Masalah
ini sebenarnya adalah masalah khilafiyyah di kalangan para ulama. Maka wajarlah
bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkan menutup
seluruh tubuh termasuk wajah dengan didukung sederet dalil dan hujjah. Namun
kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa boleh membuka wajah
dan kedua telapak, ada juga yang menambahkan dengan boleh membuka kedua kaki, pendapat
yang ini pun biasanya diikuti dengan beberapa dalil dan hujjah juga.
Merupakan rahmat Allah Subhanahu
wa Ta'ala bahwa perbedaan pendapat seperti ini tidak terlarang dan
bukan perbuatan dosa, dan orang yang keliru
dalam berijtihad
ini dimaafkan bahkan mendapat pahala satu. Bahkan ada orang yang
mengatakan, "Tidak ada yang salah dalam ijtihad-ijtihad
furu'iyah ini, semuanya benar."
Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik juga sering berbeda pendapat
antara yang satu dengan yang lain mengenai masalah-masalah
furu' (cabang) dalam agama, namun mereka tidak menganggap hal itu sebagai
bahaya. Mereka tetap bersikap toleran, dan sebagian mereka shalat di belakang
sebagian yang lain, tanpa ada yang mengingkari.
Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama
nash-nashnya sendiri yang merupakan sumber penggalian
hukum masih menerima kemungkinan perbedaan pendapat
tentang periwayatan dan petunjuknya, selama pemahaman dan kemampuan
manusia untuk mengistimbath (menggali dan mengeluarkan) hukum masih
berbeda-beda, dan sepanjang masih ada kemungkinan untuk
mengambil zhahir nash atau kandungannya,
yang tersurat atau yang tersirat,
yang rukhshah (merupakan keringanan) ataupun yang 'azimah (hukum asal),
yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.
Dalam
buku ini, penulis mencoba berusaha menelusuri masing-masing pendapat itu dan
berkenalan dengan dalil masing-masing dan juga bagaimana mereka memahami teks
suatu dalil. Sehingga dapat memberikan wawasan dalam memasuki wilayah ini, bukan
berarti memperuncing titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk
memberikan gambaran yang lengkap tentang dasar kedua pendapat ini. Agar tetap bisa
berbaik sangka dan tetap menjaga hubungan baik dengan berbagai pihak.
Sebelum
memaparkan dalil-dalil tersebut, alangkah baiknya jika disebutkan terlebih
dahulu kesepakatan antara mereka, sehingga memperjelas nantinya inti perbedaan
dari pendapat-pendapat tersebut.
1.
Para Ulama sepakat bahwa seluruh tubuh wanita selain
wajah, kedua telapak tangan, pergelangan tangan dan kedua kaki adalah wajib ditutup.
Sebagian
Fuqaha’ menghikayatkan adanya kesepakatan atas wajibnya wanita menutup seluruh
tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangan.
Ibnu
Hazm mengatakan:
واتفقوا على أن شعر الحرة وجسمها حاشا وجهها ويدها عورة
“Mereka
sepakat bahwasanya rambut dan tubuh wanita merdeka kecuali wajah dan tangannya
adalah aurat” [1]
Hikayat tentang kesepakatan
yang disebutkan oleh Ibnu Hazm ini masih dapat dibantah karena adanya perbedaan
pada masalah pergelangan tangan dan kedua kaki menurut salah satu riwayat dari
madzhab hanafi, yang insya Allah akan dipaparkan setelah ini.
Adapun mengenai rambut, tidak
ditemukan pendapat yang membolehkan untuk ditampakkan. (sepengetahuan penulis).
Sebagaimana disebutkan oleh ulama
hanafiyyah dalam Al-Fatawa al-Hindiyah, rambut adalah aurat.[2]
Disebutkan
juga dalam Ahkam al-Quran yang ditulis oleh al-Jashshash :
لا خلاف في أن شعر العجوز
عورة لا يجوز للأجنبي النظر إليه كشعر الشابة
“Tidak ada perbedaan, bahwa rambut perempuan tua adalah aurat,
tidak boleh bagi laki-laki ajnabi memandangnya sebagaimana rambut wanita muda.”[3]
Dengan
demikian, maka yang shahih bahwa Fuqaha’ tidak berbeda pendapat dalam wajibnya
menutup rambut dan seluruh tubuh wanita selain dari wajah, kedua telapak
tangan, kedua pergelangan dan kedua kaki.
2.
Para Fuqaha’ sepakat atas wajibnya wanita menutup wajah,
kedua telapak tangan, kedua pergelangan dan kedua kaki jika ditakutkan adanya
fitnah dan pandangan dengan syahwat. Kecuali satu qaul dari al-Qadhi ‘Iyadh
dalam madzhab malikiyah yang berlainan dengan pendapat madzhab malikiyah yang
masyhur. Yang mengatakan: “Bahwasanya yang demikian tidak wajib bagi wanita
tetapi bagi laki-laki ia harus menundukkan pandangannya.”[4]
3.
Terjadinya perbedaan pendapat
di kalangan Ulama mengenai wajibnya wanita menutup wajah, kedua telapak tangan,
kedua pergelangan dan kedua kaki di hadapan laki-laki ajnabi ketika tidak ada
kekhawatiran adanya timbulnya fitnah, yang insya Allah akan diuraikan berikut
ini.
Pendapat Pertama : wanita
wajib menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Pendapat
ini di antaranya menurut Ulama Hanafiyyah[5],
Malikiyyah,[6]
salah satu pendapat dari madzhab Syafi’iyah khilaf ash-shahih al-mufta bih
(yang berlainan dengan pendapat yang shahih dan telah difatwakan)[7] dan
salah satu riwayat khilaf al-madzhab (yang berlainan dengan pendapat
madzhab) dalam madzhab Hanabilah.[8]
Diantara dalil-dalil
syar'iyah terpenting yang dijadikan dasar oleh pendapat ini adalah sebagai berikut:
1.
Firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala dalam Surah an-Nur : 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ
مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا (النور : 31)
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak daripadanya., ...” (QS An Nur : 31)
Ayat ini menunjukkan bolehnya
memandang kepada medan perhiasan yang dhahir, medan-medan perhiasan yang dhahir
tersebut adalah wajah dan kedua telapak tangan. Celak adalah perhiasan wajah
dan cincin adalah perhiasan telapak tangan. Dengan demikian boleh memandang
wajah dan kedua telapak tangan.[9]
Ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ibnu
Abi Hatim dan lainnya dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhuma, : (dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.,)
beliau mengatakan: telapak tangan dan wajah. (HR Al-Baihaqi
dalam as-Sunan al-Kubra, Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya, dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf)
Tetapi, tafsir Ibnu
Abbas bahwa perhiasan yang tampak adalah wajah dan kedua telapak tangan ini memiliki kelemahan, karena bertentangan
dengan tafsir Ibnu Mas’ud.[10]
Sementara itu, bolehnya
membuka wajah adalah pada masa permulaan islam, kemudian dinasakh dengan ayat
hijab. Ibnu Taimiyah mengatakan :
فابن مسعود ذكر آخر
الأمرين وابن عباس ذكر أول الأمرين
"Ibnu Mas’ud menyebutkan akhir dari dua perintah
dan Ibnu Abbas menyebutkan awal dari dua perintah."[11]
Tafsir Ibnu Abbas tersebut
kemungkinan bagi wanita yang ada di dalam rumah dan sulit untuk menutupinya,
dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhuma,
(ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها) قال:"والزينة الظاهرة
الوجه وكحل العين وخضاب الكف والخاتم فهذه تظهر في بيتها لمن دخل من الناس عليها
“kecuali
apa yang biasa tampak daripadanya”beliau mengatakan: “perhiasan yang biasa
tampak adalah wajah, celak mata, telapak tangan dan cincin, maka semua ini biasa tampak di dalam
rumahnya bagi manusia yang masuk ke dalam rumahnya.” (HR
Ibnu Jarir dalam Tafsir Ath Thabari, dan Al Baihaqi as-Sunan Al Kubra)
Dan tafsir Ibnu Abbas dalam QS Al Ahzab : 59
عن
ابن عباس رضي الله عنهما :
قوله
(يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن) أمر
الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رءوسهن
بالجلابيب ويبدين عينا واحدة.
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas Radhiallahu ‘anhuma
mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala , “Hai Nabi katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar
rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka
dengan jilbab dari kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.” (
HR Ibnu Jarir dalam Tafsirnya dan Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya)
Kemudian jika kita amati lebih dalam, ayat
tersebut menggunakan kata Illa maa dhahara minha (kecuali apa
yang biasa tampak dari padanya) bentuk fi’il adalah lazim (intransitif) bukan
bentuk muta’adi (transitif) Illa maa adhharna minha (Kecuali apa
yang biasa mereka tampakkan dari padanya) ini menunjukkan bahwa yang
dikehendaki dari istitsna’ (pengecualian) ini adalah perhiasan itu tampak
dengan sendirinya, bukan yang ditampakkan oleh wanita dengan disengaja.[12] Ibnu
Atiyah mengatakan:
ويظهر لي بحكم ألفاظ الآية
أن المرأة مأمورة بألا تبدي، وأن تجتهد في الإخفاء لكل ما هو زينة ووقع الاستثناء
فيما يظهر بحكم ضرورة حركة فيما لا بد منه أو إصلاح شأن ونحو ذلك، فما ظهر على هذا
الوجه مما تؤدي إليه الضرورة في النساء فهو المعفو عنه
“Yang nampak/jelas
menurut saya mengenai hukum dari lafadz ayat
adalah sesungguhnya wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan dan
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyembunyikan segala sesuatu yang
dianggap sebagai perhiasan. Kemudian terjadinya pengecualian adalah
mengenai sesuatu gerakan yang darurat dan tidak bisa dielakkan lagi, atau untuk
suatu urusan kemaslahatan dan sebagainya. Maka, apa saja yang nampak dan jelas
atas sudut pandang ini yaitu yang termasuk diakibatkan oleh adanya darurat
bagi wanita, maka yang demikian itu dimaafkan.”[13]
2.
Hadits dari
Aisyah Radhiallahu 'anha
عن عائشة رضي الله عنها أن أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنها دخلت على
رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وعليها ثياب رقاق فأعرض عنها رسول الله - صلى
الله عليه وسلم - وقال:"يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم تصلح أن يرى
منها إلا هذا وهذا، وأشار إلى وجهه وكفيه
Dari Aisyah Radhiallahu
'anha, bahwa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap Nabi saw. dengan mengenakan tsiab
riqaq (pakaian yang tipis), lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam
berpaling seraya berkata:"Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan
darah haid (sudah dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain ini dan
ini,' dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua telapak tangannya." (HR Abu Dawud)
Hadits
ini sangat jelas menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh terlihat darinya
kecuali wajah dan kedua telapak tangan.[14]
Hadits
ini tidak dapat dijadikan hujjah karena beberapa hal:
a. Hadits
ini dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah, dengan beberapa alasan.
1)
Terputusnya rantai sanad
hadits dari Khalid bin Duraik dan Aisyah[15]
2)
Di dalamnya terdapat Sa’id
bin Basyir Al Bashri, beliau adalah Dha’if. sebagaimana disebutkan dalam Taqri>b at-Tahdzi>b.[16]
3)
Di dalamnya ada Qatadah bin
Du’amah as-Sadusi beliau dikenal dengan sifat tadli>s, sebagaimana
disebutkan dalam Tahdzi>b al-Kama>l[17]
4)
Di dalamnya ada Al Walid bin
Muslim, dikenal dengan banyaknya tadli>s dan taswiyah kepada orang-orang yang
lemah dan bodoh. Demikian disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Thabaqa>t al
Mudallisi>n[18]
b. Seandainya
hadits ini dianggap shahih, bisa jadi hadits ini adalah sebelum turun ayat
hijab,[19] kemudian dinasakh dengan ayat hijab, atau kemungkinan
besar jika dalam keadaan udzur, seperti melihatnya peminang, saksi atau qadhi.[20] Dikuatkan dengan hadits dari
Asma’ Radhiallahu 'anha dalam hadits shahih, yang menunjukkan bahwa Asma’
sendiri menutup wajah.
كنا نغطي وجوهنا من الرجال وكنا نمتشط قبل ذلك في الإحرام
“Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami
menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram. (HR. Ibnu Khuzaimah dan
Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan
disepakati oleh Adz-Dzahabi)
3. Hadits
dari Jabir radhiallahu anhu.
شهدت مع رسول الله - صلى الله عليه وسلم -
الصلاة يوم العيد فبدأ بالصلاة قبل الخطبة بغير أذان ولا إقامة، ثم قام متوكئاً
على بلال فأمر بتقوى الله وحث على طاعته ووعظ الناس وذكَّرهم، ثم مضى حتى أتى
النساء فوعظهن وذكرهن فقال: تصدقن فإن أكثركن حطب جهنم . فقامت امرأة من سِطَة
النساء سفعاء الخدين فقالت: لِمَ يا رسول الله؟ قال: لأنكن تُكْثِرن الشَّكاة
وتَكْفُرْن العشير . قال: فجعلن يتصدقن من حُلِيّهن يلقين في ثوب بلال من أقرطتهن
وخواتمهن
“Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari raya
(Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah dengan tanpa adzan dan iqamat,
kemudan berdiri bersandar kepada Bilal
dan memerintahkan agar bertaqwa kepada Allah dan menghimbau kepada mereka agar
selalu taat kepada Allah, memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka,
Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita, lantas beliau
menasihati dan mengingatkan mereka seraya bersabda: "Bersedekahlah kamu
karena kebanyakan kamu adalah umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah
seorang wanita yang baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan,
lalu ia bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:
"Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan (dengan
suami)." Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka,
melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian Bilal." (HR. Muslim)
Dalam hadits ini perawi menceritakan dan menggambarkan
bahwa wanita tersebut “kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan”,
ini menunjukkan bahwa wanita tersebut membuka wajahnya”[21]
Bagaimanapun juga Hadits tersebut tidak menunjukkan
bahwasanya Rasulullah melihat wanita tersebut terbuka wajahnya kemudian
menetapkannya terhadap yang demikian itu. Tetapi hadits tersebut hanya
menunjukkan bahwasanya pada dasarnya Jabir melihat wajahnya. Yang demikian itu
tidak dapat dipastikan bahwa terbukanya wajah wanita tersebut dengan disengaja,
karena terkadang kerudung itu lepas atau berubah dari posisinya dengan tanpa
disengaja, sebagaimana an-Nabighah adz-Dzibyani berkata dalam syairnya:
سقط الخمار ولم ترد إسقاطه……فتناولته واتّقتنا باليد
“Lepasnya
kerudung sedangkan ia tidak berkehendak melepaskannya, maka iapun mengambilnya
dengan tangannya dan menjauhi kami.”[22]
Kemudian perkataan perawi : (Sufa-a` al Khiddain) “kedua
pipinya berwarna hitam kemerah-merahan” sebenarnya
menunjukkan wajah yang usang, karena suf’ah adalah kehitam-hitaman dan
suatu tanda perubahan pada wajah yang disebabkan sakit, terkena musibah atau
perjalanan umur yang sudah lanjut. Wanita seperti ini masuk dalam kategori yang
mendapat rukhshah sebagaimana disebutkan dalam QS An-Nur : 60 “Dan
Perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang
tiada ingin kawin (lagi), tiadalah dosa atas mereka menanggalkan pakaian (jilbab)
mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan…”[23]
Dengan demikian hadits tersebut tidak dapat dijadikan
dalil sebagaimana yang dimaksudkan diatas.[24]
4. Hadits al-Khats’amiyah
dan al-Fadhl bin Abbas
عن
عبد الله بن عباس رضي الله عنهما قال أردف رسول الله - صلى الله عليه وسلم - الفضل
بن عباس
يوم
النحر خلفه على عجز راحلته، وكان الفضل رجلاً وضيئاً، فوقف النبي - صلى الله عليه
وسلم - للناس يفتيهم، وأقبلت امرأة من خثعم وضيئة تستفتي رسول الله - صلى الله
عليه وسلم - فطفق الفضل ينظر إليها وأعجبه حسنها، فالتفت النبي - صلى الله عليه
وسلم - والفضل ينظر إليها، فأخلف بيده فأخذ بذقن الفضل فعدل وجهه عن النظر إليها.
“Dari Abdullah bin Abbas
Radliallahu anhuma, ia berkata: pada hari nahr (haji wada) Al-Fadhl bin Abbas
membonceng Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-Fadhl adalah laki-laki
yang tampan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti dan memberikan
memberikan fatwa kepada manusia, tiba-tiba seorang wanita cantik dari Khats’am
menghadap dan bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian al-Fadhl melirik wanita itu, dan kagum akan kecantikannya, maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menoleh dan al-Fadhl masih memandangnya,
maka beliaupun memegang dagu al-Fadhl dan memalingkan wajahnya dari memandang
kepada wanita tadi”
(HR Bukhari dan Muslim)
Andaikata wajah itu aurat yang harus ditutup, sudah
barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui (tidak membenarkan) wanita itu
membuka wajahnya di hadapan orang banyak, dan sudah pasti beliau menyuruhnya
melabuhkan pakaiannya dari atas. Dan seandainya wajahnya tertutup niscaya putra
Abbas itu tidak akan tahu apakah wanita itu cantik atau jelek.[25]
Syekh Asy-Syinqity dalam Tafsirnya “Adhwa`u
al-Bayan fii Idhah al-Quran bi al-Quran” menjawab pendapat tersebut
berdasarkan alasan berikut ini.
Pertama, Tidak ada dalam berbagai riwayat hadits
ungkapan dengan jelas bahwa wanita tersebut membuka wajahnya, kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya demikian dan menetapkan (mengakui)
yang demikian itu. Tetapi dalam hadits tersebut hanya menyebutkan bahwa wanita
tersebut cantik dan menarik. Yang demikan itu, tidak dapat dipastikan bahwa
wanita tersebut membuka wajahnya, bahkan bisa jadi terbuka kerudungnya dengan
tanpa disengaja. “Al-Husnu” yang berarti cantik tidak dapat
dipastikan ia membuka wajahnya, apalagi Rasulullah melihatnya demikian dan
menetapkannya (mengakuinya), karena kecantikan dari seorang perempuan terkadang
masih tetap diketahui walaupun ia berkerudung, yang demikian itu karena
keindahan postur dan bentuk tubuhnya, atau terkadang juga ketika terlihat ujung
jarinya sebagaimana yang telah maklum.
Kedua, wanita tersebut dalam keadaan ihram, sedangkan
wanita ketika ihram dilarang menutup wajah dan kedua telapak tangannya, ia
harus membuka wajah dan kedua telapak tangannya jika tidak ada laki-laki ajnabi
yang melihatnya, karena jika ada laki-laki ajnabi walaupun sedang ihram, ia
tetap menutup wajahnya sebagaimana yang dilakukan oleh isteri-isteri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya. Dan tidak ada seorang pun yang
mengatakan bahwa wanita itu dilihat oleh orang lain selain dari al-Fadhl bin
Abbas Radhiallahu anhu, kemudian ternyata al-Fadhl sendiri oleh Nabi dilarang
untuk melihat wanita tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa wanita tersebut
sedang ihram dan tidak ada seorangpun yang melihatnya, maka kalau begitu jika
ia membuka wajahnya, itu karena dalam keadaan ihram, bukan karena bolehnya sufur
(membuka wajah).[26]
Pendapat
Kedua: Wanita wajib menutup seluruh tubuh kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki. Pendapat ini menurut salah satu riwayat dari Abu Hanifah.[27]
Diantara dalil-dalil yang terpenting menurut pendapat
ini di antaranya:
1. Mengenai wajah dan
kedua telapak tangan, dalil-dalilnya sudah dipaparkan dalam pendapat yang
pertama.
2. Hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah Radhiallahu ‘anha dalam menafsirkan firman Allah “kecuali
yang biasa tampak darinya” : gelang (al-Qulb) dan dan cincin (al-Fatkhah). (HR Ibnu
Syaibah, Al Baihaqi, Ibnu Abi Hatim)
Hadits ini menunjukkan bahwa terlihatnya kaki adalah
boleh, karena yang dimaksud dengan al-Fatkhah adalah cincin dari kaki.[28]
Penafsiran tersebut bertentangan dengan penafsiran
Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhum dalam menafsirkan pengecualian
dalam ayat tersebut, sehingga diluar dari yang dikecualikan adalah masih dalam
kategori yang dilarang.[29] Perkataan dari Aisyah
Radliallahu ‘anha adalah qaul ash-shahabiy, dan qaul ash-shahabiy ketika
tidak ada kesepakatan diantara mereka, maka tidak bisa dijadikan hujjah untuk
menetapkan hukum.
Kemudian, sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, bahwa
yang dikehendaki dari istitsna’ (pengecualian) ini adalah perhiasan itu tampak
dengan sendirinya, bukan yang ditampakkan oleh wanita dengan disengaja.
3. Dalil
‘Aqli
Allah Subhanahu wa
Ta'ala melarang untuk menampakkan perhiasan dan memberikan pengecualian
perhiasan yang dhahir, maka bukankah kita melihat bahwa kaki akan terlihat
dan tampak ketika berjalan? Sehingga
kedua kaki adalah termasuk dari pengecualian dari larangan, maka berarti kedua
kaki boleh ditampakkan.[30] Kemudian terkadang bisa
diketahui juga wanita akan menampakkan kakinya ketika ia berjalan tanpa
menggunakan sandal atau menggunakan sandal, dan terkadang juga tidak
menemukan khuf (sandal/selop) pada setiap waktu.[31]
Bagaimanapun juga, pendapat yang membolehkan membuka
wajah dan kedua telapak tangan adalah karena adanya hajat untuk membukanya
dalam muamalat ataupun bertransaksi. Dan tidak ada hajat untuk membuka kaki,
sehingga kaki tetap tidak boleh terlihat.[32]
Kemudian, diantara dalil yang menunjukkan bahwa kaki
tidak boleh ditampakkan adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar
Radliallahu ‘anhu:
من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة . فقالت
أم سَلَمة: فكيف يصنعن النساء بذيولهن؟ قال: يرخين شبراً . فقالت: إذاً تنكشف
أقدامهن . قال: فيرخينه ذراعاً لا يزدن عليه.
“Barang siapa menyeret pakaiannya
dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu
Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab:
“Hendaklah mereka menjulurkan sejengkal” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau
begitu kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka
menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai, dan
Tirmidzi mengatakan : Hadits ini Hasan Shahih)
Pendapat Ketiga: Wanita
wajib menutup
seluruh tubuh tanpa kecuali.
Pendapat ini diantaranya menurut
al-Qaul ash-Shahih al-Mufta bihi (pendapat yang shahih dan telah
difatwakan) dalam madzhab Syafi’iyyah[33]
dan pendapat al-Madzhab dalam Hanabilah[34]
Diantara dalil-dalil yang terpenting menurut pendapat
ini di antaranya:
1. Firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam QS Al Ahzab : 59
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (الأحزاب
: 59)
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya[35]
ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.. (Al Ahzab : 59)
Ibnu Abbas Radhiallahu
‘huma mengatakan:
عن
ابن عباس رضي الله عنهما :
قوله
(يا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن) أمر
الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رءوسهن
بالجلابيب ويبدين عينا واحدة
Diriwayatkan
dari Ibnu
Abbas mengenai firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala , “Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar rumah
karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab
dari atas kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.” (HR Ibnu Jarir
dalam Tafsirnya, Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya)
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam
tafsirnya mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata kepada Nabi-Nya
Shallallahu 'alaihi wa Sallam : ““Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min, Janganlah
mereka menyerupai hamba sahaya wanita ketika mereka keluar dari rumah mereka
untuk suatu keperluan karena mereka membuka rambut dan wajah mereka,
tetapi hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka agar -
ketika mereka diketahui bahwa mereka adalah wanita merdeka - tidak diganggu
oleh orang fasiq dengan mengucapkan kata-kata kotor kepada mereka.”[36]
Abu Bakar Ar Razi juga
mengatakan dalam tafsirnya: dalam ayat “Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" terdapat dalil bahwa wanita muda diperintahkan
untuk menutup wajahnya dari laki-laki ajnabiy.[37]
Pendapat ini dibantah oleh
pendapat pertama yang berpendapat bahwa firman Allah "hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" tidak memastikan
menutup wajah, karena penafsiran sebagian ahli tafsir bahwa ayat itu memastikan
menutup muka, berlainan dengan pendapat sebagian yang lain yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dari ayat itu adalah hendaknya mereka mengikatkan jilbab
mereka ke dahi (kepala) mereka.[38]
Tetapi bantahan inipun
dijawab, bahwasanya dalam ayat tersebut terdapat qarinah yang jelas bahwa
maksud firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" termasuk juga
menutup muka mereka, qarinah tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala “Hai
Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”, merupakan dalil kewajiban hijab
dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau
serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita
mukmin.[39]
Dikuatkankan oleh hadits dari
Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha, katanya:
قالت أم سلمة لما نزلت هذه الآية: يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ
جَلَابِيبِهِنَّ. خَرَجَ
نِسَاءُ الأَنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُءُوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأَكْسِيَةِ.
“Ummi salamah menceritakan ketika ayat ini
turun: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”
maka wanita sahabat anshar keluar rumah seakan-akan burung gagak di atas
kepala mereka karena pakaian.” (HR. Abu dawud).
Abd al-Muhsin al-‘Ibad dalam Syarah
Sunan Abu Dawud Menerangkan : “yakni, dari sisi kerudung : maksud dari hadits
tersebut adalah mereka bergegas menutup kepala dan wajah mereka sehingga
menjadi “seakan-akan burung gagak di atas kepala mereka” , yakni, dari
segi warna : warna burung gagak adalah hitam, dan warna kerudung yang mereka
pakai adalah seperti itu, tetapi ini tidak memastikan bahwa hijab harus hitam.[40]
2. Firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala dalam QS An Nur : 31
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya,” (QS An-Nur :
31)
Dalam ayat ini terdapat dalil wanita wajib menutup
seluruh badan dari dua sisi:
Sisi Pertama: Allah melarang wanita manampakkan
perhiasan dari laki-laki ajnabiy kecuali perhiasan yang tampak yang tidak
mungkin untuk disembunyikan.[41]
Dari Ibnu
Mas’ud mengatakan : “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak daripadanya” yaitu pakaian.” (HR Ibnu
Syaibah, Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Al-Hakim dalam al-Mustadrak, Ibnu Abi
Hatim dalam tafsirnya, Al-Hakim mengatakan : “hadits ini shahih berdasarkan
syarat dalam Shahih Muslim, tetapi ia tidak mengeluarkannya.”)
Sisi Kedua : firman Allah Ta’ala “Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung ke dadanya” dalam ayat ini Allah
memerintahkan wanita agar menutupkan kain kudungnya dari kepala ke dadanya,
termasuk juga wajahnya.[42].
Diriwayatkan dari Aisyah Radliallahu ‘anha ia berkata:
يرحم الله نساء المهاجرات الأول لما أنزل
الله { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } شققن مروطهن فاختمرن
بها
"Semoga Allah merahmati wanita muhajirin yang pertama
ketika Allah menurunkan : “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya” mereka
merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya. (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Ibnu Hajar mengatakan : “lalu mereka berkerudung
dengannya” maksudnya adalah mereka menutup wajah mereka.[43]
3.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam QS Al Ahzab : 53
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا
فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ
وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila
kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka
mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu
dan hati mereka.”
(Al Ahzab: 53).
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwasanya antara
pria dan wanita ketika ada keperluan agar menggunakan hijab diantara mereka.[44]
Dikatakan bahwa hukum ayat ini khusus kepada istri
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.[45]
Inipun dijawab, bahwasanya hukum ayat ini adalah umum
kepada seluruh wanita yang beriman, dengan beberapa alasan:
Pertama:
ما تقرر في الأصول من أن خطاب الواحد يعم
حكمه جميع الأمة
“Apa yang telah ditetapkan dalam
ushul bahwa khitab kepada satu orang hukumnya umum kepada seluruh ummat”[46]
Kedua: Dalam siyaq ayat berikutnya diterangkan melalui
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لَا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آَبَائِهِنَّ وَلَا أَبنَائهنَّ
... الآية
“Tidak ada dosa atas
isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka,
anak-anak laki-laki mereka…..” (QS Al Ahzab : 55)
Dalam hal ini Ibnu Katsir mengatakan:
لما أمر تبارك وتعالى النساء بالحجاب من الأجانب، بيّن
أن هؤلاء الأقارب لا يجب الاحتجاب منهم، كما استثناهم في سورة النور عند قوله
تعالى (ولا يبدين زينتهن إلا لبعولتهن... الآية")
“Ketika Allah Subhanahu wa
Ta'ala memerintahkan para wanita agar berhijab dari laki-laki ajnabiy,
Allah menjelaskan bahwa terhadap mereka para kerabat dekat, tidak wajib
berhijab dari mereka, sebagaimana Allah telah memberikan pengecualian tentang
mereka dalam surat An-Nur “dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali kepada suami-suami mereka …dst (QS An-Nur : 31)”[47]
4. Hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar Radliallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa Sallam, beliau bersabda:
لا تنتقب المحرمة ولا تلبس القفازين
“Janganlah wanita yang berihram
mengenakan cadar dan memakai kaos tangan” (HR Bukhari)
Ibnu Taimiyyah mengatakan: Hadits ini adalah merupakan
salah satu bukti bahwa cadar dan kaos tangan adalah sesuatu yang dikenal bagi
wanita yang tidak ihram, ini memastikan bahwa mereka memang menutup wajah dan
tangan mereka.[48]
5. Hadits yang
diriwayatkan dari Aisyah Radliallahu ‘anha, ia bekata:
كان الركبان يمرون بنا ونحن مع رسول الله -
صلى الله عليه وسلم - محرمات، فإذا حاذوا بنا سدلت إحدانا جلبابها من رأسها على
وجهها، فإذا جاوزونا كشفناه
“Para pengendara kendaraan biasa
melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang
di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika
mereka telah melewati kami, kamipun membukanya lagi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)
Memang, kalau hanya hadits ini saja tidak dapat
dijadikan hujjah karena di dalam isnadnya terdapat Yazid bin Abi Ziyad
sedangkan ia adalah dha’if sebagaimana disebutkan dalam Taqrib at-Tahdzib.[49]
tetapi
ia mempunyai syahid (pendukung) dari hadits shahih dari Asma binti Abu Bakar
Radliallahu ‘anhuma sehingga kedudukannya menjadi kuat, katanya:
كنا نغطي وجوهنا من الرجال وكنا نمتشط قبل
ذلك في الإحرام
”Kami menutupi wajah kami dari
laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata:
“Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Dengan demikian hadits Aisyah menjadi kuat dengan
syahid (pendukung) dari hadits Asma’ tersebut. Wallahu A’lam.
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang wanita apabila
ada laki-laki yang melewatinya, maka ia menurunkan jilbabnya dari kepalanya
pada wajahnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh wanita beriman pada zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam.[50]
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa perbuatan yang wajib
tidak bisa ditinggalkan kecuali dengan sesuatu yang wajib pula.
Dalam qaidah fiqhiyyah disebutkan:
الواجب لا يترك إلا لواجب
“sesuatu yang wajib tidak
bisa ditinggalkan keculai karena perkara wajib pula”
الواجب لا يترك لسنة
“Sesuatu
yang wajib tidak bisa ditinggalkan karena perkara sunnah”
ما كان ممنوعا إذا جاز وجب
“Apa
saja yang telah dilarang, jika boleh, berarti itu adalah wajib” [51]
Dalam hadits sebelumnya disebutkan bahwa pada saat
ihram para wanita dilarang menutup wajahnya dan wajib melepaskan cadar, tetapi
dalam hadits ini ketika ada laki-laki yang melalui mereka, mereka menutup wajah
mereka dengan jilbab mereka, kemudian setelah kaum laki-laki telah berlalu,
mereka membukanya lagi padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersama
mereka dan beliau tidak melarangnya, ini menguatkan (berdasarkan qaidah
fiqhiyyah di atas) bahwa menutup wajah dihadapan laki-laki ajnabiy memang perkara
wajib, karena wajibnya melepas cadar (penutup wajah) ketika
ihram tidak bisa
ditinggalkan kecuali karena wajibnya menutup wajah dari pandangan laki-laki
ajnabiy. Wallahu A’lam.
6. Haditsul Ifki
yang diriwayatkan dari Aisyah Radliallahu ‘anha
وكان صفوان بن المعطل السلمي ثم الذكواني من
وراء الجيش فأصبح عند منزلي فرأى سواد إنسان نائم، فعرفني حين رآني وكان رآني قبل
الحجاب، فاستيقظت باسترجاعه حين عرفني، فخمرت وجهي بجلبابي…
“Shafwan bin al-Mu’athal adalah
termasuk pasukan yang dibelakang, maka tibalah ia di tempatku, lalu melihat
manusia (berpakaian) hitam sedang tidur, maka iapun mengenaliku ketika
melihatku. Ia dahulu pernah melihatku sebelum (diwajibkan) hijab, lalu aku terbangun karena istirja’nya (perkataan
“Inna lillaahi…”) ketika dia mengenaliku. Maka akupun menutupi wajahku
dengan jilbabku…”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa menutup wajah
adalah termasuk bagian dari hijab atas ummatul mukminin dan wanita beriman.
Dapat diketahui pula bahwa wanita menutup wajahnya bukan hanya dari pandangan
laki-laki ajnabiy yang fasiq atau tidak shalih, bahkan kepada laki-laki yang
shalih juga. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih
Muslim.[52]
Simpulan
dan Tarji>h
Setelah kita memperhatikan dalil-dalil dari ketiga
pendapat tersebut, maka jelas lah (Wallahu A’lam) bahwa pendapat yang ra>jih
adalah Pendapat Ketiga yang berpendapat wajibnya wanita menutup seluruh tubuh
termasuk wajah dan kedua telapak tangan, dengan alasan berikut ini:
1. Dalil-dalil
yang dijadikan pegangan bagi pendapat ini lebih kuat baik dari dalil qurani
ataupun dari sunnah.
2. Lebih sedikit
pertentangan ataupun bantahan yang ditujukan kepada pendapat ini dibanding
pendapat-pendapat yang lain.
3. Pendapat ini
lebih dekat dengan Maqashid asy-Syari’ah, yaitu mencegah dari jalan yang
dapat menimbulkan fitnah seiring dengan berubahnya zaman dan kemorosotan akhlak
dan moral manusia.
4. Apa yang
dikatakan oleh pendapat ini adalah
amaliyah yang tampak dan umum bahkan telah menjadi adat kebiasaan
dikalangan kaum muslimin, sebagaimana dihikayatkan oleh beberapa ulama, di
antaranya:
Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin.
لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه، والنساء يخرجن منتقبات
“Laki-laki
sepanjang jaman adalah selalu terbuka wajahnya, dan wanita keluar dengan
bercadar”.[53]
Ibnu Hajar dalam
Fath al-Bari:
استمرار العمل على جواز خروج النساء إلى المساجد والأسواق والأسفار
منتقبات لئلا يراهن الرجال
“kontinyuitas amal atas bolehnya wanita keluar ke masjid,
pasar dan perjalanan, tetapi dengan bercadar agar laki-laki tidak melihatnya”[54]
Ibnu Hajar al-Asqalani> juga menambahkan bahwa adat
mereka juga seperti ini:
ولم تزل عادة النساء قديما وحديثا يسترن وجوههن عن
الاجانب
“Kebiasaan para wanita
dahulu dan sekarang adalah senantiasa menutup wajah mereka dari laki-laki
ajnabi”[55]
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj mengenai
perkataan an-Nawawi:
(وَكَذَا عِنْدَ الْأَمْنِ) مِنْ الْفِتْنَةِ فِيمَا يَظُنُّهُ
مِنْ نَفْسِهِ وَبِلَا شَهْوَةٍ (عَلَى الصَّحِيحِ) وَوَجَّهَهُ الْإِمَامُ
بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مَنْعِ النِّسَاءِ أَنْ يَخْرُجْنَ سَافِرَاتِ
الْوُجُوهِ
“Begitu juga ketika aman dari fitnah dan ketika tidak
adanya syahwat berdasarkan pendapat yang shahi>h, Imam an-Nawawi berpendapat
seperti ini karena kepakatan kaum muslimin melarang wanita keluar dengan
membuka wajah”[56]
Beberapa Peringatan
Sebagaimana yang telah penulis katakan sebelumnya,
masalah ini adalah masalah khilafiyah, para ulama saat ini pun demikian,
diantara mereka ada yang membolehkan membuka wajah dan ada yang mewajibkan
menutup wajah.
Di antara yang membolehkan membuka wajah adalah ulama
kenamaan pakar hadits zaman ini, yaitu Syekh Muhammad Nashiruddin Al Bani dalam
kitabnya Hija>b al-Mar’ah al-Muslimah fi> al-Kitab wa as-Sunnah,
begitu juga Dr. Yusuf Qardhawi dalam Fatwa Kontemporernya dan dalam kitab
al-Halal wal Haram fil Islam, kemudian sebagian besar ulama al-Azhar Mesir,
dll.
Sedangkan di antara ulama yang mewajibkan menutup
wajah adalah ulama besar Syekh Abul
A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab, Syekh Muhammad Ali
Ash-Shabuni dalam Tafsir Ayat al-Ahkam, Syekh Muhammad al-Amin
asy-Syinqiti dalam Tafsir Adhwaul Bayan F>>i> Idha>hil Quran bil
Quran, penulis kenamaan dari Suriah, Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi
dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu billaahi, Ustadz Sha>lih
bin Ibrahim al-Bulaihi> dalam risalahnya Yaa Fata>tal Islam Iqra’i>
hatta> la> Takhdli’i>, Syekh Hamu>d bin Abdillah
at-Tuwaijiri> dalam kitabnya ash-Sha>rim al-Masyhu>r ‘ala Ahli
at-Tabarruj wa as-Sufur, Ustadz Sa>mi> bin Kha>lid al-Hamu>d
dalam Thesisnya al-A’mal al-Fida’iyyah Shuwaruha wa Ahkamuha al-Fiqhiyyah,
begitu juga mayoritas ulama Saudi yang ditokohi oleh Syekh Abdul Aziz bin
Ba>z dan Syekh al-Utsaimin dalam Risalatul Hijab, dll.
Sebagaimana dalam sub bab
di atas, dalam hal ini penulis memilih menutup seluruh tubuh sebagai salah satu syarat hijab syar’i, tanpa mengecualikan wajah, kedua telapak
tangan ataupun kedua kaki, bukan berarti penulis mewajibkan secara mutlak
menutup wajah bagi wanita (dengan syarat ketika aman dari fitnah), dan
mengingkari pendapat yang membolehkan membuka wajah, karena bagaiamanapun juga
pendapat yang membolehkan membuka wajah (ketika aman dari fitnah) juga berasal
dari ulama madzhab, diikuti ulama-ulama saat ini sebagaimana disebutkan di
atas, disebutkan juga dalam qaidah fiqh:
لا
ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه
“tidak
diingkari perkara yang diperselisihkan di dalamnya, karena sesungguhnya yang
diingkari adalah perkara yang disepakati”. [57]
Tetapi alasan penulis
memilih menutup seluruh tubuh sebagai syarat hijab syar’i dalam hal ini adalah, di antaranya:
1. Pendapat yang mewajibkan menutup seluruh tubuh termasuk wajah, kedua
telapak tangan dan kedua kaki baik dalam keadaan ditakutkan timbulnya fitnah
atau ketika aman dari fitnah adalah lebih raji>h .
2. Walaupun para fuqaha’ berbeda pendapat ketika aman dari fitnah, tetapi
mereka sepakat atas wajibnya menutup wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki
bagi wanita ketika dikhawatirkan timbulnya fitnah atau pandangan syahwat,
sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya. Sedangkan pada zaman ini, dimana
sudah tidak asing lagi bahwa merosotnya moral dan akhlak manusia sudah
merajalela, pergaulan bebas sudah merebak di kalangan remaja, budaya ikhtilath
merupakan suatu hal yang biasa, fitnah menimpa manusia di mana-mana, dll.
3. Pernyataan dalam qaidah fiqhiyyah bahwa “jika terkumpul perkara halal
dan perkara haram, maka perkara yang haram yang diunggulkan”
إذا
اجتمع الحلال و الحرام غلب الحرام
“Jika terkumpul perkara halal dan haram, maka
perkara haram yang unggul”. [58]
Yaitu jika ada dua dalil
yang bertentangan, salah satunya menuntut pengharaman, dan yang lain menuntut
pembolehan, maka pengharaman didahulukan berdasarkan pendapat yang ashoh.[59]
4.
Pernyataan dalam qaidah fiqhiyyah juga bahwa : “Keluar dari perselisihan
(khilaf) adalah mustahab”
الخروج من الخلاف مستحب
“Keluar dari perselisihan
(khilaf) adalah mustahab”[60]
Pembolehan
membuka wajah, kedua telapak tangan dan kedua kaki, adalah perkara yang
diperselisihkan. Sedangkan pembolehan praktek menutup wajah, kedua telapak tangan
dan kedua kaki adalah perkara yang disepakati, tidak ada yang melarangnya
(kecuali di saat ihram), perbedaannya seputar wajib dan mustahab. Maka dengan
menutup seluruh tubuh, berarti suatu upaya menghindari perselisihan dan
berlepas dari yang mewajibkannya (selama tidak mengingkari pendapat lain), maka
yang demikian ini adalah lebih utama.
[1]Ibnu
Hazm al-Andalusi adh-Dha>hiri (wafat 456 H), Muratib al-Ijma’ , (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
tt), Jilid 1, Hal. 29
[2]Lajnah
al-Ulama Nidham ad-Din, Al
Fatawa al-Hindiyyah, (Da>r al-Fikr, tt) Cet. Ke-2, Jilid1, Hal. 58.
[3]Abu
Bakar ar-Razi> al-Jashshash, Ahkam
al-Quran, (Beirut
: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), Cet. Ke-1, Jilid 3Hal. 485.
[5]Muhammad
bin Ahmad asy-Syarakhsyi, Al-Mabsuth, (Beirut
: Da>r al-Ma’rifah, 1993), Jilid 10,
Hal. 153. Lihat juga Bada`i’u ash-Shana`i’,
Jilid 5, Hal. 121-122 dan Fath al-Qadi>r ,
Jilid 10, Hal. 24.
[6]Muhammad bin Ahmad ad-Dasuqi> al-Maliki, Op. Cit, Jilid
1, Hal. 215. Lihat juga Syarh
al-Khurasyi, Jilid 1,
Hal. 247 dan Minahul Jalil Jilid 1,
Hal. 222.
[7]Muhammad
bin Ahmad asy-Syarbi>ni> asy-Syafi>’i>, Mughniy al-Muhtaj
ila> Ma’rifati Ma’ani Alfa>dz al-Minha>j, (Beirut : Da>r
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), Cet. Ke-1, Jilid 4, Hal. 208-209.
Lihat juga Asna al-Muthalib , Jilid 3, Hal. 109-110 dan Nihayat
al-Muhtaj ,
Jilid 6, Hal. 157-158)
[8]Manshu>r bin Yunu>s al-Bahuti> al-Hambali> (wafat 1051 H), Syarh Muntaha> al-Ira>dat, (‘A<lam
al-Kutub, 1993), Cet. K3-1, Jilid 5,
Hal. 18. Lihat juga Al-Inshaf , Jilid 8,
Hal. 28, Al-Furu’,
Jilid 5, Hal. 154.
[9]Abu
Bakar bin Mas’ud al-Ka>sa>ni> al-Hanafi> (wafat 587 H), Bada`i’ ash-Shana`i’
fi> tarti>b asy-Syara’`i', (Beirut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1986), Cet. Ke-2, Jilid 5,
Hal. 122.
[10]Manshu>r
bin Yunu>s al-Bahuti> al-Hambali>, Kisyaf al-Qina’, Op.Cit.
[11]Ahmad
bin Abd al-Hali>m bin Taimiyyah al-Hira>ni> (wafat 728 H), Majmu’ Al Fatawa, (al-Madi>nah
an-Nabawiyyah, 1995), Jilid 22, Hal110-111.
[12] Muhammad
Ali ash-Shabu>ni>, Rawa``i'u al-Bayan Tafsi>r Ayat al-Ahka>m min
al-Quran, (Jakarta : Da>r al-Kutub al-Islamiyyah, 2001), Cet. Ke-1,
Jilid 2, Hal. 124.
[13]Ibnu
‘Atiyah al-Andalusi> (wafat 542 H), al-Muharrar al-Waji>z Fi> Tafsi>ri al-Kitab al-Aziz, (Beirut : Da>r
al-Kutub al-Ilmiyyah, tt) Cet. Ke-1, Jilid 11, Hal 295.
[15] Komentar dari Ibnu Dawud sendiri tentang hadits ini: “Hadits ini
mursal, karena Khalid bin Duraik tidak pernah bertemu dengan Aisyah. (Sunan Abi Dawud, Jilid 4, Hal.106), begitu juga para pakar hadits yang lain
mengatakan demikian, diantaranya Al-Mazi dalam Tahdzi>b al-Kama>l, Jilid
8, Hal. 54, Adz Dzhabi dalam Miza>n al-I’tida>l , Jilid
2, Hal. 410, Ibnu Hajar Dalam Tahdzi>b at-Tahdzi>b, Jilid
3, Hal. 75.
[16] Ibnu Hajar al-‘Asqala>ni>
(wafat 852 H), Taqri>b
at-Tahdzi>b, (Syria:
Da>r ar-Rasyi>d, 1986), Cet. ke-1, Jilid 1, Hal. 234, Lihat juga Tahdzi>b
al-Kama>l, Jilid 10, Hal. 348, Tahdzi>b at-Tahdzi>b, Jilid
4, Hal. 9, Miza>n al I’tida>l, Jilid 3, Hal. 189.
[17] Ibnu az-Zaki> al-Kalabi>
al-Mazi> (wafat 742 H), Tahdzi>b
al-Kama>l fi>
asma’ ar-Rija>l, (Beirut : Mu’assasah ar-Risa>lah, 1980), Cet. Ke-1,
Jilid 23, hal. 493. Lihat juga Jami’ at-Tahsi>l, Jilid 1, Hal. 254, Miza>n al-I’tida>l, Jilid 5, Hal. 466, dan Thabaqa>t al-Mudallisi>n oleh
Ibnu Hajar, Jilid 1,
Hal. 43.
[18] Ibnu Hajar al-‘Asqala>ni>
(wafat 852 H), Thabaqa>t al-Mudallisi>n, (Oman
: Maktabah al-Mana>r, 1983), Cet. Ke-1, Jilid 1, Hal. 51.
Lihat juga Tahdzi>b al-Kama>l, Jilid 31, Hal. 85, Jami’ at-Tahsi>l, Jilid 1, Hal. 111 dan Miza>n al-I’tida> , Jilid 7,
Hal. 441.
[19]Ibnu Qudamah
al-Muqaddasi> al-Hambali (wafat
620 H), Al-Mughni> fi> Fiqh al-Ima>m Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani , (Maktabah al-Qahirah, 1968), Jjilid 7, Hal. 460,
[22] Muhammad al-Ami>n asy-Syinqiti>
(wafat 1393), Adhwa` al-Baya>n fi> Idha>h al-Quran bi al-Quran, (Beirut
: Da>r al-Fikr, 1995), Jilid 6, Hal. 598.
[25] Ibnu Hazm al-Andalusi> adh-Dhahiri>
(wafat 456 H), Al-Muhalla> bi al-Atsa>r, (Beirut : Da>r
al-Fikr,), Jilid 2, Hal. 248.
[27] Muhammad bin Ahmad asy-Syarakhsyi, Op.
Cit. Jilid 10, Hal. 153. Lihat juga Tabyin al-Haqa’iq, Jilid 1, Hal.
95-96, Bada`I’ ash-Shana`I, Jilid 5, Hal. 123.
[30]Ibid.
[32]Abu
Bakar bin Mas’ud al-Ka>sa>ni> al-Hanafi, Op. Cit, Jilid 5,
Hal.123.
[33] Muhammad bin Ahmad
asy-Syarbi>ni> asy-Syafi>’i>, Op.Cit. Lihat juga Asna
al-Muthalib ,
Jilid 3, Hal. 109-110 dan Nihayat
al-Muhtaj ,
Jilid 6, Hal. 187-188
[34]Manshu>r
bin Yunu>s al-Bahuti> al-Hambali> (wafat 1051 H), Kisyaf al-Qina’
‘an matn al-Iqna’,
Op.Cit, Jilid 1, Hal.266. Lihat juga Al-Insha>f, Jilid 1, Hal. 452 dan Al-Furu’, Jilid 1, Hal. 601-602
[35]Al Jalabib adalah jama’ dari
jilbab, yaitu kain yang lebih besar dari tudung kepala, diriwayatkan dari Ibnu
Abbas dan Ibnu mas’ud, bahwa jilbab adalah ar-rida’ (selubung),
dikatakan bahwa jilbab adalah cadar. Yang shahih, jilbab adalah kain yang
menutup seluruh badan, (Tafsir Al Qurthubi), Mayoritas ahli tafsir mengatakan
bahwa cara mengulurkan jibab disini adalah dengan menutup seluruh tubuh,
termasuk juga wajah. (Lihat tafsir ayat ini pada Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir
Jalalain, Tafsir al-Baidhawi, dll). Menurut penulis penafsiran mereka dikuatkan
dengan hadits dari Aisyah Ra.ha: “Para pengendara kendaraan biasa melewati
kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara
kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka
telah melewati kami, kamipun membukanya lagi…”.
[37] Abu Bakar ar-Razi>
al-Jashshash, Op. Cit, Jilid 3, Hal. 372, disebutkan
juga dalam tafsir lain dengan makna yang sama, diantaranya: Ibnu al-Jauzi dalam
Zadul Muyassar, Abu Hayyan dalam al-Bahru al-Muhith, As-Suddiy, Abu as-Sa’ud
dalam tafsirnya, Tafsir al-Jalalain, dll.
[38] Ibnu
al-‘Arabi al-Maliki>, Ahkam al-Quran, (Beirut : Da>r al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2003), Cet. Ke-3, Jilid 3, Hal. 625.
[41]Ibnu
Katsir, Op. Cit, Jilid 6, Hal. 45
[43] Ibnu
Hajar al-‘Asqla>ni> asy-Sya>fi’i> (wafat 852 H), Fath
al-Bari> Syarh Shahi>h al-Bukhari>, (Beirut :
Da>r al-Ma’rifah, tt), Jilid 8, Hal. 490.
[45] Zakariya
al-Anshari> (wafat 926 H), Asna> al-Matha>lib fi> Syarh Raudh
ath-Tha>lib, (Da>r al-Kita>b al-Islami>, tt), Jilid 3, Hal.
103.
[51] Abdullah
bin Sa’id Muhammad ‘Ibadi al-Hadramiy, Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah,
(Al-Haramain, tt), Jilid 1, Hal. 79
[52]Abu
Zakariya
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarah Shahi>h Muslim bin
Hajjaj, (Beirut: Da>r Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1392 H), Cet. Ke-2,
Jilid 17, Hal. 116-117, lihat juga ‘Umdah al Qari Syarh Shahih al-Bukhari,>
Jilid 13, Hal. 235.
[53] Abu Hami>dAl Ghazali> (wafat 505 H), Ihya’ ‘Ulumiddin, (Beirut
: Da>r al-Ma’rifah, tt) Jilid 2, Hal. 47
[54] Ibnu Hajar
al-‘Asqla>ni> asy-Sya>fi’i> (wafat
852 H), Fath al-Bari> Syarh Shahi>h
al-Bukhari>,
Op. Cit, Jilid 9, Hal. 337
0 komentar:
Post a Comment