A.
Pengertian Hadits Dha’if
Dha’if secara bahasa berarti lemah, lawan dari kuat. Sedangkan
secara istilah adalah hadits yang tidak memenuhi kriteria yang terdapat dalam
hadits shahih maupun hadits hasan.
Hadits dha’if adalah hadits yang lemah yang disebabkan tidak
memenuhi salah satu atau lebih syarat-syarat yang terdapat pada hadits shahih
atau hadits hasan. Di antara yang menyebabkan hadits tersebut tidak memenuhi
syarat yang terdapat dalam hadits shahih ataupun hasan adalah karena:
1.
Terputus
sanadnya.
2.
Terdapat
di antara perawinya seorang yang tidak adil, maksudnya adalah perawi tersebut
dikatakan adil apabila ia seorang muslim, baligh, berakal, tidak fasiq dan
tidak tercemar muru’ahnya.
3.
Terdapat
juga di antara perawi hadits tersebut yang lemah ingatannya.
4.
Adanya
syadz (keganjilan atau sesuatu yang menyebabkan hadits tersebut menjadi
meragukan)
5.
Terdapat
illat (kecacatan) pada hadits tersebut.
B.
Hukum Meriwayatkan Hadits Dha’if
Para ahli hadits dan yang lainnya membolehkan agar bersikap longgar
(tasahul) terhadap
riwayat-riwayat yang dha’if (selama tidak sampai derajat maudhu’, karena hadits
maudhu’ tidak boleh diriwayatkan secara
mutlak) tanpa harus menjelaskan derajat kedha’ifannnya dan boleh juga
mengamalkannya, dengan syarat:
1.
Tidak
berhubungan dengan masalah akidah, seperti sifat-sifat Allah Ta’ala.
2.
Tidak
berhubungan dengan masalah hukum syar’i seperti masalah halal dan haram. (Tadrib
ar-Rawi, I/298)
Sehingga untuk masalah-masalah diluar dari dua hal tersebut boleh
saja hadits dha’if diriwayatkan, misalnya dalam ranah nasehat, motivasi,
ancaman, kisah-kisah dan yang semisalnya. Sebagaimana yang dinukil dari
ulama-ulama hadits, diantaranya menurut Sufyan ats-Tsauri, Abdur Rahman bin
Mahdi, Ahmad bin Hanbal, dll.
Walaupun demikian bagi siapa saja yang meriwayatkan hadits dha’if
perlu diperhatikan, hendaknya jangan mengucpakan : قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا (Rasulullah saw telah bersabda demikian),
tetapi hendaknya berkata : روي عن رسول الله صلى الله
عليه وسلم كذا (diriwayatkan dari
Rasulullah saw demikian) atau بلغنا عن رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا
(telah sampai kepada kami dari Rasulullah saw demikian) atau yang
semisalnya. Yang demikian itu agar tidak menisbatkan dengan pasti bahwa hadits
tersebut adalah sabda Rasulullah saw sedangkan kedha’ifannya diketahui dengan
jelas. (Taisir fii Mushthalah al-Hadits, 65)
C.
Hukum Beramal dengan Hadits Dha’if
Mengenai hukum mengamalkan hadits dha’if ini para ulama berbeda
pendapat. Tetapi jumhur ulama sangat menganjurkan menggunakan hadits dha’if
untuk tujuan fadhilah amal, bahkan Imam Nawawi dalam Muqaddimah Hadits Arba’in
(3) menghikayatkan bahwa para ulama sepakat atas bolehnya mengamalkan hadits
dha’if dalam ruang lingkup Fadha’il al-A’mal. Tetapi dengan syarat–syarat
tertentu, seperti yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Tadrib ar-Rawi
(I/298-299)
1.
Hadits
tersebut tidak terlalu dha’if.
2.
Hadits
tersebut menggambarkan suatu amalan yang pada asalnya bersandar kepada hadits shahih
atau hasan.
3.
Tidak
meyakini ketika beramal dengan hadits tersebut bahwa hadits itu tsubut dari
Nabi saw, tetapi sebagai ihtiyath.
D.
Beramal dengan Hadits Dh’if Menurut Ulama Hadits
Berikut ini adalah perkataan para ulama salaf maupun khalaf
mengenai hadits dha’if khususnya dalam ranah fadha’il al-a’mal, yang dikutip
oleh Muhammad Khalaf dalam kitab Lisan al-Muhadditsin (II/287):
1.
Sufyan
ats-Tsauri
لا تأخذوا هذا العلم في
الحلال والحرام إلا من الرؤساء المشهورين بالعلم الذين يعرفون الزيادة والنقصان ،
ولا بأس بما سوى ذلك من المشايخ.
“Janganlah mengambil ilmu ini dalam urusan halal dan haram kecuali
dari para ulama yang terkemuka yang populer kemuliaannya, yang dapat mengenali
adanya penambahan dan pengurangan dalam suatu hadits, dan boleh menerima
hadits-hadits selain dalam konteks di atas dari para ulama kebanyakan”
2.
Sufyan
bin Uyainah
لا تسمعوا من بقية ما كان في سُنَّة ،
واسمعوا منه ما كان في ثواب وغيره.
“Janganlah kalian mendengarkan hadits dari
baqiyyah (seorang perawi yang dha’if) berkaitan dengan ajaran, akan tetapi
dengarkanlah darinya hadits yang berkaitan dengan pahala dan selainnya”
3.
Imam
Ahmad bin Hanbal
إذا روينا عن رسول الله
صلى الله عليه وسلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد ، وإذا
روينا عن النبي صلى الله عليه وسلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكماً ولا يرفعه
تساهلنا في الأسانيد.
“Apabila kami meriwayatkan dari Rasulullah saw seputar permasalahan
halal, haram, sunnah dan huku-hukum, kami memperketat dalam menyeleksi sanad,
apabila kami meriwayatkan dari Nabi saw dalam fadhail al-a’mal dan hal yang
tidak terkait dengan hukum, maka kami memperlonggar dalam menyeleksi sanad”
4.
Abu
Zakariya al-Anbari
الخبر إذا ورد لم يحرم
حلالاً ولم يُحِلَّ حراماً ، ولم يوجب حكماً ، وكان في ترغيب أو ترهيب أو تشديد أو
ترخيص : وجب الإغماض عنه والتساهل في رواته
“Apabila hadits yang datang tidak mengharamkan perkara yang halal,
tidak menghalalkan perkara yang haram dan tidak menetapkan suatu hukum, hadits
tersebut hanya menjelaskan seputar motivasi, peringatan, memperketat atau
dispensasi, maka harus memejamkan mata terhadap hadits tersebut dan harus
toleran terhadap perawinya”
5.
Ubadah
bin Sulaiman, yang dikutip oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab al-Jarh wa at-Ta’dil
(I/30-31)
قيل لابن المبارك، وروى عن رجل حديثاً، فقيل: هذا رجل ضعيف، فقال:
" يحتمل أن يروى عنه هذا القدر أو مثل هذه الأشياء ".قال أبو حاتم
الرازي: قلت لعبدة: مثل أي شيء كان؟ قال: " في أدب، في موعظة، في زهد، أو نحو
هذا "
“dikatakan kepada Ibnu al-Mubarak, beliau meriwayatkan sebuah
hadits dari seseorang, lalu dikatakan : “orang ini adalah dha’if”, maka ia
menjawab : “boleh saja diriwayatkan dari orang tersebut dalam kadar ini atau
yang semisal ini”. Maka Abu Hatim berkata : Aku bertanya kepada Ubadah :
“contohnya seperti perkara apa?” ia menjawab : “yaitu pada masalah adab,
mau’idhah, zuhud dan semisalnya”
6.
Abdurrahman
bin Mahdi, yang dikutip oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/490, setelah hadits
no. 1801), dikutip juga oleh al-Baihaqi dalam Dala`il an-Nubuwwah (I/34),
begitu juga oleh al-Khatib dalam kitabnya al-Jami’ (no. 1267)
إذا روينا عن النبي صلى
الله عليه وسلم في الحلال والحرام والأحكام شددنا في الأسانيد وانتقدنا الرجال.
وإذا روينا في فضائل الأعمال والثواب والعقاب والمباحات والدعوات، تساهلنا في
الأسانيد
“Apabila kami meriwayatkan (suatu hadits) dari Nabi saw seputar
masalah halal, haram, dan hukum-hukum, kami bersikap ketat dalam menyeleksi
sanad, dan kritis terhadap Rijalul haditsnya (perawinya). Tetapi apabila kami
meriwayatkan (suatu hadits) seputar fadha’il al-a’mal, pahala, siksa,
perkara-perkara yang mubah dan do’a-do’a, kami memperlonggar dalam menyeleksi
sanad”
7.
Imam
an-Nawawi dalam Muqaddimah Hadits arba’in an-Nawawiyyah.
وقد اتفق العلماء على
جواز العمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال
“Para ulama telah sepakat atas bolehnya
beramal dengan hadits dha’if dalam masalah fadha’il al-A’mal”
0 komentar:
Post a Comment