KONSEP
KEPEMIMPINAN IMAMAH DALAM AL-QURAN
Muh. Haris
Zubaidillah
Pendahuluan
Telah
merasuk pada kebanyakan orang Islam sebuah pemikiran bahwa kemajuan sebuah
negara dapat dilakukan dengan memisahkan agama dan Negara. Islam adalah
agama murni yang tidak ada hubunganya
dengan sistem kenegaraan. Sehingga di negara-negara Timur yang mayoritas
penduduknya muslim tersebar sebuah
ungkapan
ان
الدين لله والوطن للجميع
(sesungguhnya
agama itu milik Allah sedangkan Negara adalah milik bersama).
Agama
hanyalah aturan-aturan yang membahas hubungan manusia dengan Tuhanya, sedangkan
aturan sosial kenegaraan diserahkan penuh kepada manusia.
Pemahaman
yang fatal ini bermula disebarkan oleh kaum imperealisme Barat. Mereka
menganggap bahwa kemajuan Negara-negara Barat yang sudah dicapai sekarang
adalah dampak dari mereka yang menjauh dari agama. Semakin agama tidak ikut
campur dalam urusan politik, maka sebuah Negara akan dapat mengalami
kemajuan pesat. Selanjutnya mereka juga
menginginkan konsep Negara sekuler di Barat juga diterapkan di negara-negara
Timur. Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Mustofa Kamal at Tartuk yang
mendirikan Negara sekuler di Turki.
Sebagaimana
yang telah dikatakan oleh Al-Afghani, memang harus diakui bahwa Eropa telah
menjadi modern dengan cara mereka sendiri yaitu dengan tidak sungguh-sungguh
menjadi Kristen. Hal seperti ini tidak bisa diterapkan pada diri orang Islam,
karena kata-kata orang Eropa berasal dari prinsip-prinsip tertentu yang
dipahami oleh mereka sendiri. Kaum muslimin akan maju kembali jika bersatu dan
memegang teguh syariat Islam, dan sebaliknya akan lemah seperti sekarang karena
mereka tidak benar-benar menjadi muslim.Oleh sebab itu sangat penting sekali
bila kita kembali menerapkan syariat-syariat Islam. Karena sebenarnya Islam
adalah agama universal yang melayani semua kebutuhan kehidupan termasuk dalam
ketatanegaraan.
Dalam
makalah ini penulis akan membahas dan mengulas pandangan Islam tentang sebuah
konsep Negara. Pada bagian awal akan kami bahas tentang pengertian Imamah yang
kemudian akan diteruskan dan ditutup dengan pandangan aliran-aliran Islam
tentang konsep Imamah.
Pengertian
Imamah dan Negara Islam
Secara
linguistik kata imamah berasal dari amma-yaummu-imamatan yang mempunyai
arti pimpinan atau orang yang diikuti. Selanjutnya Ibnu Mandzur mengartikanya
dengan setiap orang yang telah diangkat menjadi pimpinan suatu komunitas
masyarakat baik dalam menempuh jalan kebaikan atau kesesatan. Sedangkan secara
istilah para pakar hukum Islam mendefinisikan dengan beragam. Al Mawardi
memposisikan al-imamah sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga dan
memelihara masalah agama serta urusan keduniaan. At Tafazani mendefinisikan
dengan pemimpin tertinggi negara yang bersifat universal dalam mengatur urusan
agama dan keduniaan. Ibn Khaldun mengatakan imamah adalah muatan seluruh
komunitas manusia yang sesuai dengan pandangan syariat guna mencapai
kemaslahatan mereka baik di dunia dan akhirat. Hal ini dikarenakan seluruh
sistem kehidupan manusia dikembalikan pada pertimbangan dunia demi mendapatkan
kemaslahatan akhirat. Dari beberapa definisi ini dapat disimpulkan bahwa Imamah
adalah kekuasaan tertinggi dalam negara Islam yang bersifat menyeluruh dalam
memelihara agama dan pengaturan sistem keduniaan dengan berasaskan syariat Islam
dan pencapaian maslahat bagi umat di dunia dan akhirat.[1]
Kata
imamah, amirul mukminin, dan khalifah mempunyai bentuk satu arti yaitu suatu
jabatan tertinggi dalam suatu negara. Sejarah telah membuktikan bahwa
Rasulullah, para Shahabat dan Tabi’in tidak membedakanya. Oleh sebab itu para
ulama fiqih juga tidak memisahkan ketiga istilah tersebut, sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh imam Nawawi dan Ibn Khaldun.[2]
Dalam
mendefinisikan Negara Islam para ulama mempunyai dua pandangan yaitu:
a.
Negara
Islam harus berdasarkan pada perlaksanaan hukum Islam dan sistemnya.
b.
Negara
Islam diasaskan kepada keadaan keamanan Muslim dan kawasannya.
c.
Kalau
orang Muslim mendapat keamanan sebagaimana keamanan negara Islam pada periode
maka Negara itu adalah negara Islam. Berdasarkan pada pendapat yang kedua ini
dalam menentukan negara Islam hanya ditentukan atas unsur mayoritas bilangan
Muslim, walaupun undang-undang dan sistem Islam tidak terlaksana.[3]
Hukum
Mendirikan Imamah
Tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa mendirikan sebuah negara adalah suatu hal yang wajib
dilakukan menurut logika akal manusia. Hal ini dikarenakan setiap manusia
adalah makhluk sosial yang sangat saling membutuhkan antara satu sama lain.
Oleh sebab itu dalam membentuk sebuah komunitas masyarakat haruslah ada seorang
pemimpin yang mengatur kehidupan mereka. Nabi bersabda :
اذا
خرج ثلاثة في سفر فليؤمروا أحدهم
Ketika
tiga orang sedang bepergian maka hendaklah satu orang diantara mereka diangkat menjadi pemimpin.
Sedangkan
hukum mendirikan negara para pakar hukum Islam berbeda pendapat. Mayoritas
mereka, seperti dari golongan Ahli Sunnah, Murjiah, Syiah, dan sebagian besar
Mu’tazilah serta Khawarij berpendapat bahwa mendirikan pemerintahan Islam
adalah suatu hal yang wajib. Ibn Hazm mengatakan bahwa dalam diri umat Islam
harus ada sistem pemerintahan yang wajib ditaati. Hal ini tidaklah lain hanya
untuk menegakkan hukum Allah dan pengaturan sistem kemasyarakatan yang
berlandaskan syariat untuk mencapai kemaslahatan.
Dasar-dasar
yang melandasi pendapat golongan ini:
1.
Firman
Allah
ياايهاالذين
أمنوا أطيعواالله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Hai
orang-orang yang beriman taatlah kalian semua pada Allah, Rasulullah, dan Ulil
Amri diantara kamu.
Ibn
Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa yang dikehendaki dari ulil amri
adalah umum untuk seluruh para pemimpin baik penguasa pemerintah ataupun para
ulama.
2.
Hadist
Nabi
من
مات و ليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Barang
siapa yang mati sedangkan dia tidak dalam kekuasaan baiat khalifah maka dia
mati secara jahiliah.
3.
Kosensus
para shahabat dan tabi’in tentang wajibnya imamah. Hal ini bisa dibuktikan
dengan bergegasnya para shahabat untuk membaiat Abu Bakar di Saqifah Bani
Sa’adah sebagai Amirul Mukminin.
Sebagian
kecil ulama mengatakan bahwa hukum mendirikan imamah adalah tidak wajib tapi
cuma mubah. Mereka diantaranya adalah Abu Bakar al Asham dari golongan
Mu’tazilah, Hisyam Al Fuwathi, Ubad bin Sulaiman dari Mu’tazilah, Dhirar, dan
sebagian kecil ulama Khawarij. Al Asham berkata :
لو
تكاف الناس عن التظالم لاستغنوا عن الامام
Seandainya
saja masyarakat bisa meninggalkan perbuatan lalim maka mereka tidak lagi
membutuhkan bentuk pemerintahan.
Golongan
ini sangat berpegang teguh dan mendambakan persamaan hak asasi manusia.
Anggapan mereka sistem pemerintahan sangat bersebrangan dengan konsep persamaan
derajat karena disertai dengan pemaksaan dan penindasan dari penguasa. Kalaupun
imamah diartikan sebagai alat untuk merealisasikan hukum-hukum Islam, maka hal
itu tidak akan mengubah hukumnya menjadi wajib. Karena antara imamah dan
tanfidzul hukmi (realisasi hukum Islam)
adalah dua kutub yang berbeda dan tidak saling berkaitan. Realisasi hukum
syariat harus berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan dari penguasa yang
mendorongnya. Bahkan mereka menganggap adanya imamah akan merusak kemerdekaan
hak asasi manusia dan kebebasan berpikir. Sehingga dengan adanya imamah akan
banyak menimbulkan perselisihan dan perpecahan dalam diri umat Islam.
Pendapat
sebagian kecil ulama ini banyak ditentang oleh para fuqaha ( pakar hukum
Islam). Sebenarnya dampak kemaslahatan yang ditimbulkan dari sistem imamah
lebih besar dari pada kerugianya. Sehingga dalam menarik ulur dua kerugian
haruslah dipilih yang lebih ringan. Bahkan kebebasan sebenarnya yang mencakup
hak asasi manusia dan berpikir akan lebih terkoordinasi dengan adanya imamah
untuk melindungi dan menjaga hak orang lain supaya tidak tertindas.
Dalam
mendirikan negara Islam para ulama berpendapat bahwa dalam penjuru dunia harus
ada satu pemerintah Islam. Islam adalah agama kesatuan dan umatnya harus
berbentuk satu kesatuan yang tidak bercerai berai dan saling bahu membahu.
Rasulullhah bersabda:
اذا
بويع لخليفتين فاقتلوا الاخر منهما
Apabila
telah dibaiat dua khalifah maka perangilah salah satunya.
Oleh
sebab itu mayoritas fuqaha berpendapat bahwa tidak boleh ada 2 imam baik dalam
lingkup satu kawasan ataupun beberapa kawasan. Akan tetapi ada segolongan ulama
seperti imam Haramain, Abu Mansur, al Baghdadi, Abu Shabah as Samarqandi dan
beberapa ulama mutaakhirin mengatakan bahwa ta’adudul imam (banyak imam) dalam
penjuru dunia diperbolehkan. Bahkan menurut imam Zaidiyah ketika batas
teretoriyal dalam sebuah wilayah sudah jelas maka boleh mendirikan pemerintahan
Islam demi untuk menjaga kemaslahatan umat.
[4]
Syarat-Syarat
dan Tugas Imam
Imam
Mawardi memberikan batas-batas seseorang yang boleh menjadi imam, sebagai
berikut:
1)
Islam,
merdeka, laki-laki, baligh, dan berakal.
2)
A’dalah
(adil) yaitu selalu konsisten dalam melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi
hal-hal yang dilarang agama.
3)
Mempunyai
pengetahuan dan pengalaman yang mencukupi
baik dalam masalah keagamaan maupun keduniaan.
4)
Punya
kepribadian yang kuat, pemberani, dan tidak mudah menyerah.[5]
Dalam
memimpin sebuah Negara, seorang imam mempunyai tugas-tugas yang harus
dilaksanakan guna mencapai kemakmuran
Negara dan rakyatnya. Para ulama memberikan cakupan tentang tugas-tugas yang menjadi kewajiban imam.
1.
Menjaga
dan melestarikan hukum-hukum keagamaan, lebih-lebih yang menyangkut aqidah
serta membrantas tindakan-tindakan yang berbau bid’ah dan keluar dari syariat
Islam.
2.
Memerangi
musuh yang mengancam keamanan Negara dan bangsa.
3.
Mengatur
pemasukan dan pengeluaran keuangan Negara, seperti ghanimah, fai’, dan shadaqah
wajib.
4.
Menjaga
keamanan dan keadilan warganya[6]
Tata Cara
Pengangkatan Imam
Ditinjau
dari pendekatan historis, dalam pengangkatan kepala Negara umat Islam mempunyai
beberapa tata cara:
1.
Intikhab (pemilihan langsung)
Tata
cara dengan pemilihan langsung terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dan Ali bin
Abi Thalib. Sejarah telah mencatat bahwa tidak ada orang yang menolak
pengangkatan imam dengan pemilihan langsung. Hanya saja dalam pemilihan harus
diserahkan sepenuhnya kepada Ahlul Halli wal Aqdi.[7]
Ahlul
Halli wal Aqdi adalah suatu lembaga yang beranggotakan orang-orang yang
mempunyai pengetahuan agama, budi pekerti, dan ilmu yang memadai dalam mengatur
masalah-masalah kemasyarakatan. Dalam pemerintahan Islam mereka juga disebut
dengan “Ahlul ikhtiyar” (orang-orang yang bertugas memilih imam dengan
menggantikan hak pilih yang dimiliki rakyat), “Ahlus Syura” (lembaga
permusyawaratan), dan “Ahlut Tadbir” (lembaga yang mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan).[8]
Dalam
menentukan jumlah Ahlul Halli wal Aqdi para ulama mempunyai beraneka ragam
pendapat. Akan tetapi secara subtansial Ahlul Halli wal Aqdi adalah penyambung
lidah rakyat. Sesuatu yang sudah menjadi pilihan dan keinginan rakyat akan
disalurkan dan dimanifestasikan lewat mereka. Oleh sebab itu, syariat dalam
memberi batasan dan memasukkan kriteria-kriteria Ahlul Halli wal Aqdi sangat
ketat. Imam Mawardi memberikan syarat-syarat Ahlul Halli wal Aqdi sebagai
berikut:
a)
A’dalah,
yaitu karakter untuk selalu konsisten menjaga ketaqwaan dan muru’ah (harga diri).
b)
Mempunyai
ilmu yang bisa digunakan untuk mengetahui pribadi seseorang yang berhak menjadi
imam.
c)
Mempunyai
pendapat dan kebijaksanaan dalam mengatur kepemerintahan dan memecahkan
masalah-masalah sosial kewarganegaraan.
Tugas-tugas
Ahlul Halli wal Aqdi:
1)
Memilih
kepala Negara dan membaiatnya (melantiknya)
2)
Mengklasifikasi
para kandidat imam yang sudah memenuhi kriteria.
3)
Memilih
imam yang kelak akan lebih banyak memberikan kemanfaatan dan kemakmuran untuk
umat.
4)
Menurunkan
dan mencopot imam dari jabatanya ketika ada hal-hal yang menyebabkan imam harus
diganti.[9]
2.
Istikhlaf (mencari
pengganti)
Istikhlaf
adalah proses pengangkatan dari imam lama kepada imam baru yang dianggap
memiliki kopetensi dalam memegang dan memimpin sebuah negara dengan mendapat
persetujuan dari Ahlul Halli wal Aqdi. Istikhlaf juga sering disebut dengan al
‘ahdu atau washiat. Dalam sejarah tata cara proses pengangkatan seperti ini
terjadi pada masa khlifah Abu Bakar dalam memilih Umar untuk menggantikanya.
Imam Nawawi dalam Shahih Muslim mengatakan bahwa kaum muslimin telah sepakat
jika seorang khalifah merasa akan mendekati ajal maka dia diperkenankan untuk
mencari pengganti orang lain dengan mengikuti Abu Bakar, atau mengikuti jejak
Rasul dengan tidak mencari pengganti.[10]
3.
Qahru wal Ghalabah (kudeta)
Qahru
wal Ghalabah adalah tata cara proses pengangkatan imam yang tidak disepakati
oleh ulama. Sebenarnya model ke tiga ini adalah tata cara yang tidak dilegalkan
oleh syariat. Akan tetapi hal ini diperbolehkan hanya untuk menjaga kemaslahatan
umat Islam dan menjaga terjadinya pertumpahan darah diantara mereka. Dalam hal
ini imam Syafii mengatakan “barang siapa yang mampu mengkudeta seorang khalifah
walaupun dengan kekerasan dan pedang sedangkan rakyat mengakuinya sebagai
khalifah maka dia bisa dinamakan dengan khalifah”. Hanya saja ketika yang
melakukan kudeta adalah orang kafir maka bagi seluruh umat muslim di negara itu
wajib untuk memeranginya karena syarat beragama Islam selamanya harus dipenuhi
oleh orang yang menjadi imam.[11]
DAFTAR
PUSTAKA
Ad
Damiji, Abdullah ibn Umar, 1409 H, Al Imamah Al U’dzma, Riyadz, Darut
Thibah. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. ENSIKLOPEDI ISLAM. 1999. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru van Hoeve. cet. Ke-4. 5 jil.
http://www.islam.gov.my.
Mawardi,
1960. Ahkamus shultoniyyah. Beirut: Dar al-Fikr.
Zuhaili,
Wahbah, 1997, Al Fiqhul Islami Wa Adillatuh vol 8, Beirut; Darul Fikri.
0 komentar:
Post a Comment