SYEKH H. MOHAMMAD NOER : 9 Tahun Melakukan " Kholwah Suluk Mujahadah"
Ada lagi hal aneh yang beliau katakan,
yaitu tatkala dzikir setiap masuk
keluarnya nafas dalam sehari semalam sebanyak 124.000 selama 7 (tujuh) hari,
dan tidak tahu pasti entah kalimah yang mana. Terus beliau berjalan melalui alam mulki, alam malakut, alam jabarut, alam
barzakh, alam akhirat, dan alam amar,
yang kala itu waktu pingsan. Lalu para santri yang alim-alim bersama membuka
kitab tasawwuf tentang mujahadah sampai mencapai tingkatan
‘auliya’, lalu dicocokkan dengan perjalanan wali
quthub yang terdahulu. Tapi karena belum ada saksi (syahid) yang
mengetahui, maka para sahabat dan santri belum berani mengatakan jika Syekh
Haji Mohammad Noer sudah mencapai derajat Wali
Quthub.
Biografi Bagian - 3
Syekh
Haji Mohammad Noer telah melaksanakan suluk
kholwah mujahadah selama 9 (sembilan) tahun. Tepatnya pada hari Jum’at
tanggal 26 Maulid tahun 1339 Hijriyah (tahun 1919), beliau mengalami pingsan
selama 1 jam 45 menit. Inilah yang dinamakan wushul (sampai) kepada Robbul ‘Izzati yang Maha Pemenang.
Maqom
seperti
inilah yang dinamakan maqom ma’rifah
musyahadah bil ayani, sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitab Kifaayatul Adzkiya’ pada bait ke-8
yaitu :
“Hakekat
ialah sampainya salik kepada yang dituju dan bersaksi (melihat) akan adanya Nur
Tajalli (Allah), melihatnya dengan jelas, dan itulah nikmat yang paling agung”.
Selanjutnya dalam Kitab Al-Hikam pada
halaman 74 disebutkan bahwa pingsannya beliau selama 1 jam 45 menit dinamakan “Salikina”
atau “Majdubina”.
Para hamba Allah SWT yang sudah wushul
(sampai) kepada Allah dibagi menjadi 2 bagian.
Pertama yang dinamakan Salikiin,
yaitu ialah mereka yang mengambil dalill setelah melihat suatu kekuasaan Allah,
dan mereka berkata,“Saya melihat Allah
SWT sesudah saya melihat sesuatu kekuasaan Allah”.
Kedua yang dinamakan Majdubiin,
yaitu mereka yang mengambil dalil sebelum melihat sesuatu kekuasaan Allah dan
mereka berkata, “Saya melihat Allah SWT
sebelum saya melihat sesuatu kekuasaan Allah”.
Kemudian para
ulama dan para santri yang alim-alim membuka kitab tasawwuf tentang mujahadah
sampai mencapai ‘auliya. Hal itu dicocokkan dengan perjalanan Syekh Haji
Mohammad Noer yang ternyata sama dengan perjalanan para auliya’ quthub yang terdahulu, tapi karena belum ada syahid (saksi yang kuat), maka para
sahabat dan santrinya belum berani mengatakan jika beliau sudah mencapai
derajat wali quthub.
Para ulama yang bersangkutan memberikan
klasifikasi tingkatan iman sebagai berikut :
1. Iman orang mukmin sewaktu masih ulama yang
imannya yaqiin 2. Kalau mujahadah Syekh Haji Mohammad Noer pada masa 6 (enam) tahun itu maqom muraqabah dan imannya ‘ainul yaqiin dan suluknya dinamakan Suluk Abrar. 3. Pada masa 3 (tiga) tahun disebut maqam musyahadah dan imannya haqqul yaqiin dan suluknya Suluk Muqarrobin 4. Setelah
Inkisyaf namanya maqam istighraq dan imannya dinamakan haqiiqatul yaqiin. Yang dimaksud dengan istighraq fana artinya ialah telah hilang sifat madzmumah (tercela), lalu istighraq baqa’ artinya adalah telah
menetapnya sifat mahmudah (terpuji)
yang sudah smpai di hadapan Allah SWT karena terbawa kalimat thoyyibah. Amal sholeh telah sampai di
alam amar yaitu alam yang tidak ngalaf
jihat (arah) utara, barat, selatan dan timur serta seterusnya karena Allah
SWT itu ngalaf arah, tidak ngalaf
tempat ruang dan waktu.
Kalimat
thoyyibah dan amal sholeh beliau naik dengan membawa 4 (empat) ruh sebagaimana
firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik
dan amal yang sholeh menaikkan-Nya”.
1.
Ruh Robbani
2.
Ruh Rohani
3.
Ruh Idhofi
4.
Ruh Jasmani
"Dan apabila mereka bertanya kepadamu
tentang ruh, katakanlah (bahwa) ruh itu termasuk
urusan Tuhanku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentang ruh) melainkan sedikit “.
Selanjutnya tidak
ketinggalan Syekh Haji Mohammad Noer mengatakan kepada Kiai Abdul Hadi Shiratol
Mustaqim sebagai berikut :
“Hai,
Abdul Hadi, inilah ilmu ilham, tulislah alif,
dza’, dal (1 - 7- 4) dan seterusnya”. Beliau mengatakan itu jelas berada di
Lauhul Mahfudz dengan memakai angka alif, dza’, dal yang mempunyai makna :
·
1 Artinya Gusti Allah yang Maha Esa atau
Tunggal.
7 Artinya sifat Allah yang ma’ani yang ada 7 (tujuh) yaitu Kodrat, Irodat, ‘Ilmu, Hayat, Sama’,
Bashar dan Kalam
4 Artinya fi’il Gusti Allah yang ada 4 (empat) yaitu Jisim, Jirim, Jauhar, dan ‘Arodh.
Karena Ruh Robbani-Nya beliau melihat Nur Tajalli atau Allah SWT dengan nyata,
maka beliau senantiasa :
1. Rino wengi (siang dan malam) cinta
kepada Allah SWT
2. Rino wengi (siang dan malam) senang
kepada Allah SWT
3. Rino wengi (siang dan malam) rindu
kepada Allah SWT
Ibarat
orang yang layaknya bepergian yang datang membawa buah tangan, sama halnya
dengan orang yang pergi menuntut ilmu tentu pulang membawa ilmu, bahkan orang
yang pergi undangan walimahan (pernikahan) pulangnya membawa nasi berkat. Apalagi orang yang
menghadap Yang Maha Rahman oleh-olehnya tentu sangat istimewa.
Setelah beliau wushul (sampai) pada
Allah SWT Syekh Haji Mohammad Noer melaksanakan Suluk Mujahadah selama 9 (sembilan) tahun dengan oleh-oleh Ilmu Mukashafah atau Ilmu Ilham yang berupa :
13
|
3
|
3
|
4
|
3
|
|
7
|
3
|
14
|
4
|
5
|
|
15
|
6
|
15
|
6
|
||
4
|
8
|
4
|
3
|
30
|
50
|
Oleh-oleh
atau “berkat” tersebut merupakan tulisan dengan cara ringkas dari beratus-ratus
kalimat, beribu-ribu huruf yang diringkas hanya seperti itu dan beliau
mengatakan harus diamalkan dan dibaca dengan artinya sekali. Misalnya angka 3
(tiga) dibaca dengan maknanya atau 5 (lima) juga harus berbunyi 5 (lima) dengan
maknanya sekali. Dan ini tugas dari yang memberi yaitu Syekh Haji Mohammad
Noer, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 79
yang artinya :
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya”
Adapun Ilmu Mukashafah atau Ilmu Ilham tersebut telah tersusun
menjadi sebuah buku yang dinamakan “ Bait Dua Belas “. Pada setiap
tahun tanggal 26 Maulid selalu diadakan peringatan turunnya karomah dan
wafatnya (khoul) beliau.
Ada sebuah
kisah menarik yaitu seorang ahli wirid di Mekkah Al-Mukarromah yang bernama
Sayyid Hasan. Dikisahkan tatkala beliau suntuk i’tikaf di bawah Talang Mas di Baitullah dengan memohon petunjuk
kepada Allah SWT sehubungan dengan banyaknya berbagai aliran agama, dan aliran
manakah yang akan diikutinya. Maka selanjutnya Sayyid Hasan bermimpi dijumpai
Rasulullah SAW bersama seseorang yang mengikuti di belakangnya sampai begitu
jelas rupanya, tubuhnya, pakaiannya, tempat tinggalnya, kolamnya yaitu ternyata
Syekh Haji Mohammad Noer.
Lalu Rasulullah SAW berkata sambil menunjuk kepada
orang yang mengikutinya.
“Ya, ini
zaman yang haq kamu ikuti, dan orang inilah yang harus kamu cari di Tanah Jawa
– Indonesia”. Lalu Sayyid Hasan-pun terbangun.
Sesudah itu kemudian Sayyid Hasan bermusyawarah
dengan Sayyid Abdurrahman menyampaikan tentang mimpinya yang berjumpa dengan
Rasulullah SAW.
Sayyid Abdurrahman mengatakan wajib mencari dan
mendatangi orang itu serta memperhatikan (ucapannya). Kemudian juga wajib
pasrah kepada orang itu karena merupakan hak dari wali quthubul ghouts.
Maka
kemudian Sayyid Hasan berangkat menuju Indonesia bersama dengan Sayyid
Abdurrahman. Sampai di Surabaya beliau istirahat di rumah saudaranya yang juga
berasal dari Mekkah, dengan memberikan penjelasan tentang mimpinya. Sayyid
Hasan juga mendengar kabar bahwa di Desa Kemuningsari Lor Panti Jember ada
seorang Kiai yang baru terbuka karomah-nya. Maka Sayyid Hasan segera bergegas
berangkat menuju timur ke tempat yang bernama Desa Kemuningsari Lor untuk
membuktikan.
Sampai
di Desa Kemuningsari Lor, begitu masuk persis dan pas seperti apa yang
tergambar dalam mimpinya ketika di bawah Talang Mas (Baitullah).
Kebetulan waktu itu Syekh Haji Mohammad Noer sedang
keluar dari mesjid, lalu menengok ke arah selatan terlihatlah Sayyid Hasan dan
Sayyid Abdurrahman yang sedang berada di bawah pohon mangga (kuweni) yang
terletak di sebelah selatan kolam.
Kebetulan pada waktu itu di rumah beliau banyak tamu
yang datang, maklumlah beliau sudah sangat kesohor di mana-mana. Bahkan banyak
yang menyangka beliau adalah seorang dukun atau klenik.
Setelah kedua tamu itu sampai di muka mesjid dan
beliau turun menyambut, maka kedua tamu jauh itu member salam. Beliaupun
menjawab serta mengucapkan kalimat “Marhaban,
marhaban bil akhissholih”. Kemudian mereka bersalaman dan sang tamu asing
itu merangkul dengan akrab sambil mengatakan “Hadza maulanal waliyyus syahiiru wal quthbul kabiir”, sambil masuk
ke dalam rumah.
Dengan
peristiwa itu Sayyid Hasan yang mengetahuinya dan para ulama yang bertamu di
Pesantren Kemuningsari Lor juga ikut menyaksikan, maka selanjutnya para ulama
dan para santri yang alim bersama-sama membuka kitab tentang auliya’. Ternyata
Syekh Haji Mohammad Noer dengan memulai khalwah
suluk mujahadah sama persis dengan method para wali quthub
auliya’yang terdahalu.
Kemudian para ulama yang ada di pondok berani
mengatakan dan menyimpulkan hak wali quthubul ghouts, karena fenomena itu
memberikan tanda dan isyarat yang tepat. Lalu para santri bersama-sama dengan
berani menulis dan mengatakan quthubul
ghouts.
Oleh karena itu tidak mudah mengatakan waliyullah,
bahkan kalau tidak hati-hati akan menyimpang dari Kitab Al-Qur’an, Al-Hadits
dan Ijma’ tentang auliya’.
Juga
perlu diteliti dan dicocokkan dengan asal mula orang yang sudah dikatakan
sebagai wali seperti yang pernah dibahas, karena masalah turunnya kewalian
seperti dalam Bait Dua Belas pada Kitab
Fathul Arifina Billah menyebutkan tentang sifat-sifat auliya’ ada sebelas
yaitu kekasih Allah, terpelihara dari
perbuatan maksiat, berserah diri pada Allah, berbakti pada Allah dengan tidak
putus-putus, memastikan akan adanya dzat Allah, tahu sifat Allah, tahu fi’il
Allah, tahu nama-nama Allah, mengikuti ajaran Rasulullah, dan semua yang terjadi di dunia diberi tahu oleh
Allah.
Setelah
peristiwa kedatangan dua orang ulama dan mursyid dari Mekkah yang kemudian
memberikan kesaksian, maka para alim ulama dan para santri telah berani
mengambil keputusan dan kesimpulan dengan menyatakan secara tertulis bahwa
Syekh Haji Mohammad Noer adalah seorang wali dengan derajat quthubul ghouts yang memperoleh karomah Bait
Dua Belas.
Sehingga dengan adanya pernyataan secara terbuka
inilah menyebabkan terjadinya pro dan kontra serta opini yang ditanggapi secara
beragam. Ada yang mengatakan bahwa faham yang dibawa Syekh Haji Mohammad Noer
adalah sesat dan dianggap kontroversial. Bahkan ada yang langsung mengikuti
pengajian beliau dengan mengkaji Bait Dua Belas.
Adanya dua pendapat
yang bertentangan dan menjurus pada polemik berkepanjangan menyebabkan
perdebatan yang berujung pada ketegangan (mujadalah) termasuk di kalangan ulama
sendiri. Untuk menghindari ketegangan itu dicarilah solusi yang diprakarsai
oleh KH. Muzayyin Rambipuji dan KH. Wahab Hasbullah Surabaya (Pengurus PBNU)
dengan mengundang dialog Syekh Haji Mohammad Noer guna mengklarifikasi (tabayyun) tentang ajarannya.
Acara
dilaksanakan pada tahun 1933 di Kantor Kawedanan Rambipuji Jember yang pada
waktu itu Said Hidayat menjabat sebagai Wedana. Sidang dimulai pada pukul 08.00
pagi yang disaksikan juga oleh Kontaralir/Bupati Jember dan 173 ulama dari
berbagai daerah di Pulau Jawa.
Pada pembukaan sidang yang langsung dipimpin oleh
Kontaralir Jember (istilah untuk Bupati kala itu) telah disampaikan perkataan
seperti berikut.
“Saudara
Kiai, anda diminta untuk menjelaskan ajaran dalam kitab Bait Dua Belas. Kalau
saudara ternyata tidak mampu memberikan argumen yang bisa
dipertanggungjawabkan, maka saudara tidak boleh lagi mengajarkan kitab itu,
atau akan kami musnahkan”.
Dalam sidang
tersebut Syekh Haji Mohammad Noer dapat menjelaskan semua pertanyaan yang
diajukan kepadanya dengan sangat jelas, lugas dan meyakinkan. Sehingga sidang
memutuskan bahwa ajaran beliau tidak bertentangan dengan syara’ maupun sunnah
Rasulullah SAW.
Setelah
“pengadilan” itu usai, Syekh Haji Mohammad Noer pulang kembali ke rumahnya
dengan diantar oleh Wedana Rambipuji Said Hidayat dan tiba pukul 18.00.
Sebelum beliau tiba kembali keluarga di rumah, para
sahabat dan para santri merasa khawatir sekali karena orang yang mengantar
beliau naik dokar yaitu Pak Sadeli telah pulang terlebih dahulu pada pukul
10.00 siang. Kemudian beliau ditunggu mulai habis sholat Dzuhur sampai dengan
habis sholat Ashar juga tidak kunjung tiba, sehingga semua yang menunggu jadi
was-was.
semuanya berjalan dengan lancer dan pengajian Bait
Dua Belas tidak dipermasalahkan.
Sementara
klarifikasi dan dialog tentang Kitab Bait Dua Belas terus bergulir terus karena
disebabkan oleh 3 (tiga) hal yaitu bahasanya
yang unik, model sistem bacaannya, dan
predikat sebagai ilmu ilham.
Adapun klarifikasi dan dialog terjadi lagi yaitu di
Banyuwangi antara Kiai Imam Puro (sahabat beliau) dengan beberapa ratus kiai
dan ulama. Kemudian klarifikasi dari KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim selaku sekretaris beliau
yang dipanggil oleh Menteri Agama dan Ajudan Presiden Bapak Soegandhi di Jakarta pada tahun 1961. Klarifikasi ini
merupakan puncak dari perdebatan dan opini karena Menteri Agama telah
menerbitkan sertifikat dan rekomendasi tentang keabsahannya yang terdaftar
di Departemen Agama RI Bagian “K” Kepala
Seksi IV pada tanggal 14 Pebruari 1961 sebagai Keluarga Besar Arifin Billah
dengan Ilmu Mukashafah yang diberi
nama Bait
Dua Belas.
Setiap hamba
Allah atau manusia yang dikasihi oleh Allah SWT diberi keistimewaan
–keistimewaan yang berbeda tergantung pada tingkat keimanan dan ketaqwaan,
serta amal ibadah dan amal sholeh juga tingkat kesabaran dan keikhlasannya.
Keistimewaan-keistimewaan yang diberikan oleh Allah
kepada hamba-Nya yang dikasihi, sehingga akal manusia tidak mampu untuk
memikirnya. Di antaranya adalah para Nabi yang diberi mukjizat, para wali oleh Allah yang diberi karomah, para ulama yang diberi ma’unah
dan para orang awam yang diberi assidqu
(keterampilan dan kelebihan).
Adapun
pengertian karomah dalam Kitab Ushul
Auliya’ halaman 160 disebutkan :
“Dan adapun beberapa para wali adalah suatu
anugerah atau kemuliaan dari Allah Ta’ala memberikan sesuatu yang luar biasa
dan menyimpang dari adat kebiasaan”.
Tentang
terjadinya karomah pada seorang wali adalah bersifat jaiz, namun bagi para ahli ilmu dan ahli ma’rifat dapat dibuktikan
guna membedakan antara wali yang benar dengan orang-orang yang mengaku-ngaku (pembohong)
dan telah mengetahui (ma’rifat) kepada Allah SWT.
Adapun beberapa
karomah Syekh Haji Mohammad Noer antara lain :
1. Kemampuan
dapat menjalankan ibadah sholat berjamaah pada awal waktu sampai akhir
hayatnya.
2. Dapat
mengetahui hal-hal yang disembunyikan oleh seseorang
3. Terbukanya
kalam nafsi bumi dan seisinya sehingga mengerti bahasa semua binatang,
tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan di
awal.
4. Mengetahui
saat masuknya waktu-waktu sholat fardhu 5 waktu maupun sholat sunnah karena
waktu itu sendiri yang akan memberitahukan. Misalnya sholat fardhu waktu
dhuhur, “Assalamu’alaikum saya adalah dhuhur”. Begitu juga sholat sunnah waktu
tahajjud “Assalamu ‘alaikum saya adalah tahajjud” dan lain-lainya.
Maka beliau tidak menggunakan jadwal
waktu sholat atau jam karena waktunya datang sendiri untuk memberitahukan.
5. Suatu
kisah pada waktu musim kopi tiba, banyak orang kampung yang menjual kopi hasil
panen kepada Nyai Munirah (istri Syekh Haji Mohammad Noer). Hingga suatu saat
sampai mencapai 9 karung banyaknya. Karena banyaknya kopi yang dibeli dari
masyarakat, ada orang yang melaporkan kepada Sinder dan Asisten Sinder Perkebunan
milik Belanda. Ditengarai kopi itu merupakan kopi hasil curian dari laha kebun,
maka rumah beliau didatangi oleh 3 (tiga) orang yaitu Sinder, Asisten Sinder
dan Pelapor. Mereka menggeledah rumah dengan menusuk-nusuk 9 karung kopi itu.
Namun ternyata yang tampak adalah kacang tanah, dan Sinder itu berkata, “Bapak
Kiai koq banyak kacangnya ?”. Beliau menjawab dengan enteng, “Iya, ini
anak-anak santri yang baru panen”. Alhasil kopi dalam karung itu memang tampak
seperti kacang tanah di mata mereka.
6. Memperoleh
Ilmu Ilham dari Allah SWT berupa Bait Dua Belas dan inilah yang
dianggap oleh para sahabat Syekh Haji Mohammad Noer sebagai karomah terbesar.
Pada tahun 1946 beliau wafat di usia 138
tahun, suatu usia yang amat panjang dan telah dimanfaatkan untuk ibadah dengan
menjauhi kehidupan duniawi. Kepergiannya diiringi oleh ribuan umat yang
mengantar sampai ke peristirahatan terakhirnya di komplek Pondok Pesantren
Nahdlatul Arifin Desa Kemuningsari Lor Kecamatan Panti Kabupaten Jember.
Dengan kepergiannya maka
suasana pondok berubah menjadi sepi, tidak banyak lagi tamu yang menimba ilmu
dan bertukar fikiran atau meminta sawab
beliau.
Untuk mengembalikan suasana seperti
semula, maka para santri, sesepuh dan kerabat pesantren bermusyawarah agar
setiap tahun diadakan pertemuan atau reuni para alumni, jama’ah dan simpatisan
beliau. Waktunya ditetapkan sesuai dengan turunya karomah beliau yang terbesar
yaitu Bait Dua Belas tepatnya setiap tanggal 26 Maulid.
Reuni
ini diprakarsai oleh 4 (empat) orang kiai yaitu Kiai Muksin, Kiai Sudja’i, Kiai
Sanwani dan Kiai Djajadi. Reuni dan peringatan itu telah disepakati oleh karib
beliau yaitu Syekh Haji Abdul Hadi Shiratol Mustaqim Curah Bamban Kecamatan
Tanggul.
Reuni
atau pertemuan ini berlangsung setiap tahun tiap tanggal 26 Maulid yang sampai
sekarang dikenal dengan nama Peringatan
Hari Ulang Tahun Karomah Syekh Haji Mohammad Noer RA.
Acara ini selalu ramai, gegap gempita dan
meriah sekali karena diikuti oleh ribuan jama’ah dari berbagai penjuru tanah
air dan negeri jiran.
Adapun tentang riwayat Syekh Haji Abdul
Hadi Shiratol Mustaqim adalah seorang ulama sahabat yang sangat luas ilmunya.
Beliau dilahirkan di Desa Pengadikan Kecamatan Rogojampi Banyuwangi.
Beliau
banyak mengenyam pendidikan di berbagai pesantren Pulau Jawa dengan mondok di
satu tempat dan berpindah ke tempat lainnya.
Pada
tahun 1908 beliau menimba ilmu di Pesantren Demangan Bangkalan Madura yang
diasuh oleh ulama besar KH. Mohammad Kholil (sekarang Pondok Pesantren
Syaikhona Kholil Demangan Bangkalan).
Ketika beliau hendak mudik dari Bangkalan
ke Lumajang (mengikuti pamannya tinggal di Lumajang), Kiai Shiratol Mustaqim
mendapat beberapa pesan dari KH. Mohammad Kholil yang sebagian di antaranya
disampaikan oleh beliau.
“Dengarkan, ada di daerah Ning- ning Jember
seorang Kiai tapa lamanya 9 (sembilan) tahun, Allah telah mengangkat derajatnya
sebagai Sulthanul Auliya’il Quthub,
sowanlah kamu ke sana sebab ilmu ilhamnya tanpa kamu tidak akan tersebar luas”.
Pesan dari gurunya itu kemudian
dilaksanakan dengan niat akan menemui ulama yang dimaksud. Sebelum ke Jember beliau
terlebih dahulu beliau singgah di Mesjid Ampel Surabaya, kemudian naik kereta
api jurusan Surabaya – Lumajang. Di Lumajang terlebih dulu mampir di Desa
Serbet di rumah pamannya (Jawa Pakde) yaitu Kiai Said.
Kiai
Shiratol Mustaqim berkeinginan mempelajari Tarekat
Naqsyabandiyah namun belum menemukan guru (mursyid) yang sesuai hatinya.
Hal itu disampaikan pada pamannya tentang keinginan belajar tarekat. Terjadi
diskusi dan dialog antara KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim dengan Kiai Said
tentang bagaimana dengan sifat-sifat dan figur guru spiritual tarekat.
Kiai Said memberikan deskripsi tentang
seorang guru tarekat menurut pengalamannya ketika berguru pada Syekh Haji
Mohammad Noer di Kemuningsari Lor.
Selain
itu dijelaskan bagaimana guru (mursyid) beliau adalah orang yang ahli puasa,
tidak ada puasa sunnah yang ditinggalkan, utamanya amalan wajib.
Dikisahkan,
untuk mewejang murid-muridnya sang guru menggali lobang sebanyak 40 (empat
puluh) liang, dan satu persatu para santri tersebut masuk ke dalamnya selama 40
(empat puluh) hari. Mereka tidak boleh keluar kecuali buang air atau ada orang
yang meninggal dunia. Tatkala dibaiat para santri diberi notes (catatan) untuk
mencatat dzikir yang kurang bilangannya, harinya, tanggalnya dan bulannya.
Semuanya harus dicatat sebab dzikir kalimah toyyibah (La ilaha illallah) dan harus dibaca sebanyak 124.000 kali dalam
satu hari satu malam.
Setelah sampai 40 hari guru mursyid
tarekat memerika satu persatu catatan para santrinya. Ternyata setelah dibuka
ternyata tidak ada satupun murid yang memenuhi dzikirnya. Hari pertama punya
hutang, hari kedua punya hutang, dan seterusnya punya hutang. Kemudian guru
mursyid itu mengatakan :
“Kalian
semua punya hutang kepada Allah, sebab kalian akan menepati janji kepada saya.
Sebagai guru kalian, biarlah saya yang bertanggung jawab dan melunasi hutang
dzikir kalian pada Allah. Selanjutnya kalian diperbolehkan keluar dari lobang
dan bersyukurlah kepada Allah. Tanda-tanda bersyukur itu ada 3 (tiga) yaitu :
bersyukur hati yaitu selalu ingat, cinta, rindu dan dzikir pada Allah.
Bersyukur anggota badan, yaitu badan kita digunakan untuk perbuatan yang sholeh
dan diridhoi Allah. Bersyukur harta yaitu mengeluarkan zakat dan shodaqah”.
Para murid lalu pulang ke rumahnya untuk
mengadakan tasyakuran 40 hari baiat mereka. Selanjutnya banyak yang memotong
ayam, membeli ikan dan sebagainya Setelah masak makan dibawa ke serambi pondok
untuk acara makan bersama.
Untuk
pembacaan do’a para santri mengundang gurunya untuk pembacaan doa. Sang Kiai
berpesan selama pembacaan do’a haruslah khusyu’, tawaddhu’ dan mantap dalam membaca
lafaz “amiin”.
Pada saat guru mursyid itu membaca do’a
pada pertengahan terjadilah keajaiban yaitu ikan-ikan dan ayam yang dimasak
semuanya hidup kembali sambil menyerukan kalimat “La ilaha illalah, Muhammadur rasulullah, Syaikh Abdul Qadir Jailany
waliyullah”.
Kemudian
selanjutnya ikan-ikan dan ayam itu kembali dalam bentuk semula menjadi lauk
pauk. Selanjutnya Sang Mursyid memerintahkan kepada para murid untuk menyantap
makanan sampai habis. Selanjutnya para murid disuruh pulang ke rumah dengan
bersilaturrahim dan minta maaf seperti pada waktu hari raya termasuk juga menyampaikan
salam dari Sang Mursyid.
Sesudah mengisahkan pengalamannya
berguru, Kiai Said kemudian menangis dan merasakan rindu pada gurunya. Beliau
kemudian mengambil buku dan diserahkan kepada Kiai Shiratol Mustaqim dengan
berpesan agar mencari guru tarekat seperti yang ada di buku tersebut.
Setelah banyak memperoleh masukan tentang
ajaran auliya’ itu selanjutnya beliau melanjutkan perjalanan mencari mursyid
tarekat.
Beliau
telah lama berkelana menemui sekitar 14 orang ulama atau kiai tarekat dari
berbagai aliran seperti Naqsyabandiyah,
Qodiriyyah, Syadzaliyyah, Syattariyah, Tijaniyyah, Ghozaliyyah, Umariyyah,
Ahmadiyyah dan lain-lainnya. Namun dari semua ulama tarekat itu juga tidak
ada yang pas atau cocok dengan Kiai Said. Kiai Said menyerahkan sebuah catatan
kepada beliau agar kelak diberikan pada guru yang akan didatanginya.
Setelah beberapa tahun, ada seorang teman
KH. Abdul Hadi Shiratol Mustaqim yang datang menyampaikan berita tentang
kehebatan Syekh Haji Mohammad Noer yang konon dapat terbang ke angkasa sampai
menyelam dan menembus 7 lapis bumi. Tentu saja Kiai Shiratol Mustaqim marah
karena cerita itu dianggap membual dan berlebihan. Orang itu ditegur oleh
beliau dan disuruh bicara yang benar atau kalau tidak bisa diam saja. Maka
orang itupun terdiam dan menurut karena beliau tidak suka.
Kiai
Shiratol Mustaqim tahu cerita itu hanya terdapat dalam kisah pewayangan (Kitab Mahabharata)
di mana yang bisa terbang hanya Gatotkaca dan yang menyelam ke bumi hanya Antasena.
Keduanya adalah anak dari Werkudara atau Bratasena yang merupakan putra dari
Raden Pandu Dewanata.
Namun setelah si tamu pulang, Kiai
Shiratol Mustaqim merasa gemetar, hatinya menjadi gundah dan takut. Bulu
romanya berdiri, beliau telah merasa bersalah melakukan dosa ghibah, suatu dosa menurut pandangan Islam yang besarnya 30
kali perbuatan zinah. Beliau sangat menyesal, rasa sesal yang menghantuinya sampai
terbawa tidur dan beliau bermimpi berada di tengah sawah sambil merawat tanaman
padi di bawah terik sinar matahari yang panas menyengat.
Beliau terperanjat dan terbangun, namun
masih tetap merasakan sengatan sinar matahari di sekujur badannya. Peristiwa
itulah yang mendorong hati sanubarinya untuk mencari dan sowan kepada Syekh
Haji Mohammad Noer. Maka dengan segera beliau berangkat dengan naik kereta api
dari Lumajang dan turun di Stasiun Petung, kemudian dilanjutkan dengan jalan
kaki menuju Desa Kemuningsari Lor. Tiba di kediaman Syekh Haji Mohammad Noer
saat sholat Ashar tiba, beliau mendekati Syekh Haji Mohammad Noer sambil
menyerahkan sebuah buku catatan.
Selanjutnya
wali quthub itu menerima buku itu
sambil dibuka dengan mengatakan,
“Di zaman sekarang ini kamu tidak bisa
mengamalkan seperti ini” (beliau tidak mengizinkan mengamalkan ajaran Tarekat Naqsyabandiyah) dengan alasan tidak cocok dengan tarekat
beliau serta bukan merupakan hasil ijma’
para ulama.
Beliau
kemudian disuruh menetap di pondok Syekh Haji Mohammad Noer selama 40 (empat
puluh) hari dengan harus mengikuti prilakunya dengan niat mujahadatan nafsi (memerangi hawa nafsu), sholat berjamaah dengan
awal waktu, jangan sampai akhir takbiratul
ihram-nya imam membaca.
Selanjutnya beliau melaksanakan beberapa
ritual ibadah seperti sholat sunnah seperti sholat
daur (sholat ideran), mandi taubat
nubati, berwudhu, mandi dan menyelam di kolam 11 kali dengan menahan nafas,
sholat tahiyatul masjid, sholat taubat, sholat hajat, sholat
istikharoh, dzikir, membaca
surat-surat Al-Qur’an, do’a tawassul, dll.nya.
Selama mulazamah di Kemuningsari Lor Kiai Shiratol Mustaqim diberi wewenang
untuk mencatat ilmu ilham yang diberi nama Bait Dua Belas. Sehingga timbul
keyakinan bahwa benarlah bahwa Romo Yai (Syekh Haji Mohammad Noer) adalah
waliyullah dan ma’rifatnya adalah hakekat yang merupakan realita bukan
mengada-ada dengan melihat sendiri kepada Allah Azza Wajalla.
Selain
itu Kiai Abdul Hadi Shiratol Mustaqim juga mencatat riwayat Syekh Haji Mohammad
Noer, dari keterangan teman-temannya sebelum beliau berada di Kemuningsari Lor
yang kemudian diserahkan dan disetujui oleh RomoYai.
Demikian sekilas riwayat KH. Abdul Hadi
Shiratol Mustaqim, untuk lebih jelasnya bisa dibaca dalam Kitab Fathul Arifina Billah, yang menerangkan tentang
riwayat-riwayat, penjabaran Bait Dua Belas, dan aurod-aurod yang diwejang oleh Syekh
Haji Mohammad Noer.
KH.
Abdul Hadi Shiratol Mustaqim meninggal dunia tanggal 1 Juli 1970 pada usia 90
tahun di Curah Bamban, Tanggul.
Beliau
adalah ulama besar yang kharismatis serta sulit dicari tara bandingannya
apalagi pada masa sekarang. Mungkinkah pada saatnya nanti akan muncul kembali
ulama besar sekaliber beliau berdua, mengingat sekarang banyak para ulama sudah
kehilangan pamor dan sawab-nya karena jatuh pada gelimang duniawi ? Wallahu alam bissawab.
Disusun oleh : Zainollah, S.Pd (Koordinator Forkom Bhattara Saptaprabhu)
0 komentar:
Post a Comment