau sangat rajin dalam belajar,
beliau juga sangat mencintai ulama dan mencintai para thâlibul `ilmi.
Sebagaimana Mu’allim memaparkan:
“Salah
satu bukti kecintaan beliau kepada ilmu adalah, ketika beliau tidak punya waktu
hadir di majelis Al-Ma`arif maka ayahda akan mendengarkannya melalui radio
lengkap dengan kitab yang dipelajari, dan jika tidak bisa juga, maka beliau
akan merekam pembelajaran tersebut untuk selanjutnya beliau dengarkan kembali.
Salah satu bukti kecintaan beliau kepada ulama adalah, beliau selalu
mengunjungi ulama untuk bersilaturrahim dan terkadang mengajak kami sebagai
anak. Pada setiap masalah agama, beliau juga selalu
menanyakan kepada ulama yang beliau anggap memiliki kapabelitas.
Salah satu bukti kecitaan beliau kepada thâlibul `ilmi, semasa hidup
beliau sangat senang membantu thâlibul ilmu baik dari dana pribadi
maupun orang lain, ketika kami masih sekolah di Al Falah, adalah salah seorang
anak kurang mampu yang ingin sekolah pondok, maka dengan inisiatif beliau,
ayahda mengajak masyarakat secara patongan untuk membantu anak tersebut, dan
Alhamdulillah anak tersebut berhasil menyelesaikan studinya selama ± 6 tahun, katanya”.
Secara intelektual, salah satu dosen STIQ yang gemar
membaca ini banyak dipengaruhi oleh 2 tokoh besar, Syekh Muhammad Ghazali dan
Syekh DR. Yusuf Al Qaradhawi. Selama studi di Mesir karya tokoh-tokoh ini
menjadi nutrisi intelektual beliau, buku pertama yang dibeli adalah "الوقت فى حياة المسلم" buku ini memberikan pengaruh sangat besar dalam memahami waktu
dan kehidupan agar lebih produktif lagi dan lebih bermakna.
Buku kedua yang dibeli adalah "فقه
الأولويات" buku ini
memberikan satu pencerahan dalam memahami konsep prioritas ketika kita
dihadapan dengan berbagai macam pilihan. Sebagai wujud kecintaan beliau kepada
Syekh DR. Yususf Qaradhawi, hampir semua karyanya terkoleksi.
Syekh Muhamad Ghazali, sebagai guru dari Syekh Yusuf
Qaradhawi telah banyak mewarnai beliau dari beragam karya-karyanya, sebut saja
seperti "الايمان بين العقل والقلب". Beliau mengatakan: “Buku ini memberikan satu landasan berfikir
bahwa iman itu sangat rasional dan emosional, antara rasionalitas &
emosionalitas merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tidak ada
dikotomi antara iman akal, keduanya selalu bersinergi. Seharusnya, semakin
cerdas seseorang maka semakin berkualitas pula iman, bukan sebaliknya. Dari
buku ini, Syekh Muhammad Ghazali memberikan satu pesan yang sangat, tidak
ada dikotomi antara iman dan ilmu pengetahuan. Sementara ini, buku beliau yang
berjudul "الجانب العاطفى من الاسلام"
memberikan satu visualisasi tashawuf dalam konteks kekinian. Syekh Muhammad Ghazali menguraikan
Hikmah-Hikmah yang dituliskan oleh Syekh Ibu Athaillah dengan nuansa kekinian
ditulis dengan bahasa tegas dan kritis”.
Mewujudkan Cita-Cita
Setiap orang pasti mempunyai cita-cita, karena cita-cita
merupakan suatu keharusan dalam kehidupan. Cita-cita adalah sebuah energi yang
akan menggerakkan setiap manusia kepada satu tujuan. Seperti yang beliau
ucapkan, bahwa:
-
Cita-cita
berawal dari sebuah imajinasi;
-
Imajinasi
ini harus tertuang dalam sebuah rangkaian kata-kata yang tertulis, jangan ia
dibiarkan menjadi barang yang liar;
-
Setelah
kita tulis, maka cita-cita tersebut harus kita publikasin kepada orang-orang
yang kita cintai untuk mendapatkan doa dan restu;
-
Terus
bergerak, meraih indahnya cita-cita kita satu demi satu sesuai dengan apa yang
telah kita impikan;
-
Yakinlah
kawan, keinginan dalam mencapai cita-cita itu adalah indah, akan tetapi setelah
kita berikhtiyar secara maksimal dan belum mendapatkan apa yang kita inginkan,
maka disana ada skenario Allah yang lebih indah lagi.
Oleh
karena itu, semoga harapan dan cita-cita beliau ingin menghimpun dana umat 1
milyar per tahun dan ingin melahirkan manusia-manusia hebat luar biasa dapat
terwujud, aamien.
Prinsip Hidup
Anak pertama dari dua bersaudara ini mempunyai dua
prinsip hidup, yaitu:
-
Hidup
ini adalah amanah dari Allah, dan Allah telah mendesain diri kita dengan
perangkat super mahal yang harus difungsikan secara optimal. Dan ketika amanah
hidup ini tidak difungsikan secara professional berarti kita telah melakukan
dosa besar terhadap diri kita dan kehidupan kita.
-
Dunia
akan terus mengalami perubahan, dan
sebagai seorang yang mengamini dengan adanya perubahan harus terus mampu
mengadaptasikan dirinya dengan perubahan tersebut tanpa harus menggadaikan nilai-nilai ideologis kita (red-agama).
Pedoman
Hidup Selama Belajar
Dalam
kehidupan secara umum kita harus mempunyai pedoman hidup, begitu pula selama
menempuh dunia pendidikan. Beliau yang sangat tidak menyukai diam tanpa
kegiatan mempunyai pedoman hidup selama belajar:
-
Ilmu
hanya bisa didapatkan dengan keshabaran dan perjuangan.
-
Semakin
besar energi yang
kita berikan
kepada ilmu pengetahuan maka semakin besar pula ilmu akan memberikan efek
positif dalam kehidupan kita.
-
Cintailah ilmu, maka ia akan mencitai Anda.
-
Jagalah
waktu Anda bersama ilmu, jangan Anda biarkan hidup Anda tampa
ilmu pengetahuan.
-
Kualitas
diri kita berbanding lurus dengan ilmu yang kita miliki, semakin berkualitas ilmu yang kita miliki, maka semakin besar pula
penghargaan orang lain kepada kita.
-
Ilmu
bukan sekadar hanya dipelajari, tapi tulislah apa yang telah Anda pelajari,
dengan menulis maka pemanfaatan ilmu lebih bisa dinikmati oleh orang lain dan
generasi-generasi berikutnya.
Suka
Duka dalam
Menuntut Ilmu
Sebagai
seorang thâlibul `ilmi, suka duka adalah suatu hal yang sangat lumrah.
Seperti yang diungkapkan beliau bahwa suka dan
duka adalah suatu yang sangat alamiah dalam menuntut ilmu.
Suka. Ketika kita mampu memahami sebuah teks yang kita anggap
sulit menjadi kesukaan tersendiri. Saat-saat waktu kosong yang berhasil kita
gunakan untuk terus belajar dan belajar menjadi kesukaan berikutnya,
kata beliau menambahkan.
Duka.
Duka dalam menuntut ilmu bertujuan untuk menguji kesabaran kita dan kecintaan
kita terhadap ilmu pengetahun. Selama studi di
Mesir, masa-masa ulangan adalah masa-masa yang sangat sulit dan menegangkan.
Kita harus mampu untuk menyelesaikan target pembelajaran dan harus mampu menyelesaikan studi dalam tempo 4
tahun. Terkadang kondisi ujian pada musim dingin menjadi kenangan tersendiri
yang tidak pernah terlupakan, tukas beliau.
Dalam
proses belajar, tentunya tidak terlepas dari yang namanya kesulitan dalam
menerima dan memahami pelajaran yang diberikan. Mu’allim yang tergolong sebagai
pelajar yang cerdas dan berprestasi juga mengalami kesulitan ini, bahkan sangat
sering. Namun, beliau mempunyai solusi atas problem ini yaitu dengan banyak membaca dan bertanya kepada orang lain
yang dianggap mampu. Dan dalam
konteks dunia maya dewasa ini, kita bisa memanfaatkan media digital sebagai
alternatif media
pembelajaran untuk menemukan jawaban-jawaban yang belum kita temukan
jawabannya.
Negeri Kinanah
Negeri
Kinanah yang juga dikenal sebagai “bumi para Nabi”, merupakan negeri tempat
beliau menimba ilmu pengetahuan setelah beranjak dari Pondok Pesantren
Al-Falah. Di negeri ini beliau menyelesaikan studi strata satunya.
Jauh
dari keluarga bukanlah merupakan problem bagi beliau untuk bisa beradaptasi
dengan masyarakat di sana, sehingga ada beberapa hal yang beliau ketahui tentang
masyarakat mesir dan sekaligus menjadi pengalaman selama di sana. Selama 2 x
Ramadhan di Mesir beliau bersama kawan satu rumah dijamu untuk buka puasa
selama 1 bulan penuh, dan menu untuk berbuka puasa cukup untuk disantap lagi
saat sahur.
Masyarakat
Mesir sangat memperhatikan orang-orang cacat, terbukti banyak ditemukan
orang-orang cacat (red-buta) yang berhasil memperoleh pendidikan sampai S III
bahkan menjadi guru besar. Secara
emosional mereka cepat naik, tapi juga cepat turun, sehingga setiap ada perkelahian
hanya sebatas pertengkaran mulut saja, setelah
itu selesai.
Mesir yang membebaskan biaya pendidikan, khusus
mereka yang studi di Universitas Al Azhar,
setiap
tahun mengadakan
pameran buku Internasional yang menjual buku-buku berkualitas.
Masyarakat
Mesir memiliki ingatan yang sangat kuat, selama kuliah di Mesir beliau hanya
sekali melihat khatib Jum`at menyampaikan khutbah dengan teks (red-khatib
pemula). Karena syarat
menjadi khatib adalah harus hafid 30 juz Al-Qur`an.
Sepulang dari Bumi Para Nabi
Setelah cukup lama menjalani perjuangan panjang menuntut
ilmu di Bumi Para Nabi, akhirnya Mu’allim pun kembali ke tanah air Negeri
Indonesia tercinta. Kepulangan beliau dari Bumi Para Nabi merupakan babak baru
sebuah perjuangan untuk mengaplikasikan apa yang telah didapatkan untuk
dipersembahkan kepada masyarakat.
Sambutan masyarakat sangat tergantung pada dua hal:
a.
Kemampuan
kita beradaptasi dengan melihat realitas perkembangan masyarakat, wa bil
khusûs mengenai hal-hal yang telah menjadi pakem di masyarakat. Diperlukan kearifan dalam menyampaikan
pesan-pesan agama, sebagai sebuah pesan agama yang kita anggap benar ketika
tidak mampu dikemas dengan arif
maka akan terjadi benturan dan gesekan di masyarakat yang tidak menguntungkan
umat. Sebagai alumni Timur Tengah yang baru datang, diharuska mampu untuk
menjalin hubungan dengan para ulama agar terjadi keharmonisan dakwah.
b.
Skil
intelektual. Penerimaan
masyarakat pada akhirnya nanti sangant tergantung dengan kemampuan intelektual
kita, semakin besar kualitas intelektual maka aspek pemanfaatan juga akan lebih efektif. Kemampuan
intelektual yang baik akan menjadikan dakwah kita bukan saja untuk kalangan
menengah ke bawah tapi juga mampu
bermain pada kalangan elit. Di sinilah
pesan-pesan dakwah harus dikemas dalam bahasa kekinian yang santun yang berorientasi kepada perubahan umat.
Pencapaian Hidup bersama
Keluarga
Pencapai
hidup bersama keluarga, baik dari asfek finansial, kebahagian, strata sosial menurut beliau merupakan suatu yang sangat tidak irrasional. Kemandirian ekonomi bersama keluarga
merupakan bukti bahwa selama kita serius dalam berbuat bagi umat, maka energi-energi wahyu memiliki peran tersendiri dalam
memberikan pertolongannya yang terkadang lebih dari apa yang kita inginkan.
Dari asfek keluarga, karunia Allah bagi beliau dengan
kemampuan memberikan yang terbaik bagi anak-anak dari asfek pendidikan
merupakan bagian dari karunia Allah yang sangat luar biasa. Amanah yang Allah
berikan kepada beliau
bersama keluarga dan kawan dalam mendesain konsep pendidikan masa depan ketika
dibandingkan dengan kawan-kawan lainya menjadi satu karunia Allah yang sangat
luar biasa yang menjadikan beliau
memiliki strata sosial di
masyarakat.
Manajemen Waktu
Secara
teoritas, semakin dewasa kita maka terjadi PENYEMPITAN PERAN WAKTU, manajemen
waktu menjadi suatu keharusan, harus ada skala prioritas. Bagi Mu’allim, di saat
bersama keluarga, maka waktu semua harus untuk keluarga, di saat bersama anak-anak berikan kepada mereka
waktu-waktu
berkualitas. Bagi beliau,
bersama keluarga adalah waktu-waktu untuk menghibur diri, dari mereka kita
banyak mendapatkan pembelajaran hidup dan inspirasi kehidupan yang menghidupkan. Di saat
anak-anak sudah istirahat sekitar jam 21.00,
waktu inilah yang beliau
pergunakan semaksimal mungkin untuk pribadi sampai sekitar jam 00.00. Di awal perkuliahan, beliau telah melakukan koordinasi dengan Ummi (panggilan untuk istri tercinta) mengenai
jadwal mengajar dan aktifitas lainnya.
Sudut Pandang terhadap Dunia Pendidikan
a.
Pendidikan
di Indonesia
·
Membaca realitas Perguruan Tinggi Islam maka secara
faktual telah terjadi pergeseran orientasi metodologi dari Timur (red-Islam) dengan semangat keislaman berbasis iman dengan
pendekatan normatif dogmatis teologis ke
Barat (red-orientalis) dengan beragam pendekatan yang berorientasi
kepada data-data empiris. Pergeseran paradigma studi Islam di
perguruan-perguruan tinggi Islam diakui sendiri oleh para dosen yang tergabung
dalam penulisan buku yang berjudul “Arah Baru Studi Islam di Indonesia”[1]
“Kalau
era sebelum tahun 1980-an pemikiran studi Islam di Indonesia didominasi oleh
corak kajian yang bersifat normatif kerena berpegang kepada paradigma
“teosentrisme” maka masa antara 1980-2000 corak penelitian telah mengalami
perubahan dan perkembangan baru. Pemikiran studi Islam di Indonesia pada kurun
tersebut tidak lagi bersifat normatif, yang berkotat pada kajian dan telah
tafsir, hadits, fiqih, kalam atau tashawuf. Pemikiran itu lebih bersifat
non-normatif, karena berpegang kepada paradigma “antroposentrisme”. Hal ini
dapat digunakan dari digunakannya berbagai pendekatan yang diambil dari
ilmu-ilmu humaniora dan sosial dalam pemikiran studi Islam”.[2]
Pergeseran orientasi metodologi studi Islam telah
dimulai pada tahun 1971 disaat Menteri Agama RI dijabat oleh Mukti Ali. Hal ini
merupakan satu dari tiga pembaharuan yang harus dilakukan oleh Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) untuk lebih menguatkan pesan-pesan intelektual perguruan
tinggi yang telah mengalami kelemahan. Pertama,
lemahnya semangat dan mentalitas keilmuan di kalangan dosen akan sangat mempengaruhi
kualitasi para mahasiswa. Kedua, lemahnya skill
kemampuan berbahasa asing, khususnya bahasa Arab dan Inggris. Ketiga, lemahnya penguasaan metodologi keilmuan yang
merupakan modal utama dalam pengembangan studi keilmuan keagamaan di IAIN.[3]
Dan dalam pandangan Mukti Ali metodologi adalah masalah yang sangat penting
dalam sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan.[4]
Sebagai seorang menteri, maka Mukti Ali melakun
berbagai macam terobosan agar para dosen
IAIN lebih berkualitas dalam penguasan metodologi studi Islam. Di antara
ikhtiyar Mukti Ali adalah mengirim para dosen untuk belajar ke luar negeri,
antara lain Timur Tengah, Amerika Serikat, Belanda, Kadana dan lain-lain. Di IAIN Syarif Hidayatullah –sekarang UIN-
pada periode 1973-1978, tercatat beberapa nama dosen yang melanjutkan studi
keluar negeri, di antaranya: Australia 6 orang, Inggris 2 orang, Kanada 9
orang, Belanda 8 orang, Mesir 7 orang dan Sudan 2 orang. Sementara untuk IAIN
Sunan Kalijaga –sekarang UIN-, semenjak tahun 1973 telah beberapa dosen yang
studi banding di pusat-pusat studi di Amerika, Kanada, Eropa dan Asia.[5]
Disaat Menteri Agama dijabat oleh Munawir Sjadzali
maka pada periode 1988-1991, program
pengiriman dosen ini mengalami sukses besar. Departemen
Agama telah mengirim sebanyak 225 mahasiswa ke Barat. Mereka diterima untuk program S2 dan S3 di Universitas-universitas Barat, seperti McGill di Kanada; UCLA di Columbia, Chicago, dan Harvard di USA;
London, Leiden, dan Hamburg di Eropa Barat; serta ANU, Monash, dan Flinders di
Australia. Sampai awal tahun 1993, dari mereka itu
telah kembali ke Indonesia sebanyak 12 orang dengan menyandang gelar Ph.D dan
sebanyak 67 orang dengan gelar MA. Terhadap
pengiriman dosen ke Barat, Munawir memberikan alasan agar para lulusan IAIN
dapat lebih memperluas cakrawala ilmiah mereka dan belajar untuk berpikir
kritis terhadap ilmu pengetahuan termasuk ilmu keagamaan.[6]
Hasilnya, antara tahun 1980-an sampai 2000-an di IAIN
telah memiliki dosen-deson dengan gelar Doktor (Ph.D). Di IAIN Jakarta 36
dosen, IAIN Yogjakarta 11 dosen, IAIN Surabaya 17 dosen, IAIN Ujung Pandang 27
dosen, IAIN Bandung 15 dosen, IAIN Medan 16 dosen, IAIN Padang 13 dosen dan
IAIN Banjarmasin 5 dosen.[7]
Proyek struktural yang dilakukan secara massif ini benar-benar telah merubah kiblat
ilmu pengetahuan IAIN/UIN dari Timur ke Barat atau dengan redaksi yang berbeda
dari ulama menjadi orientalis liberal. Proyek ini menurut Adian Husaini telah
berhasil melakukan westernisasi (pembaratan) studi Islam di Perguruan Tinggi
Islam.[8]
Dan pada Januari 2008, para
ulumni Studi Islam McGill University menerbitkan sebuah buku yang berjudul
Paradigma Baru Pendidikan Islam yang isinya melaporkan keberhasilan pengiriman dosen-dosen IAIN yang
studi di McGill merubah metodologi studi Islam, dari yang dulunya berbasis tradisional menjadi modern. Dikutipkan
misalnya, disini, “Melalui Pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah
yang sangat massif dari seluruh Indonesia, berarti juga perubahan yang luar
biasa dari titik pandang tradisional studi Islam ke arah pemikiran modern ala
Barat. Perubahan yang paling menyolok terjadi pada tingkat elit. Tingkat elit
inilah yang selalu menggerakkan tingkat grass root.”[9]
Rekonstruksi perubuhan
metodologi ini akan terus dilakukan dan akan menjadi tantangan berat bagi umat
Islam. Pengiriman para dosen ke berbagai perguruan tinggi di
Barat telah menjadi program Kementerian Agama (Kemenag) dengan adanya Program 5.000 Doktor untuk kurun 2015-2019.[10]
Hal ini dilakukan guna
mempercepat penambahan jumlah doktor keagamaan dan ilmu umum di Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam negeri (PTKIN) dan Swasta.
Dalam keterangannya Kasubdit Mastuki Kelembagaan Direktorat
Diktis menjelaskan “Untuk tahun 2015, Kementerian Agama telah
mengirim 82 orang di perguruan tinggi luar negeri dengan
rincian 54 pria dan 28 wanita, satu orang mengundurkan diri karena alasan
kesehatan, sehingga tinggal 81 orang. Mereka
penerima beasiswa untuk luar negeri, mereka akan belajar di perguruan tinggi di
Inggris, Kanada, Australia, Jepang, Prancis, Belanda, Turki, Jerman, Sudan,
Arab Saudi,” jelas Mastuki seperti dikutip dari laman kemenag.[11]
Tentu kita harus memberikan
apresiasi setinggi-tinggi terhadap ikhtiyar baik Kementerian Agama dalam
meningkatkan kualitas para dosen Perguruan Tinggi Islam. Akan tetapi dari data
di atas, pengiriman dosen lebih didominasi oleh perguran tinggi-perguruan
tinggi Eropa dari pada perguruan tinggi Islam yang berada di Timur Tengah. 43
tahun yang lalu, antara tahun 1973-1978 selama 5 tahun Mukti Ali, dilanjutkan
dengan Munawir Sadjali antara tahun 1988-1999 juga telah mengirim para dosen
IAIN ke beberapa perguruan tinggi di Eropa yang
telah menjadikan metodologi-metodologi orientalis sekuler liberal
menjadi referensi primer. Dan sebagai konsekuensinya telah terjadi liberalisasi
perguruan tinggi Islam dengan menjadikan metodologi orientalis tanpa iman menggantikan metodologi ulama yang
berbasiskan Iman.
Pada tulisan ini menarik untuk
kita baca petikan wawancara Prof. DR. Roem Rowi[12]
dengan wartawan Hidayatullah[13];
-
Apa tanggapan Anda begitu mendengar kasus di IAIN
Sunan Gunung Djati Bandung?
-
Iya. Saya sendiri sangat pedih melihat kondisi itu.
Sudah banyak orang mengkritik IAIN, misalnya institusi pendidikan Islam ini
dianggap telah meniru Barat. Ibarat sebuah pepatah, “Siapa yang menanam,
dia yang akan memetik buahnya.” Nah, kalau
dulunya ditanamnya seperti itu, sekarang itu sudah sangat kelihatan buahnya.
-
Maksuda Anda ?
-
Saya kira, IAIN mulai gencar seperti itu disaat
Menteri Agama kita dipimpin oleh Pak Munawir Sadzali. Beliau yang sejak lama
menginginkan seperti itu. Sampai-sampai ketika itu muncullah gagasan beliau
tentang “Reinterpretasi Al-Qur`an” dan ide-ide
pembaratan Islam. Menurut saya, tidak masalah belajar di Barat. Cuma,
seharusnya yang belajar di Barat haruslah orang-orang yang sudah terseleksi
keislamannya, sehingga tidak mudah tertarik dengan pemikiran yang tidak islami
yang justru menjauhkan dari nilai-nilai Islam. Secara metodologis,
Barat memang sangat bagus dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Masalahnya,
belajar di Barat tidak harus terbaratkan atau membaratkan diri. Apa lagi
tiba-tiba nilai Islam ikut terbaratkan juga. Barat tetaplah Barat. Masa iya
sih, orang-orang Barat –yang notabone ghairul Islam- mau memberi biasiswa
gratis[14]
pada para mahasiswa Islam tanpa tujuan dan imbalan lain ?
-
Sejauh mana mental terbaratkan melanda kalangan IAIN ?
-
Kalau seluruh Indonesia saya tidak bisa memastikan.
Tetapi kondisi umumnya seperti itu. Ada pengalaman menarik ketika sebuah kampus
IAIN membuka program Pasca Sarjana. Mahasiswanya kebanyakan dari dosen-dosen agama diperguruan tinggi swasta,
sementara stap pengajarnya dari IAIN. Para mahasiswa merasa kaget, sampai ada
yang berkomentar, “Lho, kesannya, kok kami ini seolah-olah mau disesatkan? Menurut penilain mereka, materi kuliah yang disampaikan sangat jauh dari
nilai-nilai Islam. Bahasa kasarnya, mereka melihat ada “permutadan di IAIN.”
b.
Pendidikan
di luar negeri
ü Timur Tengah
Sebagai representasi dari Timur Tengah, Universitas Al
Azhar, Universitas Umul Qura dan Universitas Madinah bias kita jadikan sampel.
Ketiga Perguruan Tinggi ini masih menjadikan tradisi keilmuan salaf sebagai
standar primer dalam studi-studi keislaman. Studi keislaman berorientasi kepada
nilai-nilai iman dan moralitas dengan menjadi Al-Qur`an dan hadis sebagai satu
instrument yang menjadi standar wajib. Islam dipelajari bukan untuk
mengkiritisi nilai-nilai Islam, akan tetapi Islam adalah sebuah doktrin
idelogis yang harus diyakini
kebenarannya. Mayoritas masyarakat
Indonesia yang berstudi di Timur Tengah masih terkonsentrasi pada
jurusan-jurusan keagamaan, di samping
itu pula Islam
dipelajari masih secara monolog.
ü Barat
Studi Islam di Barat bukan bertujuan untuk menguatkan
nilai-nilai keimanan, tapi
bagaimana
bersikap kritis terhadap doktrin-doktrin agama dengan beragam penelitian yang menjadi justifikasinya. Studi Islam di Barat
telah dimodifikasi kalangan Orientalis
dengan mengatasnamakan rasionalitas,
ilmiah netral, objektifitas, lebih metodologis dan ungkapan-ungkapan manis
lainnya yang kesemuanya
bertujuan memarjinalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan dengan argumentasi
yang terkesan ilmiah. Berikut penulis
kutipkan pendapat Ulil Absar Abdallah mengenai studi Islam di Barat:
“Dalam tulisannya pada laman islamlib.com dengan
judul “Belajar Islam di Negeri “Kafir” Mengenang Shahab Ahmad” Ulil mengatakan
bahwa studi Islam di Amerika dan universitas Barat dikaji sebagai objek ilmiah
dengan pendekatan ilmiah dan ini sama dengan studi objek-objek lainnya. Dan ini
berbeda dengan kajian Islam di Negara-negara muslim yang berbasiskan iman (faith
based). Dengan argumentasi ilmiah dan netralitas, maka menurut Ulil, pendekatan studi Islam di Barat tidak
mengadaikan bahwa kesimpulan-kesimpulan akhirnya harus cocok dengan iman
seorang muslim, kajian
ilmiah tidak dibebani sama sekali dengan iman. Masih menurut Ulil, secara umum
para dosen studi-studi Islam di Barat adalah non muslim dan tentu ini menjadi suatu yang janggal di kalangan komunitas muslim sehingga memunculkan beragam kekhawatiran seperti; Apakah tidak akan
menimbulkan distorsi? Apakah tidak akan merusak iman seorang muslim? Apakah
kajian semacam ini “mu`tabarah” alias bisa dipercaya? Terhadap beragam
kekhawatiran di atas Ulil memberikan tanggapan,
“Tentu
saja aneh jika kita memakai sudut pandang konvensional. Umumnya orang
berpandangan bahwa mengajarkan Islam adalah sekaligus mendakwakannya.
Pengajaran Islam dipandang sebagai bagian dari kegiatan propagasi atau dakwah.
Ini adalah paradigma kajian
Islam berbasis yang kita kenal di seluruh dunia Islam sekarang. Kajian Islam di
Barat tidak diniatkan untuk meneguhkan iman mahasiswa, atau menghancurkan. Kajian itu sifatnya ilmiah, objektif
(dalam pengertian terikat dengan komitmen sektarian tertentu) dan data based (berbasis
pada data empirik) Islam
diajarkan sebagai bidang studi yang sama kedudukannya dengan bidang-bidang yang lain. Dia sama
kedudukannya dengan misalnya ilmu politik, sosiologi, antrologi, ilmu ekonomi,
dll. Sebagaimana ilmu ekonomi bisa diajarkan oleh siapapun, tak memandang apa
agama dia, begitu juga dengan kajian Islam.
Pesan
“Hidup ini penuh dengan kompetisi, terus menjadi generasi
berkualitas, begitulah pesan Mu’allim Nashrullah khususnya kepada generasi muda
yang menjadi harapan dan tumpuan masa depan bangsa”
Oleh: Maliani dan Misbah
[1] Buku ini ditulis oleh 11 dosen
IAIN Raden Fatah Palembang, A. Rifai Abu, (S3) UGM, Abdurrahmansyah,
Universitas Islam Indonesia Jogjakarta, Ismail Sukandi, (S3) UIN Syarif
Hidayatullah, Kasinyo Harto (S3) UIN Sunan Kalijaga, M. Sirozi (S3) Monash
Univirsity Australia, Muhammad Syawaludin, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Munir, (S3) UIN Jogjakarta, Musnur Hery (S3) UIN Jogjakarta, Nor Huda (S3) UIN
Jogjakarta, Toto Suharto (S3) UIN Jogjakarta, Zaprulkahan, (S3) UIN Jogjakarta.
[2] M. Sirozi, et.al, Arah Baru
Studi Islam di Indonesia, AR-Ruzz Media Jogjakarta, 2008, Cetakan I, h. 34
[3] Abdurrahman, et al, 70 Tahun
H.A Mukti Ali: Agama dan Masyarakat (Yogyakarta: IAIN Sunan Kali Jaga
Press, 1993), h. 31
[4] A. Mukti Ali, Metodologi Ilmu
Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ED), dalam Metodologi
Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya,1990)cet.II, h. 44
[6] Abdullah
Sukarta, “Dari Thamrin Hingga Ke Banteng Kilas Balik Bersama Pak Munawir”, dalam
Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), 154.
[7] Azyumardi Azra dan Saiful Ummah,
Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik (Jakarta: PPIM-INIS
dan Balitbang Depag RI, 1998), h. 30-31
[8] Adian Husaini, “Virus
Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam, (Depok, Gemana Insani, 2009,)
Cet.1, h. 81
[9] Kusmana et.al, “Paradigma Baru
Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam-Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2008)h. 6.
[10] Program
5000 Doktor telah di-launching di Istana Negara oleh
Presiden RI Joko Widodo, pada tanggal 19 Desember 2014
dengan websit resmi; www.scholarship.kemenag.go.id
Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan program 5.000 Doktor merupakan salah
satu program unggulan Kementerian Agama yang strategis dan visioner. “Kita
harapkan setiap tahun lahir 1.000 doktor selama pemerintahan Jokowi-JK,”
jelasnya. http://www.kemeneg.go.id/index.php?a=berita&id
[12] Prof. DR. Roem Rowi adalah dosen
senior Fakultas Ushuluddin beliau lulusan Universitas Islam Madinah tahun 1971
kemudian melanjutkan S-2 di Universitas Al-Azhar Jurusan Tafsir Hadits dan S-3
di universitas dan jurusan yang sama dan lulusan pada tahun 1989
[13] Suara Hidaytullah, Roem Rowi “Ada
‘Permutadan di IAIN” Edisi 09 /XVII/Januari 2005. Dzulqa`idah 1425
[14] Apa yang diutarakan Prof Roem tidak
jauh berbeda dengan apa yang dituliskan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, “BIasanya
ketika seorang diinterview untuk mendapat beasiswa ke negara Barat pertanyaan
yang perlu dijawab adalah “Mengapa kami perlu memberi Anda beasiswa dan tidak
kepada orang lain? Jika kami memberi Anda beasiswa akan menjadi apa Anda
setelah sepuluh, lima belas tahun lagi?” Apa yang tersirat dari pertanyaan ini
adalah bahwa beasiswa ini adalah untuk menjadikan Anda kader pemimpin di Negara
Anda. Hamid Fahmy Zarkasyi, “Misykat Refleksi Tentang Westernisasi,
Liberalisasi dan Isalm”, (Jakarta, INSISTS-UMMI, 2012) cet ke-2,h. 93.
0 komentar:
Post a Comment