Saturday 15 October 2016

MAKALAH KONSEP KEPEMIMPINAN IMAMAH DALAM AL-QURAN

KONSEP KEPEMIMPINAN IMAMAH DALAM AL-QURAN
Muh. Haris Zubaidillah
Pendahuluan
Telah merasuk pada kebanyakan orang Islam sebuah pemikiran bahwa kemajuan sebuah negara dapat dilakukan dengan memisahkan agama dan Negara. Islam adalah agama  murni yang tidak ada hubunganya dengan sistem kenegaraan. Sehingga di negara-negara Timur yang mayoritas penduduknya muslim  tersebar sebuah ungkapan
ان الدين لله والوطن للجميع    
(sesungguhnya agama itu milik Allah sedangkan Negara adalah milik bersama).
Agama hanyalah aturan-aturan yang membahas hubungan manusia dengan Tuhanya, sedangkan aturan sosial kenegaraan diserahkan penuh kepada manusia.
Pemahaman yang fatal ini bermula disebarkan oleh kaum imperealisme Barat. Mereka menganggap bahwa kemajuan Negara-negara Barat yang sudah dicapai sekarang adalah dampak dari mereka yang menjauh dari agama. Semakin agama tidak ikut campur dalam urusan politik, maka sebuah Negara akan dapat mengalami kemajuan  pesat. Selanjutnya mereka juga menginginkan konsep Negara sekuler di Barat juga diterapkan di negara-negara Timur. Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Mustofa Kamal at Tartuk yang mendirikan Negara sekuler di Turki.
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Al-Afghani, memang harus diakui bahwa Eropa telah menjadi modern dengan cara mereka sendiri yaitu dengan tidak sungguh-sungguh menjadi Kristen. Hal seperti ini tidak bisa diterapkan pada diri orang Islam, karena kata-kata orang Eropa berasal dari prinsip-prinsip tertentu yang dipahami oleh mereka sendiri. Kaum muslimin akan maju kembali jika bersatu dan memegang teguh syariat Islam, dan sebaliknya akan lemah seperti sekarang karena mereka tidak benar-benar menjadi muslim.Oleh sebab itu sangat penting sekali bila kita kembali menerapkan syariat-syariat Islam. Karena sebenarnya Islam adalah agama universal yang melayani semua kebutuhan kehidupan termasuk dalam ketatanegaraan.
Dalam makalah ini penulis akan membahas dan mengulas pandangan Islam tentang sebuah konsep Negara. Pada bagian awal akan kami bahas tentang pengertian Imamah yang kemudian akan diteruskan dan ditutup dengan pandangan aliran-aliran Islam tentang konsep Imamah.

Pengertian Imamah dan Negara Islam
Secara linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai arti pimpinan atau orang yang diikuti. Selanjutnya Ibnu Mandzur mengartikanya dengan setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu komunitas masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan. Sedangkan secara istilah para pakar hukum Islam mendefinisikan dengan beragam. Al Mawardi memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga dan memelihara masalah agama serta urusan keduniaan. At Tafazani mendefinisikan dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat universal dalam mengatur urusan agama dan keduniaan. Ibn Khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh komunitas manusia yang sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan seluruh sistem kehidupan manusia dikembalikan pada pertimbangan dunia demi mendapatkan kemaslahatan akhirat. Dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa Imamah adalah kekuasaan tertinggi dalam negara Islam yang bersifat menyeluruh dalam memelihara agama dan pengaturan sistem keduniaan dengan berasaskan syariat Islam dan pencapaian maslahat bagi umat di dunia dan akhirat.[1]
Kata imamah, amirul mukminin, dan khalifah mempunyai bentuk satu arti yaitu suatu jabatan tertinggi dalam suatu negara. Sejarah telah membuktikan bahwa Rasulullah, para Shahabat dan Tabi’in tidak membedakanya. Oleh sebab itu para ulama fiqih juga tidak memisahkan ketiga istilah  tersebut, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh imam Nawawi dan Ibn Khaldun.[2]
Dalam mendefinisikan Negara Islam para ulama mempunyai dua pandangan yaitu:
a.       Negara Islam harus berdasarkan pada perlaksanaan hukum Islam dan sistemnya.
b.      Negara Islam diasaskan kepada keadaan keamanan Muslim dan kawasannya.
c.       Kalau orang Muslim mendapat keamanan sebagaimana keamanan negara Islam pada periode maka Negara itu adalah negara Islam. Berdasarkan pada pendapat yang kedua ini dalam menentukan negara Islam hanya ditentukan atas unsur mayoritas bilangan Muslim, walaupun undang-undang dan sistem Islam tidak terlaksana.[3]

Hukum Mendirikan Imamah
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa mendirikan sebuah negara adalah suatu hal yang wajib dilakukan menurut logika akal manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia adalah makhluk sosial yang sangat saling membutuhkan antara satu sama lain. Oleh sebab itu dalam membentuk sebuah komunitas masyarakat haruslah ada seorang pemimpin yang mengatur kehidupan mereka. Nabi bersabda :
اذا خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
Ketika tiga orang sedang bepergian maka hendaklah satu orang diantara mereka  diangkat menjadi pemimpin.
Sedangkan hukum mendirikan negara para pakar hukum Islam berbeda pendapat. Mayoritas mereka, seperti dari golongan Ahli Sunnah, Murjiah, Syiah, dan sebagian besar Mu’tazilah serta Khawarij berpendapat bahwa mendirikan pemerintahan Islam adalah suatu hal yang wajib. Ibn Hazm mengatakan bahwa dalam diri umat Islam harus ada sistem pemerintahan yang wajib ditaati. Hal ini tidaklah lain hanya untuk menegakkan hukum Allah dan pengaturan sistem kemasyarakatan yang berlandaskan syariat untuk mencapai kemaslahatan.
Dasar-dasar yang melandasi pendapat golongan ini:
1.      Firman Allah
ياايهاالذين أمنوا أطيعواالله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian semua pada Allah, Rasulullah, dan Ulil Amri diantara kamu.
Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dikehendaki dari ulil amri adalah umum untuk seluruh para pemimpin baik penguasa pemerintah ataupun para ulama.

2.      Hadist Nabi
من مات و ليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Barang siapa yang mati sedangkan dia tidak dalam kekuasaan baiat khalifah maka dia mati secara jahiliah.
3.      Kosensus para shahabat dan tabi’in tentang wajibnya imamah. Hal ini bisa dibuktikan dengan bergegasnya para shahabat untuk membaiat Abu Bakar di Saqifah Bani Sa’adah sebagai Amirul Mukminin.
Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa hukum mendirikan imamah adalah tidak wajib tapi cuma mubah. Mereka diantaranya adalah Abu Bakar al Asham dari golongan Mu’tazilah, Hisyam Al Fuwathi, Ubad bin Sulaiman dari Mu’tazilah, Dhirar, dan sebagian kecil ulama Khawarij. Al Asham berkata :
لو تكاف الناس عن التظالم لاستغنوا عن الامام
Seandainya saja masyarakat bisa meninggalkan perbuatan lalim maka mereka tidak lagi membutuhkan bentuk pemerintahan.
Golongan ini sangat berpegang teguh dan mendambakan persamaan hak asasi manusia. Anggapan mereka sistem pemerintahan sangat bersebrangan dengan konsep persamaan derajat karena disertai dengan pemaksaan dan penindasan dari penguasa. Kalaupun imamah diartikan sebagai alat untuk merealisasikan hukum-hukum Islam, maka hal itu tidak akan mengubah hukumnya menjadi wajib. Karena antara imamah dan tanfidzul hukmi  (realisasi hukum Islam) adalah dua kutub yang berbeda dan tidak saling berkaitan. Realisasi hukum syariat harus berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan dari penguasa yang mendorongnya. Bahkan mereka menganggap adanya imamah akan merusak kemerdekaan hak asasi manusia dan kebebasan berpikir. Sehingga dengan adanya imamah akan banyak menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam diri umat Islam.
Pendapat sebagian kecil ulama ini banyak ditentang oleh para fuqaha ( pakar hukum Islam). Sebenarnya dampak kemaslahatan yang ditimbulkan dari sistem imamah lebih besar dari pada kerugianya. Sehingga dalam menarik ulur dua kerugian haruslah dipilih yang lebih ringan. Bahkan kebebasan sebenarnya yang mencakup hak asasi manusia dan berpikir akan lebih terkoordinasi dengan adanya imamah untuk melindungi dan menjaga hak orang lain supaya tidak tertindas.
Dalam mendirikan negara Islam para ulama berpendapat bahwa dalam penjuru dunia harus ada satu pemerintah Islam. Islam adalah agama kesatuan dan umatnya harus berbentuk satu kesatuan yang tidak bercerai berai dan saling bahu membahu. Rasulullhah bersabda:
اذا بويع لخليفتين فاقتلوا الاخر منهما
Apabila telah dibaiat dua khalifah maka perangilah salah satunya.
Oleh sebab itu mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tidak boleh ada 2 imam baik dalam lingkup satu kawasan ataupun beberapa kawasan. Akan tetapi ada segolongan ulama seperti imam Haramain, Abu Mansur, al Baghdadi, Abu Shabah as Samarqandi dan beberapa ulama mutaakhirin mengatakan bahwa ta’adudul imam (banyak imam) dalam penjuru dunia diperbolehkan. Bahkan menurut imam Zaidiyah ketika batas teretoriyal dalam sebuah wilayah sudah jelas maka boleh mendirikan pemerintahan Islam demi untuk menjaga kemaslahatan umat. [4]

Syarat-Syarat dan Tugas Imam
Imam Mawardi memberikan batas-batas seseorang yang boleh menjadi imam, sebagai berikut:
1)            Islam, merdeka, laki-laki, baligh, dan berakal.
2)            A’dalah (adil) yaitu selalu konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi hal-hal yang dilarang agama.
3)            Mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang mencukupi  baik dalam masalah keagamaan maupun keduniaan.
4)            Punya kepribadian yang kuat, pemberani, dan tidak mudah menyerah.[5]
Dalam memimpin sebuah Negara, seorang imam mempunyai tugas-tugas yang harus dilaksanakan  guna mencapai kemakmuran Negara dan rakyatnya. Para ulama memberikan cakupan tentang tugas-tugas  yang menjadi kewajiban imam.
1.        Menjaga dan melestarikan hukum-hukum keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah serta membrantas tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar dari syariat Islam.
2.        Memerangi musuh yang mengancam keamanan Negara dan bangsa.
3.        Mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan Negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah wajib.
4.        Menjaga keamanan dan keadilan warganya[6]

Tata Cara Pengangkatan Imam
Ditinjau dari pendekatan historis, dalam pengangkatan kepala Negara umat Islam mempunyai beberapa tata cara:
1.      Intikhab (pemilihan langsung)
Tata cara dengan pemilihan langsung terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Sejarah telah mencatat bahwa tidak ada orang yang menolak pengangkatan imam dengan pemilihan langsung. Hanya saja dalam pemilihan harus diserahkan sepenuhnya kepada Ahlul Halli wal Aqdi.[7]
Ahlul Halli wal Aqdi adalah suatu lembaga yang beranggotakan orang-orang yang mempunyai pengetahuan agama, budi pekerti, dan ilmu yang memadai dalam mengatur masalah-masalah kemasyarakatan. Dalam pemerintahan Islam mereka juga disebut dengan “Ahlul ikhtiyar” (orang-orang yang bertugas memilih imam dengan menggantikan hak pilih yang dimiliki rakyat), “Ahlus Syura” (lembaga permusyawaratan), dan “Ahlut Tadbir” (lembaga yang mengatur masalah-masalah kemasyarakatan).[8]
Dalam menentukan jumlah Ahlul Halli wal Aqdi para ulama mempunyai beraneka ragam pendapat. Akan tetapi secara subtansial Ahlul Halli wal Aqdi adalah penyambung lidah rakyat. Sesuatu yang sudah menjadi pilihan dan keinginan rakyat akan disalurkan dan dimanifestasikan lewat mereka. Oleh sebab itu, syariat dalam memberi batasan dan memasukkan kriteria-kriteria Ahlul Halli wal Aqdi sangat ketat. Imam Mawardi memberikan syarat-syarat Ahlul Halli wal Aqdi sebagai berikut:
a)         A’dalah, yaitu karakter untuk selalu konsisten menjaga ketaqwaan dan muru’ah (harga diri).
b)        Mempunyai ilmu yang bisa digunakan untuk mengetahui pribadi seseorang yang berhak menjadi imam.
c)         Mempunyai pendapat dan kebijaksanaan dalam mengatur kepemerintahan dan memecahkan masalah-masalah sosial kewarganegaraan.
Tugas-tugas Ahlul Halli wal Aqdi:
1)        Memilih kepala Negara dan membaiatnya (melantiknya)
2)        Mengklasifikasi para kandidat imam yang sudah memenuhi kriteria.
3)        Memilih imam yang kelak akan lebih banyak memberikan kemanfaatan dan kemakmuran untuk umat.
4)        Menurunkan dan mencopot imam dari jabatanya ketika ada hal-hal yang menyebabkan imam harus diganti.[9]

2.      Istikhlaf  (mencari pengganti)
Istikhlaf adalah proses pengangkatan dari imam lama kepada imam baru yang dianggap memiliki kopetensi dalam memegang dan memimpin sebuah negara dengan mendapat persetujuan dari Ahlul Halli wal Aqdi. Istikhlaf juga sering disebut dengan al ‘ahdu atau washiat. Dalam sejarah tata cara proses pengangkatan seperti ini terjadi pada masa khlifah Abu Bakar dalam memilih Umar untuk menggantikanya. Imam Nawawi dalam Shahih Muslim mengatakan bahwa kaum muslimin telah sepakat jika seorang khalifah merasa akan mendekati ajal maka dia diperkenankan untuk mencari pengganti orang lain dengan mengikuti Abu Bakar, atau mengikuti jejak Rasul dengan tidak mencari pengganti.[10]

3.      Qahru wal Ghalabah (kudeta)
Qahru wal Ghalabah adalah tata cara proses pengangkatan imam yang tidak disepakati oleh ulama. Sebenarnya model ke tiga ini adalah tata cara yang tidak dilegalkan oleh syariat. Akan tetapi hal ini diperbolehkan hanya untuk menjaga kemaslahatan umat Islam dan menjaga terjadinya pertumpahan darah diantara mereka. Dalam hal ini imam Syafii mengatakan “barang siapa yang mampu mengkudeta seorang khalifah walaupun dengan kekerasan dan pedang sedangkan rakyat mengakuinya sebagai khalifah maka dia bisa dinamakan dengan khalifah”. Hanya saja ketika yang melakukan kudeta adalah orang kafir maka bagi seluruh umat muslim di negara itu wajib untuk memeranginya karena syarat beragama Islam selamanya harus dipenuhi oleh orang yang menjadi imam.[11]




DAFTAR PUSTAKA
Ad Damiji, Abdullah ibn Umar, 1409 H, Al Imamah Al U’dzma, Riyadz, Darut Thibah. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. ENSIKLOPEDI ISLAM. 1999. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve. cet. Ke-4. 5 jil.
http://www.islam.gov.my.
Mawardi, 1960. Ahkamus shultoniyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Zuhaili, Wahbah, 1997, Al Fiqhul Islami Wa Adillatuh vol 8,  Beirut; Darul Fikri.









[1] Abdullah ibn Umar Ad Damiji, 1409 H, AL IMAMAH AL U’DZMA, Riyadz, Darut Thibah, hlm: 27-29
[2] Ibid, hlm 32
[3] http://www.islam.gov.my. Diakses pada hari sabtu tgl 6 -10-2016 jam 14.00.
[4] Wahbah Zuhaili, 1997, AL FIQHUL ISLAMI  WA ADILLATUH vol 8,  Beirut; Darul Fikri, hlm: 6148
[5] Syarat-syarat ini masih diperdebatkan oleh para ulama, kecuali dalam syarat Islam, baligh dan berakal.

[6] Ibid.
[7] Abdullah ibn Umar, Op.Cit, hlm:  158
[8] Wahbah Zuhaili, Op.Cit, hlm: 6169
[9] Mawardi, 1960. Ahkamusshultoniyyah. Beirut: Dar al-Fikr. Hlm 7
[10] Abdullah ibn Umar, Op.Cit, hlm:  184
[11] Ibid, hlm: 222

0 komentar:

Post a Comment