SEJARAH TEMPAT DAN LAHIR
Amuntai tepatnya tanggal
19 Juli 1981 bertepatan dengan 17 Ramadhan pukul 12.05 telah lahir anak kembar
yang kemudian diberikan nama Hasan Husin. Husin, pendek memang, tapi itu adalah
nama yang disematkan kedua orang tua beliau. Mu’alim
Husin
lahir dari seorang ibu bernama Rohana dan ayah bernama Muhammad Sungkar. Ketika
usia 2 bulan, orang tua membawa
mereka
ke Solo karena ayah beliau
setelah menikah tinggal di Solo yang juga tempat lahir dan meninggalnya. Ayah beliau meninggal ketika usia mereka 3 tahun dengan meninggalkan 3
orang anak laki-laki. Kakak mu’alim ketika itu berusia 6 tahun. Sebagai orang
tua tunggal, ibu mu’alim kala itu bekerja sebagai tukang jahit yang cukup lumayan
mempunyai pelanggan tetap. Tak jarang beliau menghabiskan malam untuk menyelesaian
pesanan jahitan orang-orang.
RIWAYAT PENDIDIKAN
Usia 4 tahun, Mu’alim
Husin di masukan oleh ibu beliau ke Taman Kanak-Kanak Trisula II yang jaraknya
tidak jauh dari rumah. Setelah menyelesaikan Taman Kanak-Kanak, Mu’alim
didaftarkan di Sekolah Dasar Negeri Kebun Sari I. Setelah menyelesaikan pendidian
di Sekolah Dasar kemudian melanjutkan pendidian di Madrasah Tsanawiyah Normal
Islam Putra. Setelah menamatkan pendidian di MTs NIPA Rakha pada tahun 1998, lalu
melanjutkan pendidikan di MAK NIPA Rakha
Amuntai. Menurut beliau sebagaimana lazimnya anak laki-laki yang sedang
bermasalah dengan jati diri dan tujuan hidup, pada saat kelas II MAK Mu’alim
Husin memutuskan untuk pindah ke SMKN 2 Amuntai. Keputusan ini di ambil karena
pada saat itu beliau berpikir bahwa sekolah yang mempunyai prospek cerah untuk
masa depan adalah sekolah kejuruan. Keputusan ini ditentang habis-habisan oleh
ibu dan kakak beliau.
Sehingga ketika waktu mendaftar dan harus menghadirkan orang tua, ibu beliau tidak bersedia hadir. Walaupun tanpa izin dari
ibu, Mu’alim Husin tetap melanjutkan keinginan bersekolah di SMKN 2 Amuntai
dengan mindset yang ada dipikiran
benar pada saat itu. Akan tetapi setelah 5 hari belajar di kelas, beliau merasakan perasaan dan suasana
yang sangat berbeda dari apa yang saya pikirkan. Tidak perlu dijelaskan apa, yang pasti secara
batin mu’alim Husin
tidak merasakan rasa nyaman dengan suasana pergaulan dan lingkungan senyaman
ketika sekolah di PonPes Rakha. Setelah 5 hari merasakan suasana yang berbeda,
kemudian Mu’alim Husin
kembali ke MAK NIPA Rakha Amuntai dengan perasaan sedikit malu pada keluarga
dan diri sendiri he he he. Setelah lulus di bangku MAK NIPA Rakha, mu’alim Husin kembali dihadapkan dengan 2 pilihan sulit.
Pada saat itu STIQ Amuntai belum berdiri sedangkan STAI Rakha adalah
satu-satunya perguruan tinggi yang secara fisik telah cukup memadai. Atas
arahan dari Dr. H. M. Saberan Afandi yang pada saat itu beliau mengajarkan mata
pelajaran Hadits menganjurkan kepada Mu’alim dan rekan-rekan untuk kuliah di
STIQ Amuntai.
PENGALAMAN HIDUP
Pada saat SD kesadaran
sebagai anak yang ditinggal sosok ayah baru dirasakan oleh Mu’alim Husin.
Pahit getir dalam hidup mulai bisa dirasakan. Bukan karena beratnya beban biaya
hidup akan tetapi sosok ayah bagi seorang anak laki memang sepantasnya ada.
Perlakuan teman maupun guru kadang-kadang agak berbeda. Apakah terlalu terbawa
perasaan, mungkin. Tetapi bayang-bayang perlakuan orang-orang yang tidak
menyenangkan pada masa kecil cukup memberi bekas yang mendalam untuk dirasakan
oleh anak seusia SD. Kadang diam menjadi jurus yang ampuh untuk menghindari
orang lain. Pada waktu SD Mu’alim
Husin
dikenal sebagai anak yang pendiam dan kurang bergaul. Hal ini bukan tanpa
sebab. Waktu kelas II SD beliau
pernah diperlakukan kasar oleh orang tua teman ketika bermain di rumah teman.
Pada saat itu beliau
dan 4 orang teman-teman yang lain bermain di rumah sebut saja namanya “mawar”
he he he (seperti di kasus-kasus kriminal apabila memberi inisial kepada
korbannya). Nah di rumah mawar tersebut ketika bermain-main tanpa sengaja Mu’alim Husin menjatuhkan televisi
yang diletakkan diatas kardus. Televisinya kecil ukuran 7,5 Inc dan menurut seingat beliau tv itu
tidak jatuh sampai membuat rusak. Tetapi dengan amarah yang sangat, ibunya
memarahi mereka khususnya Mu’alim dengan amarah dan perkataan yang sepertinya
tidak seharusnya diluapkan kepada anak kecil. Tidak sampai disitu saja, seolah
tidak puas kemudian ibunya
mawar mengadukan
dan meminta ganti rugi kepada ibu
beliau.
Jika terkenang dengan peristiwa tersebut beliau sering merasa sedih. Bagaimna
tidak, kesedihan yang disebabkan mengingat wajah ibunya yang agak shock karena
harus mengganti rugi barang yang terbilang cukup mahal bagi seorang janda yang
harus membiaya hidup dan sekolah 3 orang anaknya. Bagi orang lain mungkin
tidak, tetapi bagi ibu beliau
uang segitu sangat besar artinya dalam mempertahankan kelangsungan hidup
anak-ananknya. Sejak saat itu Mu’alim
Husin
dikenal sebagai anak yang pendiam dan jarang bergaul. Setiap habis sekolah beliau hanya menghabiskan waktu dengan
bermain di rumah bersama saudara dan keliling komplek untuk berjualan es lilin
yang mereka buat sendiri. Ibu mu’alim Husin adalah sosok seorang ibu yang mandiri dan tidak
bergantung dengan belas kasihan saudaranya yang beberapa sudah cukup mapan.
Disamping menjadi tukang jahit, dengan bermodalkan hasil menjual emas beliau
membeli kulkas yang juga menjadi usaha mereka bersama(mu’alim Husin dan saudara ).
Setiap hari beliau
menjual es lilin keluar masuk gang dan komplek rumah yang banyak anak-anaknya.
Pekerjaan ini dikerjakan sampai menginjak kelas V SD. Berkat tabungan yang beliau
dan saudara beliau kumpulkan bersama-sama mulailah mereka membangun sebuah toko kecil yang terbuat dari
kayu yang kemudian menjadi penopang ekonomi keluarga setelah ibu beliau memutuskan
untuk berhenti menjahit karena seringnya sakit persendian dan pinggang
disebabkan lamanya duduk.
Menjadi
pribadi yang introvert (tertutup)
bukan berati mu’alim Husin tidak mempunyai teman. beliau mempunyai beberapa teman yang
cukup mengerti dengan keadaan dan kepribadian beliau. Diantara teman yang cukup dekat
pada saat itu diantaranya Abdul Satar. Menurut Mu’alim Husin beliau bisa menjadi teman bicara
yang asyik dan menyenangkan baik di saat senang maupun sedih. Menjadi pribadi
yang tertutup kadang kala ada sisi positifnya. Menurut mu’alim secara pribadi memang beliau tidak mempunyai banyak teman “pada
saat itu”. Akan tetapi beliau
juga tidak menyediakan ruang dalam hati untuk membenci orang lain. Beliau hanya berkutat dengan dunia beliau sendiri dan bagi beliau dunia orang lain bukanlah hal
penting untuk dicampuri
dan diikuti.
Beliau
tidak terlalu peduli dengan anggapan orang lain terhadap pribadi beliau sendiri.
Pada
tahun 2004 disinilah titik balik dari
perjalan hidup sebelumnya. Sebelumnya Mu’alim Husin dikenal sebagai pribadi yang cuek akan
keadaan sekitar. Walaupun kuliah di STIQ Amuntai, beliau kadang masih
menggunakan celana yang sobek-sobek di bagian lutut yang pada saat itu menjadi trend di kalangan anak muda yang
tentunya tetap menjaga dan hati-hati kalau sampai ketahuan Mualim Saberan he he
he.... Sejak tahun 2001 s/d 2003 beliau berpindah-pindah tempat tinggal.
Kadang-kadang tinggal di asrama, kadang-kadang tinggal di kost dan
kadang-kadang tinggal di STIQ Amuntai dimana beliau, Abdul Satar dan Saipul
Bahri adalah Cleaning Servive pertama
yang ditugaskan membersihkan gedung STIQ Amuntai. Dan pada tahun 2004 mulai lah
beliau
berkenalan dengan gerakan Jama’ah Tabligh
yang merubah segala pola pikir dan gaya hidup yang telah beliau jalani. Pada saat itu beliau telah merubah
penampilan dari celana jeans yang disobek-sobek menjadi kain sarung dan baju
kaos menjadi jubah selutut. Jama’ah
Tabligh berserta dengan doktrin-doktrinnya membantu beliau menjadi pribadi yang lebih baik.
Pribadi yang introvert berubah
menjadi pribadi yang extrovert, sikap
empati berubah menjadi simpati, sikap menjaga jarak berubah menjadi membangun
ruang pertemanan baru.
Pada tahun 2005 ketika lulus dari STIQ
Amuntai dimulailah perjalan karir sampai saat ini. Dalam melakukan “petualangan
kerja”, Mu’alim Husin pernah merasakan berbagai pekerjaan diantaranya sebagai
Guru SDN Kebun Sari I selama 6 bulan, Guru di MTs Al Hidayah Sungai Tabukan
selama 3,5 Tahun, sebagai guru SMPN 8 Amuntai selama 1 tahun, sebagai guru
Madrasah Aliyah Negeri Kelua selama 2 tahun dan yang terlama dan telah menginjak
masa kerja selama 10 tahun di STIQ
Amuntai.
Cita-Cita dan
Cinta
Seperti
layaknya seorang anak manusia yang mempunyai rasa cinta dan dicinta he he he (
kayak bait lagu ), kisah asrama ehhhhh kisah asmara yang pertama dan terakhir
dimulai pada tahun 2007. Percaya tidak percaya sejak kecil sampai selesai
kuliah Mu’alim Husin
belum pernah merasakan dan mengenal apa arti dari pacaran atau hubungan spesial antara
laki-laki
dan perempuan. Karena memang belum adanya alat komunikasi yang mudah seperti
sekarang. Ketika usia 27 tahun tepatnya bulan Maret awal dari adanya rasa yang berbeda
terhadap seorang wanita yang sekarang menjadi istri beliau.
Pada saat itu wanita yang beliau sukai baru menginjak
semester III di STIQ Amuntai. Memang Allah punya rencana yang tidak terduga.
Padahal itu bukanlah pertemuan yang pertama. Sebelumnya mereka telah bertemu
pada saat penerimaan mahasiswa baru. Menurut Mu’alim pertemuan selanjutnya pun
bukanlah sesuatu hal yang spesial, sama saja dengan bertemu mahasiswa-mahasiswi
yang lain. Akan tetapi ketika dia berada di semester III dan pada saat itu mengurus
surat izin sakit temannya, Allah hadirkan perasaan yang aneh dan sangat asing.
Kadang senyum sendiri, kadang-kadang diam dan senyum lagi he he he...
Atas bantuan dari mak comblang dimulai lah langkah-langkah pendekatan. Akan tetapi
pendekatannya tidaklah semulus yang di bayangkan. Sulitnya berkomunikasi karena
belum adanya alat komunikasi yang dia miliki menjadi kendala besar. Sedangkan
untuk bertemu dan berbicara langsung sangat sulit karena kondisi di kampus pada
saat itu. Akhirnya dengan keberanian yang dikumpulkan dan mental yang
“dikuat-kuatkan”, diputuskan
untuk langsung datang ke orang tuanya sendirian. Karena setelah urusan panjang
dengan mak comblang dan si wanita tersebut Cuma memberikan
jawaban terserah orang tua, maka beliau
putuskan nekat saja. Urusan diterima atau tidak itu urusan belakangan.
Setelah konsultasi dengan ibu beliau,
dan wejangan dan nasehat yang panjang lebar khas ibu-ibu, pada hari minggu
berangkatlah Mu’alim Husin ditemani dengan kendaraan Force One ke rumah si dia.
Setelah panjang lebar berbicara dengan ayahnya akhirnya memang tetap keputusan
orang tuanya untuk tidak menikahkan anaknya sampai lulus kuliah. Akan tetapi
karena sudah niat, akhirnya tanpa pikir panjang beliau jawab “saya bersedia
menunggu sampai anak pian lulus kuliah”. Fuihhhh, tapi jawaban orang tuanya Cuma senyum saja.
Mungkin mereka
berpikir “nekat juga nih anak” he he he. Dan sambil tersenyum ayahnya menjawab
“ silahkan kalau mau menunggu, akan tetapi kalau nantinya ada jodoh lain gak
apa-apa juga”. Akhirnya Mu’alim Husin merasa legaa.
Pada tanggal 31 Agustus tahun 2010,
setelah penantian selama 3 tahun lebih akhirnya Mu’alim Husin mempersunting
gadis yang telah lama dinantikan keberadaannya untuk menemani dalam mengarungi
bahtera rumah tangga dan sampai sekarang mereka telah dianugerahi 2 orang anak
bernama Muhammad Hafizhi Al-Furqan dan Yusuf Ahsanul Fata.
Dalam mengarungi hidup ada banyak
pelajaran yang beliau dapatkan dan beliau simpulkan yang kemudian
menjadi pegangan dan petunjuk yang beliau tetapkan, yaitu
1. Hidup
bukanlah sesuatu yang patut di tangisi dan ditakuti, hidup harus dijalani
dengan senyum dan bahu yang tegak, karena rasa takut dan sedih hanyalah milik
orang-orang yang tidak mempunyai kebahagiaan di hatinya.
2. 1000
orang teman lebih baik dari 1 orang musuh. Jangan luaskan dan sediakan hati
untuk rasa benci dan dendam dan jangan sempitkan hati untuk menerima dan
membuka satu bentuk persaudaraan yang baru.
3. Tapi
yang terpenting dan yang paling penting adalah my family is my priority. Keluargaku adalah prioritas utamaku. Dan
aku akan selalu melakukan segalanya untuk membahagiakan orang-orang yang aku
cintai dan pastinya mencintaiku.
“SEKIAN”
Oleh: Mery ramadhina dan Norhidayat
0 komentar:
Post a Comment