Saturday 13 August 2016

BIOGRAFI MU’ALIM HUSIN

SEJARAH TEMPAT DAN LAHIR
Amuntai tepatnya tanggal 19 Juli 1981 bertepatan dengan 17 Ramadhan pukul 12.05 telah lahir anak kembar yang kemudian diberikan nama Hasan Husin. Husin, pendek memang, tapi itu adalah nama yang disematkan kedua orang tua beliau. Mu’alim Husin lahir dari seorang ibu bernama Rohana dan ayah bernama Muhammad Sungkar. Ketika usia 2 bulan, orang tua membawa mereka ke Solo karena ayah beliau setelah menikah tinggal di Solo yang juga tempat lahir dan meninggalnya. Ayah beliau meninggal ketika usia mereka 3 tahun dengan meninggalkan 3 orang anak laki-laki. Kakak mu’alim ketika itu berusia 6 tahun. Sebagai orang tua tunggal, ibu mu’alim kala itu bekerja sebagai tukang jahit yang cukup lumayan mempunyai pelanggan tetap. Tak jarang beliau menghabiskan malam untuk menyelesaian pesanan jahitan orang-orang.
RIWAYAT PENDIDIKAN
Usia 4 tahun, Mu’alim Husin di masukan oleh ibu beliau ke Taman Kanak-Kanak Trisula II yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Setelah menyelesaikan Taman Kanak-Kanak, Mu’alim didaftarkan di Sekolah Dasar Negeri  Kebun Sari I. Setelah menyelesaikan pendidian di Sekolah Dasar kemudian melanjutkan pendidian di Madrasah Tsanawiyah Normal Islam Putra. Setelah menamatkan pendidian di MTs NIPA Rakha pada tahun 1998, lalu  melanjutkan pendidikan di MAK NIPA Rakha Amuntai. Menurut beliau sebagaimana lazimnya anak laki-laki yang sedang bermasalah dengan jati diri dan tujuan hidup, pada saat kelas II MAK Mu’alim Husin memutuskan untuk pindah ke SMKN 2 Amuntai. Keputusan ini di ambil karena pada saat itu beliau berpikir bahwa sekolah yang mempunyai prospek cerah untuk masa depan adalah sekolah kejuruan. Keputusan ini ditentang habis-habisan oleh ibu dan kakak beliau. Sehingga ketika waktu mendaftar dan harus menghadirkan orang tua, ibu beliau  tidak bersedia hadir. Walaupun tanpa izin dari ibu, Mu’alim Husin tetap melanjutkan keinginan bersekolah di SMKN 2 Amuntai dengan mindset yang ada dipikiran benar pada saat itu. Akan tetapi setelah 5 hari belajar di kelas, beliau merasakan perasaan dan suasana yang sangat berbeda dari apa yang saya pikirkan. Tidak perlu dijelaskan apa, yang pasti secara batin mu’alim Husin tidak merasakan rasa nyaman dengan suasana pergaulan dan lingkungan senyaman ketika sekolah di PonPes Rakha. Setelah 5 hari merasakan suasana yang berbeda, kemudian Mu’alim Husin kembali ke MAK NIPA Rakha Amuntai dengan perasaan sedikit malu pada keluarga dan diri sendiri he he he. Setelah lulus di bangku MAK NIPA Rakha, mu’alim Husin  kembali dihadapkan dengan 2 pilihan sulit. Pada saat itu STIQ Amuntai belum berdiri sedangkan STAI Rakha adalah satu-satunya perguruan tinggi yang secara fisik telah cukup memadai. Atas arahan dari Dr. H. M. Saberan Afandi yang pada saat itu beliau mengajarkan mata pelajaran Hadits menganjurkan kepada Mu’alim dan rekan-rekan untuk kuliah di STIQ Amuntai.
PENGALAMAN HIDUP
Pada saat SD kesadaran sebagai anak yang ditinggal sosok ayah baru dirasakan oleh Mu’alim Husin. Pahit getir dalam hidup mulai bisa dirasakan. Bukan karena beratnya beban biaya hidup akan tetapi sosok ayah bagi seorang anak laki memang sepantasnya ada. Perlakuan teman maupun guru kadang-kadang agak berbeda. Apakah terlalu terbawa perasaan, mungkin. Tetapi bayang-bayang perlakuan orang-orang yang tidak menyenangkan pada masa kecil cukup memberi bekas yang mendalam untuk dirasakan oleh anak seusia SD. Kadang diam menjadi jurus yang ampuh untuk menghindari orang lain. Pada waktu SD Mu’alim Husin dikenal sebagai anak yang pendiam dan kurang bergaul. Hal ini bukan tanpa sebab. Waktu kelas II SD beliau pernah diperlakukan kasar oleh orang tua teman ketika bermain di rumah teman. Pada saat itu beliau dan 4 orang teman-teman yang lain bermain di rumah sebut saja namanya “mawar” he he he (seperti di kasus-kasus kriminal apabila memberi inisial kepada korbannya). Nah di rumah mawar tersebut ketika bermain-main tanpa sengaja Mu’alim Husin menjatuhkan televisi yang diletakkan diatas kardus. Televisinya kecil ukuran 7,5 Inc dan menurut seingat beliau tv itu tidak jatuh sampai membuat rusak. Tetapi dengan amarah yang sangat, ibunya memarahi mereka khususnya Mu’alim dengan amarah dan perkataan yang sepertinya tidak seharusnya diluapkan kepada anak kecil. Tidak sampai disitu saja, seolah tidak puas kemudian ibunya mawar mengadukan dan meminta ganti rugi kepada ibu beliau. Jika terkenang dengan peristiwa tersebut beliau sering merasa sedih. Bagaimna tidak, kesedihan yang disebabkan mengingat wajah ibunya yang agak shock karena harus mengganti rugi barang yang terbilang cukup mahal bagi seorang janda yang harus membiaya hidup dan sekolah 3 orang anaknya. Bagi orang lain mungkin tidak, tetapi bagi ibu beliau uang segitu sangat besar artinya dalam mempertahankan kelangsungan hidup anak-ananknya. Sejak saat itu Mu’alim Husin dikenal sebagai anak yang pendiam dan jarang bergaul. Setiap habis sekolah beliau hanya menghabiskan waktu dengan bermain di rumah bersama saudara dan keliling komplek untuk berjualan es lilin yang mereka  buat sendiri. Ibu mu’alim Husin adalah sosok seorang ibu yang mandiri dan tidak bergantung dengan belas kasihan saudaranya yang beberapa sudah cukup mapan. Disamping menjadi tukang jahit, dengan bermodalkan hasil menjual emas beliau membeli kulkas yang juga menjadi usaha mereka bersama(mu’alim Husin dan saudara ). Setiap hari beliau menjual es lilin keluar masuk gang dan komplek rumah yang banyak anak-anaknya. Pekerjaan ini dikerjakan sampai menginjak kelas V SD. Berkat tabungan yang beliau dan saudara beliau kumpulkan bersama-sama mulailah mereka  membangun sebuah toko kecil yang terbuat dari kayu yang kemudian menjadi penopang ekonomi keluarga setelah ibu beliau memutuskan untuk berhenti menjahit karena seringnya sakit persendian dan pinggang disebabkan lamanya duduk.
Menjadi pribadi yang introvert (tertutup) bukan berati mu’alim Husin  tidak mempunyai teman. beliau mempunyai beberapa teman yang cukup mengerti dengan keadaan dan kepribadian beliau. Diantara teman yang cukup dekat pada saat itu diantaranya Abdul Satar. Menurut Mu’alim Husin beliau bisa menjadi teman bicara yang asyik dan menyenangkan baik di saat senang maupun sedih. Menjadi pribadi yang tertutup kadang kala ada sisi positifnya. Menurut mu’alim secara pribadi memang beliau tidak mempunyai banyak teman “pada saat itu”. Akan tetapi beliau juga tidak menyediakan ruang dalam hati untuk membenci orang lain. Beliau  hanya berkutat dengan dunia beliau sendiri dan bagi beliau dunia orang lain bukanlah hal penting untuk dicampuri dan diikuti. Beliau tidak terlalu peduli dengan anggapan orang lain terhadap pribadi beliau sendiri.
Pada tahun 2004  disinilah titik balik dari perjalan hidup sebelumnya. Sebelumnya Mu’alim Husin dikenal sebagai pribadi yang cuek akan keadaan sekitar. Walaupun kuliah di STIQ Amuntai, beliau kadang masih menggunakan celana yang sobek-sobek di bagian lutut yang pada saat itu menjadi trend di kalangan anak muda yang tentunya tetap menjaga dan hati-hati kalau sampai ketahuan Mualim Saberan he he he.... Sejak tahun 2001 s/d 2003 beliau berpindah-pindah tempat tinggal. Kadang-kadang tinggal di asrama, kadang-kadang tinggal di kost dan kadang-kadang tinggal di STIQ Amuntai dimana beliau, Abdul Satar dan Saipul Bahri adalah Cleaning Servive pertama yang ditugaskan membersihkan gedung STIQ Amuntai. Dan pada tahun 2004 mulai lah beliau berkenalan dengan gerakan Jama’ah Tabligh yang merubah segala pola pikir dan gaya hidup yang telah beliau jalani. Pada saat itu beliau telah merubah penampilan dari celana jeans yang disobek-sobek menjadi kain sarung dan baju kaos menjadi jubah selutut. Jama’ah Tabligh berserta dengan doktrin-doktrinnya membantu beliau menjadi pribadi yang lebih baik. Pribadi yang introvert berubah menjadi pribadi yang extrovert, sikap empati berubah menjadi simpati, sikap menjaga jarak berubah menjadi membangun ruang pertemanan baru.
Pada tahun 2005 ketika lulus dari STIQ Amuntai dimulailah perjalan karir sampai saat ini. Dalam melakukan “petualangan kerja”, Mu’alim Husin pernah merasakan berbagai pekerjaan diantaranya sebagai Guru SDN Kebun Sari I selama 6 bulan, Guru di MTs Al Hidayah Sungai Tabukan selama 3,5 Tahun, sebagai guru SMPN 8 Amuntai selama 1 tahun, sebagai guru Madrasah Aliyah Negeri Kelua selama 2 tahun dan yang terlama dan telah menginjak masa kerja selama 10 tahun  di STIQ Amuntai.
Cita-Cita dan Cinta
Seperti layaknya seorang anak manusia yang mempunyai rasa cinta dan dicinta he he he ( kayak bait lagu ), kisah asrama ehhhhh kisah asmara yang pertama dan terakhir dimulai pada tahun 2007. Percaya tidak percaya sejak kecil sampai selesai kuliah Mu’alim Husin belum pernah merasakan dan mengenal apa arti dari pacaran atau hubungan spesial antara laki-laki dan perempuan. Karena memang belum adanya alat komunikasi yang mudah seperti sekarang. Ketika usia 27 tahun tepatnya bulan Maret awal dari adanya rasa yang berbeda terhadap seorang wanita yang sekarang menjadi istri beliau.
Pada saat itu wanita yang beliau sukai baru menginjak semester III di STIQ Amuntai. Memang Allah punya rencana yang tidak terduga. Padahal itu bukanlah pertemuan yang pertama. Sebelumnya mereka telah bertemu pada saat penerimaan mahasiswa baru. Menurut Mu’alim pertemuan selanjutnya pun bukanlah sesuatu hal yang spesial, sama saja dengan bertemu mahasiswa-mahasiswi yang lain. Akan tetapi ketika dia berada di semester III dan pada saat itu mengurus surat izin sakit temannya, Allah hadirkan perasaan yang aneh dan sangat asing. Kadang senyum sendiri, kadang-kadang diam dan senyum lagi he he he...
Atas bantuan dari mak comblang dimulai lah langkah-langkah pendekatan. Akan tetapi pendekatannya tidaklah semulus yang di bayangkan. Sulitnya berkomunikasi karena belum adanya alat komunikasi yang dia miliki menjadi kendala besar. Sedangkan untuk bertemu dan berbicara langsung sangat sulit karena kondisi di kampus pada saat itu. Akhirnya dengan keberanian yang dikumpulkan dan mental yang “dikuat-kuatkan”, diputuskan untuk langsung datang ke orang tuanya sendirian. Karena setelah urusan panjang dengan mak comblang  dan si wanita tersebut Cuma memberikan jawaban terserah orang tua, maka beliau putuskan nekat saja. Urusan diterima atau tidak itu urusan belakangan.
Setelah konsultasi dengan ibu beliau, dan wejangan dan nasehat yang panjang lebar khas ibu-ibu, pada hari minggu berangkatlah Mu’alim Husin ditemani dengan kendaraan Force One ke rumah si dia. Setelah panjang lebar berbicara dengan ayahnya akhirnya memang tetap keputusan orang tuanya untuk tidak menikahkan anaknya sampai lulus kuliah. Akan tetapi karena sudah niat, akhirnya tanpa pikir panjang beliau jawab “saya bersedia menunggu sampai anak pian lulus kuliah”. Fuihhhh, tapi jawaban orang tuanya Cuma senyum saja. Mungkin mereka berpikir “nekat juga nih anak” he he he. Dan sambil tersenyum ayahnya menjawab “ silahkan kalau mau menunggu, akan tetapi kalau nantinya ada jodoh lain gak apa-apa juga”. Akhirnya Mu’alim Husin merasa legaa.
Pada tanggal 31 Agustus tahun 2010, setelah penantian selama 3 tahun lebih akhirnya Mu’alim Husin mempersunting gadis yang telah lama dinantikan keberadaannya untuk menemani dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan sampai sekarang mereka telah dianugerahi 2 orang anak bernama Muhammad Hafizhi Al-Furqan dan Yusuf Ahsanul Fata.
Dalam mengarungi hidup ada banyak pelajaran yang beliau  dapatkan dan beliau simpulkan yang kemudian menjadi pegangan dan petunjuk yang beliau tetapkan, yaitu
1.      Hidup bukanlah sesuatu yang patut di tangisi dan ditakuti, hidup harus dijalani dengan senyum dan bahu yang tegak, karena rasa takut dan sedih hanyalah milik orang-orang yang tidak mempunyai kebahagiaan di hatinya.
2.      1000 orang teman lebih baik dari 1 orang musuh. Jangan luaskan dan sediakan hati untuk rasa benci dan dendam dan jangan sempitkan hati untuk menerima dan membuka satu bentuk persaudaraan yang baru.
3.      Tapi yang terpenting dan yang paling penting adalah my family is my priority. Keluargaku adalah prioritas utamaku. Dan aku akan selalu melakukan segalanya untuk membahagiakan orang-orang yang aku cintai dan pastinya mencintaiku.

“SEKIAN”
Oleh: Mery ramadhina dan Norhidayat

0 komentar:

Post a Comment